Ahad 22 Aug 2021 06:33 WIB

Afghanistan, 60 Jam dalam Kenangan

Mengenang upaya Indonesia merajut damai di Afghanistan.

Jurnalis Republika, Andi Nur Aminah bersama anak-anak Afghanistan, beberapa tahun lalu.
Foto: istimewa/doc pri
Jurnalis Republika, Andi Nur Aminah bersama anak-anak Afghanistan, beberapa tahun lalu.

Oleh : Andi Nur Aminah, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Sisa-sisa hawa musim dingin masih terasa saat kami tiba di Bandara Hamid Karzai Internasioanl, Kota Kabul, Afghanistan, 27 Februari 2018 lalu. Sebelum turun dari tangga pesawat kepresidenan Republik Indonesia, saya harus mengencangkan jaket untuk menghindari terpaan udara dingin. Suhu kala itu 5 derajat Celcius.

Namun selain jaket, ada tambahan pelapis badan yang ternyata lumayan menambah 'kehangatan'. Pelapis badan yang saya maksud adalah rompi antipeluru. Ini pertamakalinya saya mengenakan rompi semacam itu. Biasanya saya hanya melihat pasukan antihuruhara yang memakainya saat demo-demo dengan eskalasi bakal rusuh, itu di Indonesia.

Tapi ini, di Kota Kabul, Afghanistan. Sebuah negara yang warganya sudah terbiasa dengan desing peluru, tembak-tembakan, ledakan bom, atau berbagai suasana yang serba tak bisa diprediksi. Selama di sana, saya 'wajib' pakai rompi ini, apalagi jika berada di luar ruangan. Rompi itu kira-kira beratnya sekitar 3 kilogram.

Saat bersiap turun dari pesawat, menyaksikan hampir semua orang menggunakan rompi tersebut, seketika jantung saya berdetak lebih kencang. Saya tarik napas panjang, melafazkan doa dan kemudian pasrah. Ini tugas negara dan saya beruntung. Tidak semua jurnalis bisa mendapatkan kesempatan ini. 

Saya bersama dua jurnalis lainnya menjadi bagian rombongan Wakil Presiden RI ke-10 dan 12, Jusuf Kalla. Kami pun ikut dalam pengawalan Paspampres. 
Turun dari pesawat, kami melalui serangkaian pemeriksaan. Tidak terlalu ribet rasanya, mungkin karena kami adalah rombongan VVIP yang sudah dijemput khusus. Mata saya celingak celinguk, menyaksikan dimana-mana tentara yang menggenggam senapan mesin jenis AK-47. Saya berusaha santai padahal degdegan.
 
 
Lalu kemudian, rombongan kecil kami mencuri-curi kesempatan menghampiri seorang tentara Afghanistan yang terlihat ramah. Kami pun minta izin untuk berfoto bersama.
 
Dari bandara, kami langsung menuju Kabul Serena Hotel. Sepanjang perjalanan, mata saya merekam berbagai pemandangan. Jalan-jalan di Kota Kabul lebar dan berdebu. Bangunan-bangunannya terlihat tak terurus. Di beberapa titik keramaian, hampir selalu terlihat tentara. Mobil melaju kencang, kadang melintasi pos-pos tentara, panser, juga blok-blok dari kawat berduri dan beton.
 
Menjelang masuk Kota Kabul, kami melintasi wilayah seperti pasar. Cukup ramai. Mereka menjual buah-buahan, kacang-kacangan, ada juga yang menjual pakaian. 
Lalu sopir mobil mengingatkan untuk tidak membuka kaca jendela. Dia bercerita, mobil yang kami tumpangi memang sudah dilapisi baja antipeluru. Namun pernah terjadi, sebuah mobil antipeluru meledak, gara-gara di tengah kerumunan, kaca mobil yang dibuka tiba-tiba dilempari bom dari luar. 
 
Mendengar ceritanya, saya jadi lebih waspada. Apalagi saat mobil kami sempat terjebak di tengah kemacetan. Melihat pengemis yang datang mendekat, kami terpaksa tak bereaksi. 
 
Lepas dari jebakan kemacetan, tak lama kami tiba di hotel yang dituju. Namun jangan membayangkan bangunan hotel yang tinggi menjulang terlihat megah. Gerbang masuk ke hotel ini Tak ada plang penunjuk hotel. Dari luar, hotel ini seperti gudang saja. Setelah melalui beberapa pemeriksaan, terlihatlah pagar besi sekitar lima meter. Di balik pagar baja itu, barulah hotel terlihat. Kabul Serena Hotel, pernah menjadi sasaran serangan yang menewaskan puluhan orang pada 2014 lalu. 
 
Kedatangan JK ke Afghanistan, kala itu untuk menghadiri Konferensi Proses Perdamaian Kabul atau Kabul Proces. Konferensi ini dihadiri perwakilan dari Afghanistan, Pakistan dan Indonesia. Hasil Kabul Proces kemudian ditindaklanjuti lagi dengan pertemuan selanjutnya di Indonesia. Selain membicarakan upaya-upaya perdamaian di Afghanistan, point penting lain di Kabul Proces adalah harapan terwujudnya kerja sama ekonomi dan peningkatan sumber daya manusia di Afghanistan.
 
Pertemuan Kabul Proces berlangsung di salah satu ruangan di kompleks Istana Haram Sharai, Kabul. Pertemuan dibuka oleh Presiden Afghanistan Ashraf Ghani dan dihadari Wapres Jusuf Kalla, serta beberapa ulama dan tokoh lainnya di Istana Haram Sharai. 
 
Baca juga : Viral, Saudara Presiden Ashraf Ghani Dukung Taliban
 
Hari kedua di Afghanistan, Jusuf Kalla menuju ke wilayah Ahmad Shah Baba Mina. Ini salah kawasan permukiman kumuh di wilayah itu. Kalla melakukan peletakan batu pertama pembangunan klinik kesehatan di Indonesia Islamic Centre. 
 
Untuk tiba di Ahmad Shah Baba Mina, rombongan melintasi wilayah yang kerap terjadi penghadangan. Maka untuk antisipasi berbagai kemungkinan, sejumlah penembak jitu baik dari Paspampres maupun tentara Afghanistan disiagakan. 
 
Di sana, sejumlah bocah Afghanistan menyambut kami. Mereka membawa bendera-bendera kertas Indonesia dan Afghanistan. Beberapa terdengar berteriak: Indonesia! Indonesia!
 
Tiga tahun setelah berlangsungnya Kabul Proces, harapan akan perdamaian di Afghanistan memang belum terwujud. Dan Ahad (15/8) lalu, menjadi sejarah baru bagi Afghanistan, di mana Taliban memasuki ibu kota Kabul dan menguasai Afghanistan untuk pertama kali selama hampir 20 tahun. 
 
Dengan runtuhnya pemerintahan sebelumnya, fokus telah beralih pada keselamatan warga sipil dan pengungsi Afghanistan, bersama dengan masa depan negara di bawah Taliban. Keberhasilan Taliban menguasai Afghanistan lebih cepat dari yang diperkirakan. Hal itu diakui Presiden Amerika Serikat Joe Biden. Biden bahkan menyalahkan pemerintah dan militer Afghanistan yang dinilainya kurang perlawanan. “Para pemimpin politik Afghanistan menyerah dan melarikan diri dari negara itu. Militer Afghanistan runtuh, dan terkadang tanpa berusaha melawan,” ujarnya.
 
Keberhasilan Taliban menguasai kembali Afghanistan tak terlepas dari keputusan Biden menarik seluruh pasukan AS dari negara tersebut. Selama dua dekade terakhir, Washington merupakan sekutu utama Pemerintah Afghanistan dalam memerangi Taliban. Meski dibanjiri kritik, Biden menilai keputusannya menarik seluruh personel militer AS dari Afghanistan sebagai langkah tepat.
 
Lantas bagaimana masa depan Afghanistan selanjutnya? Wakil Presiden RI ke-10 dan 12, Jusuf Kalla pun optimistis meskipun ibu kota Kabul jatuh ke tangan Taliban, Afghanistan tak jatuh dalam pertumpahan darah dan perang saudara. 
 
“Baik Taliban maupun Pemerintah Afghanistan sama-sama meyakini bahwa mereka bersaudara dan tidak akan memerangi negara yang sudah ditinggalkan oleh tentara Amerika Serikat,” ujar Kalla.
 
Dia menyebut kenal baik dengan Presiden Ashraf Ghani dan Kepala Kantor Politik Taliban, Mullah Abdul Gani Baradar. Menurut Kalla, kedua pemimpin ini akan berupaya menyelesaikan secara damai konflik di Afghanistan yang sudah berjalan hampir 30 tahun.
 
Juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid mengatakan Taliban sedang mencari hubungan baik dengan negara-negara lain untuk memungkinkan kebangkitan ekonomi dan kemakmuran untuk keluar dari krisis ini. Tetapi, beberapa bersikap ragu terhadap Taliban, yang selama berkuasa di Afghanistan dari 1996-2001 melarang perempuan untuk bekerja dan anak perempuan untuk bersekolah, serta memberlakukan hukuman seperti rajam di depan umum.
 
 
Jusuf Kalla, sebagai figur yang intens mengupayakan jalan damai di negara itu berharap Afghanistan setelah Taliban berkuasa, bisa membuka kerja sama dengan negara-negara lain yang tidak punya kepentingan politik, tetapi kerja sama perekonomian. Kalla menyampaikan, Pemerintah Indonesia juga harus mendukung upaya damai sekarang saat Taliban memimpin Afghanistan. Ya, dunia kini menantikan masa depan Afghanistan setelah Taliban berkuasa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement