Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hafidz Fuad Halimi

Zakat dan Romantika Sosial

Eduaksi | Wednesday, 04 Aug 2021, 11:08 WIB

Zakat merupakan salah satu pondasi Agama Islam. Rasulullah saw. bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara: (1) syahadat bahwa tidak ada Rabb yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah; (2) mendirikan salat; (3) menunaikan zakat, (4) berpuasa Ramadan; dan (5) menunaikan haji ke Baitullah bagi yang mampu.” (Muttafaq ‘Alaih)

Banyak kalimat perintah zakat yang disandingkan dengan perintah salat. Hal tersebut menunjukkan bahwa ibadah zakat memiliki kedudukan yang sama dengan salat. Tidak serta merta seseorang disebut mukmin jika menunaikan salat tapi enggan berzakat. Hal tersebut pun ditandai dengan banyakanya ancaman yang Allah kabarkan bagi mereka yang enggan berzakat.

Allah Swt. berfirman: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.’” (Q.S. at-Taubah [9]: 34-35)

Zakat berdasar arti bahasanya adalah suci, bersih, tumbuh, bertambah. Dari pengertian bahasanya, ada benang merah yang merangkai arti zakat menjadi ibadah yang bertujuan membersihkan harta dan jiwa seseorang dengan jaminan bahwa harta yang dizakati akan terus tumbuh dan bertambah sebagai kebaikan dan kemaslahatan diri dan lingkungan sosial.

Berdasarkan sejarah syariatnya, perintah zakat sudah diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. semasa periode dakwah di Mekah. Namun, pada saat di Mekah, aplikasi zakat hanya sebatas sukarela dan fokus terhadap pembebasan hamba sahaya. Baru pada tahun kedua hijrah di Madinah, secara spesifik perintah zakat dimulai dengan perintah menunaikan Zakat Fitri di bulan Ramadan (28 Ramadan Tahun 2 Hijrah / 23 Maret 624 Masehi). Sebulan kemudian, barulah syariat Zakat Maal diterapkan dalam tatanan masyarakat Islam Madinah.

Penerapan syariat zakat beriringan dengan tatanan sistem kemasyarakatan yang dibangun oleh Rasulullah saw. di Madinah. Dua tahun setelah hijrah, kaum Muhajirin mulai bisa membangun ketahanan ekonomi sendiri dan sedikit demi sedikit sudah bisa melepaskan diri dari ketergantungan dan kemurahan hati kaum Anshar. Maka, penerapan syariat zakat secara spesifik menjadi suatu tanda keselarasan syariat dengan realitas sosial. Di saat bersamaan, kaum Muhajirin dan kamum Anshar sama-sama memiliki peluang untuk berkompetisi melalui ibadah zakat.

Selain bentuk ketaatan kepada Allah, satu hal yang khas dari syariat zakat ini adalah implikasi sosial yang dahsyat. Coba renungkan beberapa impikasi sosial dari penerapan zakat berikut.

Pertama, ibadah zakat merupakan deklarasi kemerdekaan diri dari perbudakan harta. Terlalu banyak manusia yang beranggapan bahwa harta adalah sumber kebahagiaan utama. Padahal, banyak catatan sejarah mengungkapkan bahwa banyak manusia yang tak bahagia dengan limpahan harta, bahkan sampai depresi dan frustasi. Hal tersebut terjadi akibat paradigma yang salah dalam memandang harta. Bagi insan berzakat, harta bisa menjadi sumber kebahagiaan karena manusia yang mengendalikan harta dan bukan harta yang mengendalikan manusia. Dengan zakat, seseorang akan merasa bahagia karena kelebihan harta yang dimilikinya bisa dibagi kepada mereka yang kekurangan. Berkurangnya harta tak akan menjadi beban berat karena meyakini bahwa setiap harta yang diperoleh merupakan titipan Allah. Hal-hal demikianlah yang memungkinkan seorang mukmin jauh dari depresi dan frustasi. Semua dikembalikan kepada Allah dan kepada fungsinya (harta sebagai jalan kebaikan).

Kedua, membudayanya zakat menjadi tanda tumbuhnya kesadaran simbiosis mutualisme antara masyarakat sejahtera dengan masyarakat prasejahtera. Adakalanya, gesekan sosial terjadi hanya karena kelirunya mindset bahwa hanya lapisan kaum prasejahtera yang butuh kepada kaum sejahtera (kaya raya). Dan, kaum sejahtera tidak membutuhkan masyarakat prasejahtera. Padahal dalam realitas akal sehat, kaum sejahtera dan kaum parsejahtera sama-sama saling membutuhkan. Jika disepakati bersama mindset seperti itu, maka harmonisasi antara kaum sejahtera dengan kaum prasejahtera akan tampak memukau.

Ketiga, penerapan zakat menjadi jangkar stabilitas sosial. Salah satu problematika sosial klasik hingga kini adalah nampak jelasnya kesenjangan sosial, terutama di wilayah berlebel perkotaan, terlebih di kota-kota besar. Sebetulnya, jika zakat sudah diterapkan dengan regulasi yang kokoh, tentu kesenjangan sosial bisa lebih ditekan karena zakat bisa menjadi penghubung emosional kaum berada dengan kaum yang tak berpunya. Maka, stabilitas sosial akan terbentuk dengan sendirinya. Dempak lainnya, ketika kesenjangan menipis dan stabilitas sosial terjaga, maka angka dan tingkat kriminalitas pun akan berkurang. Tak dipungkiri, banyak unsur kriminalitas terjadi akibat dari kecemburuan sosial yang tampak di depan mata. Batapa liarnya kaum tak berpunya melihat kemegahan di tengah kondisi perutnya yang sedang kelaparan. Dorongan itulah yang tak sedikit menjadi pemicu terjadinya aksi kriminalitas.

Keempat, tingginya kesadaran berzakat akan menjadi bumper dalam pertumbuhan ekonomi negara. Nilai pemberdayaan yang dilakukan lembaga zakat secara aktif dan agresif bisa membantu menggeser masyarakat prasejahtera menuju masyarakat sejahtera. Dalam kondisi ini, zakat yang terkelola dengan baik melalui lembaga menjadi nilai plus dalam sistem penerapan zakat di masyarakat. Terkumpulnya dana zakat secara masif bisa menjadi modal bangkitnya ekonomi negara akibat program pemberdayaan ekonomi, terlebih program pemberdayaan kewirausahaan yang menumbuhkembangkan UMKM yang menjadi salah satu penopang ekonomi nasional.

Zakat mampu meringankan beban negara dalam menekan angka kemiskinan.
Zakat mampu meringankan beban negara dalam menekan angka kemiskinan.

Kelima, secara pasti penerapan zakat bisa mengurangi dan menekan angka kemiskinan. Tak bisa dipungkiri, salah satu problem yang menjadi beban berat di pundak penyelenggara negara adalah problem kemiskinan. Terbukti, ketika ada penurunan angka kemiskinan secara statistik, pemerintah sangat sumringah seakan ada beban yang berkurang di pundaknya. Padahal, jika perilaku berzakat sudah mendarah daging di segenap anak bangsa, cepat atau lambat angka kemiskinan akan semakin kecil karena distribusi kekayaan bisa terbagi dengan cepat dan tepat dari masyarakat ke masyarakat secara langsung. Bayangkan, potensi penghimpunan zakat di Indonesia adalah sekitar 200 trilyun. Jika terhimpun maksimal, tentunya didukung dengan sistem negara, tentu akan banyak masyarakat Indonesia yang bergerak dari masyarakat prasejahtera menuju masyarakat sejahtera. Dan, setiap tahun badan statistik bisa membisiki penyelenggara negara sehingga negara bisa mengumumkan penurunan angka kemiskinan dengan penuh rasa bangga.

Maka dengan demikian, perlu upaya bersama dalam membangun kesadaran akan pentingnya penerapan dan pengelolaan zakat dalam kehidupan masyarakat. Setiap elemen masyarakat, termasuk para penyelenggara negara, harus berperan aktif menjadikan zakat sebagai solusi di tengah kesulitan bangsa dan negara. Terlebih, di masa pandemi seperti sekarang ini. Bukankah budaya tolong menolong sudah mengakar sebagai jati diri bangsa? Sudah saatnya kita merdeka dengan melepaskan diri dari perbudakan harta sehingga kita segenap bangsa bisa merasakan kebahagiaan hakiki dan menikmati pemandangan keseharian masyarakat yang harmonis dan humanis.

Wallahu A'lam bis Shawab

Baca Juga:

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image