Senin 09 Aug 2021 15:15 WIB

Pemerintah Bayar Klaim Perawatan Covid-19 Rp 25,45 Triliun

Pemerintah berharap pembayaran klaim semakin lancar dan akuntabel

Rep: Novita Intan / Red: Nashih Nashrullah
Pemerintah berharap pembayaran klaim semakin lancar dan akuntabel. Ilustrasi rumah sakit Covid-19
Foto: ANTARA/Biro Pers Setpres/Muchlis Jr
Pemerintah berharap pembayaran klaim semakin lancar dan akuntabel. Ilustrasi rumah sakit Covid-19

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Kementerian Keuangan mencatatkan pembayaran klaim perawatan Covid-19 sebesar Rp 25,45 triliun per Juli 2021. Adapun pembayaran klaim ini termasuk tunggakan tagihan dari rumah sakit pada 2020 sebesar Rp 8,16 triliun. 

Direktur Anggaran Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Purwanto, mengatakan protes rumah sakit terkait pembayaran klaim perawatan Covid-19 semakin berkurang. Diharapkan memasuki semester dua 2021, pembayaran klaim akan semakin lancar dan tetap akuntabel. 

Baca Juga

“Rumah sakit yang belum dapat mungkin termasuk yang masih dispute karena mesti cek BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) dan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan),” ujarnya saat webinar seperti dikutip Senin (9/8). 

Selain terkait pembayaran klaim rumah sakit, Purwanto juga menyoroti terkait pembayaran tagihan oleh pemerintah daerah melalui transfer ke daerah dan Dana Desa (TKDD) yang masih rendah. 

Menurutnya pemerintah akan melakukan intercept atau melakukan pembayaran uang pemerintah pusat terlebih dahulu. “Karena pemerintah daerah lambat membayar insentif tenaga kesehatan atau petugas vaksin misalnya, itu dibantu oleh pemerintah pusat dulu untuk mengintervensi daerah dengan uang pemerintah pusat dulu,” ucapnya. 

Purwanto meyakinkan dana penanganan Covid-19 tersebar secara merata setiap daerah. Apabila pemerintah tampak mempercepat penyaluran dana penanganan Covid-19 ke wilayah Jawa dan Bali, menurutnya, hal itu karena kedua wilayah ini memiliki banyak penduduk dan termasuk ke dalam zona merah. 

“Tapi kami pun tidak menutup mata, kalau kasusnya sangat berat di suatu daerah, itu akan kami cek, kami lihat. Kalau dia telat (melakukan penanganan), kami masuk duluan dengan kebijakan intercept,” ucapnya. 

Di samping itu, penanganan di kedua wilayah ini diakui lebih cepat karena tidak terkendala transportasi maupun jaringan informasi. 

“Tiap hari kami memantau kemajuannya dan memang yang disasar daerah-daerah yang masih merah, padat penduduk, karena memang seperti Jakarta ini pusat ekonomi, budaya, dan sebagainya, tapi bukan berarti yang lain ditinggalkan,” ucapnya.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement