Senin 02 Aug 2021 21:38 WIB

Pemerintah Bayangan Myanmar Kutuk Junta Ambil Peran PM

Penguasa militer Min Aung Hlaing membuat pengumuman itu dalam pidatonya pada Ahad.

 Para pengunjuk rasa memberi hormat tiga jari saat mereka membawa bendera serikat mahasiswa selama protes terhadap kudeta militer di Mandalay, Myanmar, 21 Mei 2021.
Foto: EPA/STRINGER
Para pengunjuk rasa memberi hormat tiga jari saat mereka membawa bendera serikat mahasiswa selama protes terhadap kudeta militer di Mandalay, Myanmar, 21 Mei 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Anggota pemerintah bayangan Myanmar yang dibentuk oleh penentang kudeta mengutuk penguasa militer karena mengambil peran perdana menteri (PM) dalam pemerintahan sementara. Mereka mengatakan langkah itu dirancang untuk mencoba mendapatkan legitimasi.

Penguasa militer Min Aung Hlaing membuat pengumuman itu dalam pidatonya pada Ahad (1/8), enam bulan setelah tentara merebut kekuasaan dengan menggulingkan pemerintah terpilih yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi. Pemerintah Sementara menggantikan Dewan Administrasi Negara (SAC) yang diketuai oleh Min Aung Hlaing yang telah memimpin Myanmar sejak kudeta.

Baca Juga

"Transisi dari dewan militer ke pemerintah sementara adalah cerminan dari fakta mereka sedang mempersiapkan pertempuran diplomatik internasional, mencoba membuktikan fakta mereka adalah pemerintah," kata Menteri Hak Asasi Manusia di Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) Aung Myo Min.

NUG dibentuk pada April lalu oleh berbagai kelompok termasuk anggota partai Suu Kyi dan aktivis pro demokrasi. "Namun, fakta tidak dapat disangkal bahwa militer tidak dipilih oleh rakyat," kata Aung Myo Min dalam sebuah unggahan di Facebook.

Seorang pembaca berita di televisi negara Myawaddy mengatakan pemerintah sementara dibentuk untuk melakukan tugas negara dengan cepat, mudah, dan efektif. Dalam pidatonya, Min Aung Hlaing mengulangi janjinya menggelar pemilu pada 2023 dan mengatakan pemerintahannya siap bekerja dengan utusan regional di Myanmar.

Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) telah memelopori upaya diplomatik dan para menteri luar negeri ASEAN bertemu pada Senin. Mereka mencoba menunjuk seorang utusan untuk membantu menghentikan kekerasan dan memajukan dialog mengakhiri krisis di Myanmar.

Kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik menuduh pasukan keamanan telah membunuh sedikitnya 940 orang dalam upaya menekan perbedaan pendapat sejak kudeta. Militer mengatakan jumlah pengunjuk rasa yang tewas jauh lebih rendah dan anggota angkatan bersenjata juga tewas dalam kekerasan, sambil menyebut NUG sebagai kelompok teroris.

Wakil Menteri Listrik dan Energi NUG Lahpai Maw Htun Aung mengatakan dalam sebuah unggahan di media sosial setelah enam bulan kekerasan, junta berusaha memenangkan pengakuan dan legitimasi internasional. "Menempatkan kulit domba pada serigala tidak membuat serigala menjadi kurang serigala," kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement