Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Arin Setiyowati

Pinjol Ilegal Merajalela, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) Bisa Apa

Agama | Tuesday, 27 Jul 2021, 11:50 WIB
Sumber foto : Kumparan.com

Pandemi memasuki periode kedua di tahun 2021 ini nyatanya tidak menunjukkan kondisi yang semakin membaik, malah semakin memporak-porandakan segala lini kehidupan, khususnya ekonomi warga.

Data dari BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan Persentase penduduk miskin naik menjadi 9,78%, atau naik 0,37% dari Maret 2019. Lalu, pada September 2020, jumlah orang miskin bertambah 0,97% atau 2,76 juta orang secara tahunan. Sehingga total orang yang tergolong miskin menjadi 10,79% dari jumlah penduduka 27,55 juta orang.

Peningkatan tersebut dipicu salah satunya dari adanya arus besar pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga tembus 20 kali lipat dibandingkan tahun 2019. Kementrian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat bahwa sepanjang 2020 sebanyak 386.877 pekerja terkena PHK dari 18.911 orang pada 2019.

Otomatis berdampak pada pengurangan dan hilangnya pemasukan masing-masing rumah tangga (RT), hingga pengurangan pemasukan bagi di sektor ekonomi non formal. Padahal, pada kondisi yang sama, tuntutan ongkos hidup yang tidak murah, sehingga hampir dipastikan semua berada dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.

Alhasil, fenomena menjamurnya kasus pinjaman online yang menemui titik keseimbangan antara permintaan dan penawaran (demand-supply). Parahnya lagi masyarakat dengan literasi keuangan yang rendah terjebak pada pinjaman online (pinjol) illegal, atau yang lazim disebut fintech peer to peer (P2P) lending. Sehingga menyebabkan adanya penyalah gunaan data hingga cara-cara yang tidak etis dalam proses penagihan.

Bahkan adanya one prestasi kontrak dengan jumlah persentase bunga cicilan yang berlipat-lipat saat si nasabah telat bayar bahkan saat gagal bayar. Sehingga tidak sedikit yang ada di pemberitaan media, bagi mereka masyarakat (nasabah) yang tidak siap dengan konsekuensi atas pilihannya stress dibuat ulah pinjol illegal, hingga bunuh diri dan dampak-dampak lainnya.

Sangat miris melihat fenomena tersebut, namun ada hal yang lebih mengoyak jpenulis adalah di tengah hiruk pikuk diskursus geliat keuangan Syariah yang semakin menemukan polanya di negara yang berbhinneka ini tentu menjadi pertanyaan besar adalah, dimanakah posisi dan perannya dalam merangkul dan membentengi masyarakat yang rentan secara sosial maupun ekonomi?

Pinjol illegal menjamah Masyarakat Rentan

Tumbuh suburnya pinjaman online yang ‘illegal’ merupakan cara-cara instan yang dipakai oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan mendzolimi pihak lain.

Akar dari masalah pinjol illegal adalah cara kerjanya yang selalu membebani dan merugikan masyarakat sebagai nasabah (pihak peminjam). Selain itu, pinjol illegal dalam praktekknya menetapkan suku bunga tinggi untuk uang pinjaman, fee terlampau tinggi, denda terbatas dan semua terjadi dengan kesepakatan bersama pihak nasabah.

Tak elak, banyaknya masyarakat yang tergiur untuk ‘klik’ tawaran bantuan dana di saat kerongkongan haus dan perut lapar tentu menjadi oase bagi masyarakat. Terlebih dengan cukup reply via sms (short message service) atau kemudahan dalam membuat aplikasi maupun situs web dengan teknologi informasi. Meskipun hasil penelusuran menjukkan lokasi servernya banyak di luar negeri. Sedangkan yang ada di dalam negeri hanya operator, bahkan hanya menggunakan jasa debt collector saja.

Di luar aspek ‘kepepet’ kebutuhan hidup, masyarakat yang menggunakan akses pinjol illegal merupakan masyarakat dengan tingkat literasi akses pinjaman online yang masih kategori rendah. Sehingga banyak masyarakat peminjam yang tidak melakukan pengecekan detail atas legalitas saat akan melakukan pinjaman dana dari pinjol illegal.

Meskipun, OJK (otoritas Jasa Keuangan) sudah melakukan pemblokiran sebanyak 3.365 pinjol illegal. Namun nyatanya belum bisa menurunkan trend peningkatan pelanggaran hingga kasus-kasus sosial dampak dari pinjol illegal tersebut.

Keuangan Syariah, Keuangan Pro-Mustahd’afin

Sektor Keuangan Syariah menjadi salah satu indikator atas perkembangan ekonomi Syariah di Indonesia yang semakin tahun semakin meningkat. Indonesia merupakan negara dengan perkembangan ekonomi Syariah. Data ICD Refinitif Development Report 2020, Indonesia menempati peringkat ke-2 dunia setelah Malaysia dalam prestasi keuangan Syariah.

Sedangkan data Global Economic Indicator 2020, menduduki peringkat ke 4 dalam pengembangan ekonomi syariah dan masuk peringkat 10 terbesar di sektor industri halal dunia. Tentu menjadi hal yang menarik

Tercatat bahwa sejak tahun 1970-an di Indonesia sudah berkembang sektor keuangan Syariah yang memiliki prinsip operasional yang berbeda denga napa yang ada di sektor keuangan konvensional. Secara fungsi relative sama yaksi sebagai Lembaga intermediasi pemilik modal dengan pihak yang butuh modal.

Namun, absennya praktik bunga (riba) dan spekulasi (maysir) membuat aktivitas keuangan Syariah memiliki corak yang berbeda. Yakni dengan menggunakan bagi hasil (profit loss shariang atau Equity Based), dimana Lembaga Keuangan Syariah (LKS) membayarkan kewajibannya (sisi liability) kepada pemilik dana (shokhibul mal) berupa porsi tertentu dari profit yang didapatkan dari penyaluran pembiayaan (sisi Asset).

Sehingga, LKS dalam menjalankan intermediasi keuangan Syariah akan tetap mempertimbangkan risiko dan biaya dalam penyaluran pembayaran (Sakti, 2018). Yangmana tuntutan kepada LKS harus memperhatikan pengelolaan asset, seperti memilih nasabah yang layak diterima ajuan pembiayaaannya, agar lembaga tersebut dapat membayarkan kewajibannya pada pemilik dana.

Karena kewajiban pada LKS berupa bagi hasil yang tidak tetap (bergantung pada tingkat profit yang didapat pada sisi asset). Namun di sisi Pasar keuangan yang kompetitif, LKS harus tetap menjaga agar tingkat bagi hasil yang diberikan pada pemilik dana tetap menarik (Shiddiqi,2006).

Hal terpenting lain dari LKS adalah pada dasar kontrak dalam keuangan Syariah memiliki dua elemen, yaitu material (komersial) dan ethical (sosial). Pada nilai moral dan etika ini yang sangat mempengaruhi aktivitas pengelolaan dalam LKS yang membuat hubunganpara pihak yang berkontrak menjadi lebih baik (Aljifri,2013). Maka pada elemen ethical (sosial) itulah, sejatinya keuangan Syariah dengan prinsip Syariah memberikan nilai yang sangat kuat untuk memiliki kepedulian dengan masyarakat miskin.

Terlebih, jika dikaitkannya potensi dan pendayagunaan dana sosial Islam (zakat, infaq, shodaqoh dan wakaf) yang melengkapi dari implementasi LKS untuk selalu pro-mustadh’afin (pro-miskin) dengan prinsip ta’awun dan takaful tentu menjadi jaring pentong dalam menjalankan aktivitas intermediasi keuangannya dengan pihak masyarakat yang membutuhkan.

Lalu dimana LKS saat Pinjol menjamah si Masyarakat Rentan?

Berdasarkan uraian terkait nilai, prinsip serta elemen penting dari LKS yang sarat dengan keberpihakan pada kaum masyarakat rentan (Mustadh’Afin) tersebut. Maka, di tengah porak poranda krisis ekonomi akibat pandemi yang berdampak pada menjamurnya pinjaman online (pinjol) illegal yang dengan nyata mencekik masyarakat rentan. Dimanakah taji dari LKS yang disebutkan sebelumnya?

Padahal, dalam catatan BI menyebutkan bahwa selama pandemic tahun 2020, total asset keuangan Syariah di Indonesia tumbuh 22,71% yoy menjadi Rp 1.801,40 triliun. Pada sektor Perbankan Syariah menunjukkan pertumbuhan aset sebesar 13,11% yoy. Sedangkan Aset IKNB Syariah mencapai Rp116 triliun atau tumbuh 10,15 persen yoy.

Kritik ini perlu dijawab dengan Gerakan nyata dari pihak LKS dalam merevitalisasi perannya untuk hadir mendampingi mustadhafin di tengah kondisi yang serba sulit ini. Beberapa pengamatan penulis, beberapa LKS mikro masih shock culture dan terjebak pada PSBB hingga PPKM pemerintah. Atau cenderung mengisolasikan diri dari kemelut mustadh’afin supaya tidak ikut colaps. Semoga Salah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image