Ahad 01 Aug 2021 17:05 WIB

Penyintas KDRT: 'Saya Dipukuli Saat Dia tak Punya Uang'

KDRT terhadap Lydia memburuk saat sang suami kehilangan pekerjaan akibat Covid-19.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Qommarria Rostanti
KDRT(Ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
KDRT(Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES -- Berdiam diri di rumah selama pandemi dapat memberikan perlindungan dari ancaman penularan Covid-19. Akan tetapi, ada ancaman lain yang mengintai korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selama di rumah saja.

Situasi ini pula yang harus dihadapi oleh seorang penyintas KDRT bernama Lydia (bukan nama sebenarnya). Perempuan bersia 40 tahun asal Los Angeles County tenggara ini harus terjebak bersama suami yang suka menyiksanya ketika harus berdiam diri di rumah. Sang suami kerap memukuli dan mengontrol semua pergerakan Lydia.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami Lydia memang sudah terjadi jauh sebelum pandemi Covid-19 mencuat. Pada 2018, Lydia bahkan harus menitipkan ketiga anaknya di rumah seorang keluarga dekat.

Akan tetapi, situasi KDRT yang dihadapi Lydia semakin memburuk ketika sang suami kehilangan pekerjaan saat kebijakan shutdown diterapkan. Akibat rasa marah dan bosan, penyiksaan yang dilakukan sang suami kepada Lydia pun semakin berat.

"Saya dipukuli karena dia tak memiliki uang, karena tak ada daging di pasar. Semuanya menjadi kesalahan saya, dan saya menjadi samsak tinju baginya," cerita Lydia, seperti dilansir California Health Report, Kamis (29/7).

Di sisi lain, pandemi dan restriksi sosial membuat Lydia merasa tak memiliki tempat untuk berpaling. Dia pun tak merasa yakin polisi akan memberikan bantuan di saat jutaan orang meninggal dunia dan terdampak oleh Covid-19.

Akan tetapi, Lydia menyadari bahwa menunggu pandemi Covid-19 berakhir bukanlah opsi. Pada musim panas lalu, Lydia memutuskan untuk lepas dari sang suami setelah mengalami penyiksaan berat dan luka sayatan akibat pisau yang dihunuskan sang suami.

Meski sempat mengalami kesulitan mencari tempat tinggal setelah kabur, Lydia akhirnya berhasil menjangkau bantuan dari organisasi Human Service. Human Service lalu memberikan beragam bantuan bagi Lydia, termasuk tempat tinggal sementara.

Situasi yang dialami Lydia bukanlah hal yang langka. Sejak pandemi Covid-19 terjadi, beberapa organisasi yang memberikan layanan kepada penyintas kekerasan mendapatkan lebih banyak laporan dan permintaan pertolongan terkait tindakan kekerasan dan penyiksaan dalam rumah tangga. Organisasi Human Options misalnya, mendapati adanya peningkatan permintaan tolong hingga 50 persen di masa pandemi Covid-19.

Pada banyak kasus, KDRT sudah dimulai sejak sebelum pandemi. Akan tetapi, KDRT ini semakin bertambah parah ketika korban dan pelaku KDRT banyak menghabiskan waktu bersama di rumah selama pandemi Covid-19. Situasi ini juga diperberat dengan adanya peningkatan stres akibat kekhawatiran terhadap Covid-19, ketidakstabilan ekonomi, hingga ketidakpastian lain secara umum.

Tren KRDT pun tampak masih mengalami peningkatan meski penerapan restriksi tak seketat dulu. Salah satu alasannya, para korban KDRT mulai berinteraksi dengan orang lain seperti teman, keluarga, guru, atau tenaga medis. Mereka kemudian melihat ada tanda kekerasan pada korban KDRT dan membuat laporan.

Chief Executive Officer di Human Options, Maricela Rios Faust, mengatakan peningkatan kekerasan dalam kasus KDRT sebenarnya bukan benar-benar disebabkan oleh berdiam diri di rumah selama pandemi. Peningkatan kekerasan ini lebih dipengaruhi oleh tak adanya jeda dari beragam tekanan di masa pandemi.

"Berdiam diri di rumah belum tentu membuat (pelaku kekerasan) kasar," ujar Faust. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement