Senin 09 Aug 2021 06:56 WIB

Menyambut Muharram, Bolehkah Merayakan Tradisi Malam 1 Suro?

Tradisi malam 1 suro bersamaan dengan malam 1 Muharram.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil
Menyambut Muharram, Bolehkah Merayakan Tradisi Malam 1 Suro?. Foto: Sejumlah warga mengikuti tradisi malam satu Suro di kompleks sendang Sidhukun Desa Traji, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, Rabu (19/8/2020). Tradisi menyambut satu Suro yang biasanya dihadiri ribuan orang, kali ini hanya dihadiri puluhan warga tertentu dan pemangku adat karena pandemi COVID-19 dan disiarkan secara virtual.
Foto: ANTARA/Anis Efizudin
Menyambut Muharram, Bolehkah Merayakan Tradisi Malam 1 Suro?. Foto: Sejumlah warga mengikuti tradisi malam satu Suro di kompleks sendang Sidhukun Desa Traji, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, Rabu (19/8/2020). Tradisi menyambut satu Suro yang biasanya dihadiri ribuan orang, kali ini hanya dihadiri puluhan warga tertentu dan pemangku adat karena pandemi COVID-19 dan disiarkan secara virtual.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebentar lagi umat Muslim di seluruh dunia akan segera menyambut datangnya bulan Muharram. Di Indonesia, datangnya tahun baru Islam ini erat kaitannya dengan malam 1 Suro, serta beragam tradisi atau perayaannya.

Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Mahbub Maafi, menyebut sambutan masyarakat Muslim Indonesia terhadap datangnya bulan ini sebetulnya merupakan bentuk ekspresi rasa syukur dan kebahagian.

Baca Juga

"Menyikapi tradisi atau adat-istiadat ini, dalam pandangan Islam adalah selama tradisi tersebut bukan hal yang diharamkan maka tidak ada masalah," kata dia saat dihubungi Republika, Ahad (8/8).

Bulan Muharram atau bulan Sura merupakan bulan yang diyakini oleh umat Islam sebagai salah satu bulan suci atau istimewa. Amalan kebajikan yang dilakukan pada bulan tersebut akan mendapatkan pahala berlipat, demikian juga jika melakukan amalan keburukan.

Seperti diketahui, sebagian masyarakat Muslim Indonesia dalam menyambut datangnya bulan Sura mengadakan sejumlah kegiatan. Contohnya, kirab Sura, sedekah laut dengan kepala kerbau, hingga memandikan pusaka seperti keris, yang sudah menjadi tradisi secara turun temurun.

Salah ulama terkemuka dari kalangan madzhab hanbali dalam kitab al-Funun, sebagaimana dikemukakan Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitab al-Adab asy-Syar’iyyah, Ibnu 'Aqil, menyatakan, "Tidak etis menentang tradisi masyarakat kecuali tradisi yang diharamkan".

Baca juga : Hasil Rukyat Hilal PBNU: 1 Muharram Selasa 10 Agustus

Dari sekian tradisi menyambut satu Muharram atau Sura, Kiai Mahbub Maafi menyebut yang sering menjadi isu di tengah masyarakat Muslim modern adalah tradisi sedekah laut. Yaitu berupa kepala kerbau atau kepala kambing yang dilarung ke laut.

"Tradisi sedekah laut misalnya di Jawa, sebagaimana yang saya pahami, adalah sebagai ekspresi rasa syukur masyarakat nelayan kepada Allah SWT atas rejeki yang mereka dapatkan melalui laut," lanjutnya.

Sedekah tersebut diberikan kepada makhluk penghuni laut, seperti plankton dan ikan, dengan harapan dapat menjauhkan bala dan menarik rejeki. Sebagaimana selama ini diketahui, sedekah dapat menolak bala dan menarik rejeki.  

Ia pun tak menampik jika muncul pertanyaan, apakah bersedekah kepada hewan dapat dibenarkan dalam pandangan syariat?

Di dalam kitab Mirqat al-Mafatih Syarhu Misykah al-Mashabih, terdapat keterangan yang menyatakan, "Memberikan makanan dan minuman kepada setiap hewan itu ada pahalanya kecuali hewan yang diperintahkan untuk dibunuh seperti ular dan kalajengking".

"Atas dasar ini, maka tradisi sedekah laut tidak perlu dipersoalkan. Bahkan di dalam tradisi itu mengandung pesan penting agar manusia selalu menjaga harmonisasi dengan alam," ujarnya.

Terakhir, Kiai Mahbub menyebut jika di dalam praktik sebuah tradisi ditemukan hal yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam, maka tugas para ulama melakukan perbaikan pada bagian yang bermasalah.

Adapun perbaikan dan pemberian informasi ini harus dilakukan dengan cara yang santun-lembut, sebagaimana yang telah dipraktikan oleh para wali di tanah Jawa.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement