Selasa 17 Aug 2021 17:28 WIB

Taliban Janji Lebih Moderat, Pengamat: Buat Opini Positif

Taliban diperkirakan akan banyak berbicara pendekatan pembangunan

Rep: Lintar Satria / Red: Nur Aini
Milisi Taliban berjaga di gerbang utama menuju istana kepresidenan Afghanistan, di Kabul, Afghanistan, Senin, 16 Agustus 2021. Militer AS berjuang untuk mengatur evakuasi yang kacau dari Afghanistan pada hari Senin ketika Taliban berpatroli di ibu kota dan mencoba untuk memproyeksikan ketenangan setelah menggulingkan pemerintah yang didukung Barat.
Foto: AP/Rahmat Gul
Milisi Taliban berjaga di gerbang utama menuju istana kepresidenan Afghanistan, di Kabul, Afghanistan, Senin, 16 Agustus 2021. Militer AS berjuang untuk mengatur evakuasi yang kacau dari Afghanistan pada hari Senin ketika Taliban berpatroli di ibu kota dan mencoba untuk memproyeksikan ketenangan setelah menggulingkan pemerintah yang didukung Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Usai merebut kekuasaan di Afghanistan kelompok milisi bersenjata Taliban berjanji untuk lebih moderat dibandingkan pemerintahan di masa lalu. Tapi masih banyak pihak yang khawatir Taliban akan mengekang hak perempuan dan memberlakukan hukum rajam. Pengajar hubungan internasional Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah mengatakan saat ini. Taliban sedang euforia kemenangan atas negara adikuasa sehingga mereka sedang dalam optimisme tinggi.

Kelompok milisi bersenjata itu juga melampaui perkiraan NATO yang memprediksi Taliban baru bisa masuk Kabul tiga bulan lagi. Ternyata dalam dua minggu mereka sudah menerobos ibu kota Afghanistan tersebut. Dalam kondisi seperti itu menurut Teuku, Taliban akan berbicara pada tataran idealis. Kelompok itu mengaku ingin membentuk persatuan nasional, tidak menghukum orang-orang anti-Taliban, serta mengampuni tentara, pemerintah, dan aparat kepolisian Afghanistan.

Baca Juga

"Taliban ingin rujuk nasional. Untuk rujuk nasional itu hendaknya mereka lakukan juga dengan menciptakan opini positif di dunia. Tadi kan di dalam sekarang di luar, karena jangan sampai pergerakan mereka di dalam salah ditafsirkan oleh masyarakat internasional," kata Teuku, Selasa(17/8).

Sebab, kata dia, batas-batas geopolitik Afghanistan cukup rawan. Di sebelah timur, Afghanistan berbatasan dengan Pakistan, sebelah barat berbatasan dengan Iran, di utara berbatasan dengan Turkmenistan, Uzbekistan dan Tajikistan, di timur laut berbatasan dengan China.

"Jadi jangan sampaikan pesan pembangunan yang disampaikan di dalam negeri disalahartikan oleh kalangan di perbatasan, sehingga negara-negara yang tadi, Pakistan, Iran, Turkmenistan, Uzbekistan, Tajikistan, dan Cina melakukan sesuatu yang menganggu perbatasan Taliban," tambah Teuku.

Karena, kata dia, selama konflik dengan Amerika Serikat (AS) perbatasan-perbatasan Afghanistan termasuk wilayah rawan. Mungkin ada pihak yang salah tafsir sehingga melakukan tindakan yang merusak proses pembangunan.  

Baca juga : Kala Taliban Musuhi dan Perangi ISIS

"Ke depannya saya pikir mereka akan banyak berbicara pendekatan-pendekatan pembangunan, mereka akan berbicara tentang misalnya pendidikan, kesehatan, kerja sama teknologi, pemerintahan yang berbasis supremasi hukum, kemudian berusaha mempersatukan masyarakat sipil," kata Teuku.

Pasalnya, Afghanistan juga masyarakat multietnis. Berdasarkan data World Population Review persentase demografi etnis Afghanistan antara lain Pashtun 42 persen, Tajik 27 persen, Hazara 9 persen, Uzbek 9 persen, Aimak 4 persen, Turkmen 3 persen, Baloch 2 persen dan empat persen sisanya masuk kelompok etnis 'lain.'

"Ini harus dipersatukan, karena sentimen etnisnya mereka berbahasa berbeda, sejarah kebangsaan berbeda tapi agamanya satu, kira-kira 88 persen Islam sunni dan 12 persen Islam syiah," kata Teuku.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement