Rabu 04 Aug 2021 06:07 WIB

Berapa Dosis Vaksin yang Diperlukan untuk Ampuh Hadapi Varian Delta?

Gelombang Delta memicu para ahli mengkaji ulang perkiraan dua dosis vaksin

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Dosis Vaksin Varian Delta
Dosis Vaksin Varian Delta

Dua dosis vaksin mRNA buatan BionTech/Pfizer diyakini mampu membangkitkan antibodi yang mencukupi untuk menangkal infeksi virus corona SARS-COV-2. Para ilmuwan hingga kini meyakini, mereka yang mendapat dua dosis vaksin BioNTech memiliki tingkat perlindungan hingga 90% terhadap virus corona. Namun, cepat menyebarnya varian Delta, memicu para ilmuwan untuk mengkaji ulang aksioma awal tadi.

Dua dosis vaksin, dari jenis dan merk apapun, memang ampuh membangkitkan antibodi dalam tubuh untuk melawan virus corona tipe awal yang muncul di pertama kali di Wuhan, Cina. Mereka yang baru mendapat satu dosis vaksinasi, punya kemungkinan lebih besar terinfeksi varian Delta dibanding yang sudah divaksinasi sepenuhnya dengan dua dosis vaksin.

Pakar Imunologi Carsten Watzl dari Institut Leibniz di Universitas Teknik Dortmund Jerman memperkirakan, efektifitas vaksin BioNTech yang semula 90 persen pada varian alpha, turun ke tingkat 88 persen terhadap varian Delta. Sementara efikasi vaksin AstraZeneca yang semula sekitar 66 persen, melorot ke tngkat 60 persen.

Data dari Israel, bahkan menunjukkan efikasi dua dosis vaksin BioNTech/Pfizer terhadap varian Delta merosot ke kisaran 64%. Walau begitu, antibodi yang terbentuk tetap memiliki efektifitas lebih 93% untuk mencegah munculnya gejala penyakt berat dan parah. Karena itu pemerintah Israel memberikan vaksin dosis ketiga, terutama bagi golongan lansia, untuk menggenjot imunitas melawan varian Delta.

Vaksin kombinasi lebih ampuh?

Sebuah studi baru menunjukkan bahwa menggabungkan dua vaksin yang berbeda mungkin lebih bagus. Para peneliti di Universitas Saarland di Jerman barat telah menemukan bahwa orang-orang yang mendapat suntikan pertama AstraZeneca dan yang kedua dengan vaksin BioNTech-Pfizer, menunjukkan respons kekebalan yang lebih kuat daripada pasien yang menerima dua dosis vaksin yang sama.

Jadi apakah sudah waktunya untuk mengalihkan pendekatan vaksinasi dunia dengan kombinasi vaksin yang cocok untuk semua orang?

Laporan yang dikeluarkan Universitas Saarland barulah tahap awal dan belum sepenuhnya dievaluasi secara ilmiah. Sebelum para peneliti secara resmi mempublikasikan temuan baru, mereka akan melihat faktor usia dan jenis kelamin pasien, misalnya, dan juga mempelajari lebih dalam kombinasi mana yang berpotensi memicu efek samping yang lebih parah.

Meski evaluasi data lengkap belum selesai, tim yang melakukan studi terkejut dengan hasil yang cukup jelas. "Itulah mengapa kami ingin membagikan hasil kami sekarang dan tidak menunggu proses evaluasi ilmiah selesai," ujar Martina Sester, profesor untuk transplantasi dan imunologi infeksi di Saarland University.

Sepuluh kali lipat antibodi

Ada 250 orang yang berpartisipasi dalam uji coba yang dilakukan di University Hospital di Homburg, Saarland, selama beberapa bulan terakhir. Beberapa dari mereka menerima dua suntikan vaksin AstraZeneca, beberapa lainnya menerima dua suntikan vaksin BioNTech-Pfizer dan kelompok ketiga menerima satu dosis AstraZeneca diikuti oleh satu lagi dari BioNTech.

Para peneliti membandingkan kekuatan respon imun peserta dua minggu setelah suntikan kedua. "Kami tidak hanya melihat jumlah antibodi terhadap virus coronayang dikembangkan [para peserta], tetapi juga seberapa efektif apa yang disebut antibodi penawar," jelas Sester. "Itu memberi tahu kita seberapa baik antibodi dalam mencegah virus memasuki sel kita."

Dalam hal pengembangan antibodi, vaksinasi ganda-BioNTech serta kombinasi AstraZeneca-BioNTech secara signifikan lebih efektif daripada vaksinasi ganda-AstraZeneca. Peserta yang disuntik dosis pertama dari salah satu dua kombinasi vaksin, menghasilkan sekitar 10 kali lebih banyak antibodi dibandingkan dengan dua suntikan AstraZeneca.

Sester menambahkan bahwa antibodi penetral yang dihasilkan dengan vaksin kombinasi "bahkan sedikit lebih baik" daripada yang dicapai dengan dua suntikan BioNTech.

Peningkatan 'luar biasa' dalam produksi antibodi

Uji coba CombivacS Spanyol, yang dilakukan dengan 663 peserta di Institut Kesehatan Carlos III di Madrid, sampai pada kesimpulan yang sama. Hasil awal studi ini dilaporkan dalam jurnal ilmiah Nature. Sama seperti Universitas Saarland, hasil yang dipublikasikan belum final.

Dua pertiga peserta menerima suntikan vaksin BioNTech-Pfizer setelah disuntik AstraZeneca. Sepertiga terakhir belum menerima suntikan kedua pada saat hasil awal dibagikan. Magdalena Campins, seorang penyelidik pada studi CombivacS di Rumah Sakit Universitas Vall d'Hebron di Barcelona, ​​​​melaporkan bahwa mereka yang telah menerima suntikan kombinasi vaksin mulai memproduksi tingkat antibodi yang jauh lebih tinggi setelah suntikan kedua mereka, dan antibodi ini mampu mengenali dan menonaktifkan SARS-CoV-2 dalam tes laboratorium.

"Tampaknya vaksin [BioNTech-] Pfizer meningkatkan respons antibodi secara luar biasa setelah satu dosis vaksin AstraZeneca,” tulis Zhou Xing, seorang ahli imunologi di Universitas McMaster di Hamilton, Kanada, yang tidak terlibat penelitian ini, di artikel Nature.

Xing menambahkan bahwa peningkatan antibodi itu tampak lebih nyata daripada orang yang telah menerima dosis kedua vaksin AstraZeneca.

Namun, selain fakta bahwa hasilnya belum final dan belum ditinjau oleh rekan sejawat, ada satu masalah bahwa penelitian ini tidak memasukkan kelompok orang yang menerima dua suntikan vaksin yang sama, sehingga tidak ada perbandingan langsung antara kedua kelompok penerima vaksin yang sama dan vaksin kombinasi.

Kombinasi vaksin 'harus dipertimbangkan secara serius'

Jika hasil awal sesuai, kombinasi AstraZeneca dan BioNTech-Pfizer tampaknya menjadi cara yang menjanjikan. Bukan karena kedua vaksin itu serupa, tetapi keduanya mewakili dua jenis vaksin COVID-19 yang saat ini ada di pasaran.

Para peneliti belum memiliki informasi yang cukup untuk mengetahui mengapa kombinasi kedua vaksin ini dapat meningkatkan kekebalan. Profesor Universitas Saarland, Sester, mengatakan dia menantikan lebih banyak penelitian dilakukan tentang penggabungan berbagai jenis vaksin dan bagaimana vaksin berinteraksi.

"Kami percaya bahwa jika tim peneliti lain mencapai kesimpulan yang serupa dengan kami, kombinasi vaksin vektor (Astrazeneca) dan mRNA (BioNTech/Pfizer) harus dipertimbangkan secara serius," katanya. (pkp/vlz/as)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement