Rabu 18 Aug 2021 11:09 WIB
Catatan 26 Tahun Republika.co.id

Generasi Digital Versus Media Digital

Republika berusaha adaptif terhadap perkembangan teknologi digital.

Ilustrasi Mengakses Republika Online
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ilustrasi Mengakses Republika Online

Oleh : Nur Hasan Murtiaji, Wakil Pemimpin Redaksi Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Adalah Mark McCrindle yang kali pertama memperkenalkan istilah Generasi Alfa. Analis sosial dan demografi ini mendefinisikan Generasi Alfa sebagai mereka yang terlahir pada kurun 2010 hingga 2025.

Sebutan Alfa muncul dari hasil survei yang dilakukan pada 2005. Penamaan Alfa juga mengacu pada penggunaan huruf bagi Generasi Z yang merupakan abjad terakhir sehingga harus dimulai lagi dari awal dengan mengikuti pola abjad Yunani, yakni 'alfa'. Generasi Alfa ini merupakan anak dari generasi Milenial dan adik dari Generasi Z.

Merujuk pada definisi berdasarkan kurun waktu terlahir pada 2010-2025, kita sudah bisa meraba bagaimana karakteristik generasi ini. Mereka adalah generasi yang disebut sebagai generasi digital.

Bagaimana tidak digital mereka ini. Ketika baru lahir saja sudah memegang smartphone. Baru berumur sehari telah memiliki akun di beragam media sosial. Belum genap sepekan umurnya sudah bisa nonton konten video di Youtube. Belum terkumpul sebulan usianya sudah posting foto-foto dan video selfie di Tiktok atau Hello dan platform serupa lainnya.

Tentu saja penggambaran tersebut bukan kondisi sebenarnya dari Generasi Alfa. Itu hanya kiasan yang menunjukkan bahwa mereka adalah generasi yang well digitalized. Mereka adalah generasi terdidik. Mereka merupakan generasi dengan talenta cepat menyerap akses informasi.

Percakapan antarsesama mereka tak lagi mesti lisan bertemu muka, cukup dengan mengirim pesan direct message di aplikasi chat messenger. Belajar kelompok juga tak harus berkumpul di salah satu rumah siswa, tapi cukup dengan melakukan video conference menggunakan aplikasi virtual meeting. Keseharian mereka terbiasa dengan teknologi digital.

Dalam survei McCrindle, Generasi Alfa ini diprediksi berjumlah dua miliar jiwa pada 2025. Setiap pekan terlahir 2,7 juta bayi generasi digital. India dan Cina merupakan negara terbanyak yang melahirkan Generasi Alfa. Dan ternyata negara ketiga terbanyak adalah Indonesia.

Menurut data We are social and Hootsuite per Januari 2021, dari 274,9 juta jiwa penduduk Indonesia, sebanyak 345,3 juta atau 125,6 persen populasi Indonesia terhubung melalui jaringan telepon genggam. Sebanyak 202,6 juta atau 73,7 persen dari populasi Indonesia juga terkoneksi dengan internet. Sedangkan, 170 juta penduduk Indonesia atau 61,8 persen adalah pengguna aktif media sosial.

Masih dari data yang sama, penduduk Indonesia yang berusia 16-64 tahun pengguna internet menghabiskan waktunya berselancar di dunia maya 8 jam 52 menit. Lebih dari sepertiga kehidupan keseharian rakyat Indonesia mantengin jagat maya. Sekitar 98,5 persen waktu tersebut adalah untuk menonton tayangan video secara online.

Adapun persentase penggunaan aplikasi mobile terbanyak digunakan untuk aplikasi percakapan dan pesan (66,5 persen), aplikasi media sosial (96,3 persen), aplikasi musik (60,4 persen), aplikasi gim (60,2). Berikutnya adalah aplikasi layanan perbankan dan keuangan (39,2 persen) dan aplikasi kesehatan kebugaran nutrisi (23,4 persen).

Data tersebut menggambarkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia sudah terdigitalisasi. Memang yang menjadi pertanyaan, seberapa baik pemahaman mereka terkait digitalisasi dan seberapa besar manfaat yang mereka dapatkan dari digitalisasi ini.

Literasi digital tentu sangat dibutuhkan dalam hal ini. Masyarakat yang melek digital akan memahami konsekuensi penggunaan perangkat keras maupun perangkat lunak. Bagaimana melindungi diri dari upaya peretasan dan pencurian data. Bagaimana memilah dan memilih informasi agar terhindar dari asupan berita palsu nan menyesatkan. Bagaimana agar kita menjadi bagian dari arus penyebaran konten positif yang menyehatkan.

Namun, meliterasi digital masyarakat bukan tantangan mudah. Era tsunami informasi membuat kegagapan dan kegamangan sebagian dari kita. Fenomena eco chamber maupun filter bubble menjadikan sebuah informasi hanya melaju searah. Algoritma informasi yang dibuat mesin pencarian memungkinkan seseorang berada dalam satu pandang pemikiran, sudut pemikiran lainnya adalah salah. Kebenaran informasi hanya ada pada dirinya.

Tentu bukan masyarakat digital seperti ini yang kita harapkan membentuk Indonesia. Bukan komunitas digital yang hanya memandang kelompoknya yang paling benar, dengan menafikan pandangan pihak lain. Bukan pula kelompok digital yang mengungkit-ungkit kekurangan dan kesalahan pihak lain, mengaduk-aduk emosi dan menebar kepalsuan informasi.

Republika sebagai koran pertama yang memelopori media online dengan lahirnya Republika.co.id (Republika Online) pada 17 Agustus 1995 --sebagaimana dikukuhkan pada Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2018 di Padang, Sumatra Barat-- berposisi sebagai penjernih informasi. Mengusung misi profetik untuk menyebarkan konten positif.

Republika tentu hadir menyapa pembaca dari beragam generasi dengan membawa misi ini. Sebagai industri pers, Republika berusaha adaptif terhadap perkembangan teknologi digital. Jika pada 17 Agustus 1995 hanya terlahir Republika Online, kini Republika hadir dengan platform digital pilihan sesuai preferensi. Tentu aspek keumatan dan kebangsaan menjadi panduan dalam setiap garapan di platform digital Republika.

Situs Ihram.co.id menjadi pilihan pembaca yang ingin mendapatkan sisi lain informasi berbasis komunitas. Pengembangan dari edisi e-paper adalah Republika.id, konten digital multimedia berbasis subscription dengan konten pilihan sesuai preferensi dan sistem donasi.

Terdapat pula situs Repjabar.co.id dan Repjogja.co.id untuk mendekatkan konten dengan masyarakat di daerah Jawa Barat, Yogyakarta, dan Jawa Tengah. Terbaru adalah Retizen.id, situs bagi blogger Republika yang terhubung dengan Republika.co.id.

Sebagai saluran distribusi konten, Republika hadir hampir di semua platform arus utama media sosial. Mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, Tiktok, Likee, Hello, hingga aplikasi messenger seperti Telegram.

Republika terus mengembangkan konten digital dengan masuk ke teknologi Blockchain. Terbaru, Republika melepas halaman muka edisi perdana 1 Januari 1993 dalam bentuk non-fungible token (NFT) di marketplace Opensea.

Platform digital adalah keniscayaan bagi sebagaimana terus lahirnya generasi baru digital. Untuk itu, Republika berusaha adaptif karena konten positif bisa hadir di platform multimedia apa pun. Kami tak akan berhenti berikhtiar untuk menghadapi era digital.

Tentu jejak waktu 26 tahun dalam mengembangkan konten digital bukanlah usia sempurna. Masukan dan nasihat dari pembaca menjadi asupan bergizi yang terus melecut kami. Terima kasih sudah setia membersamai konten digital Republika.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement