Senin 23 Aug 2021 19:46 WIB

Israel Negara Rasis yang Dilegitimasi Lewat Undang-Undang?

Undang-Undang Negara Bangsa Yahudi bukti diskriminasi Israel

Rep: Harun Husein/ Red: Nashih Nashrullah
Undang-Undang Negara Bangsa Yahudi bukti diskriminasi Israel. Ilustrasi Israel
Foto: EPA/FILIP SINGER
Undang-Undang Negara Bangsa Yahudi bukti diskriminasi Israel. Ilustrasi Israel

REPUBLIKA.CO.ID, — Sejak UU Negara Bangsa Yahudi disahkan pada 2018 lalu oleh Parlemen Israel, wajah Israel yang etnokrasi, neo-apartheid, dan settler-colonial semakin kentara.

Selain melegalkan diskriminasi terhadap minoritas Arab di Israel, UU tersebut juga melegalkan pencaplokan pemukiman di wilayah pendudukan Palestina di Tepi Barat, yang bertentangan dengan sejumlah resolusi PBB. 

Baca Juga

Dan, potret buruk tersebut telah pula di kukuhkan oleh laporan Human Right Watch (HRW) yang bertajuk "A Threshold Crossed: Israeli Authorities and the Crimes of Apart heid and Persecution", yang dipublikasikan 27 April 2021 lalu. 

"UU Negara Bangsa Israel 2018 mendeklarasikan bahwa hanya orang-orang Yahudi yang mempunyai hak menentukan diri (self determination) di negara itu. Hal itu memberi dasar hukum untuk membuat kebijakan yang menguntungkan orang-orang Yahudi-Israel, dan mendiskriminasi 21 persen minoritas Arab di negara itu," tulis HRW. 

Dalam laporan setebal 213 halaman tersebut, HRW menilai sepak terjang Israel sudah melampaui batas. Sebab, untuk mencapai tujuannya, Israel merampas, mengurung, memisahkan secara paksa, dan menundukkan orang-orang Palestina karena identitas mereka, dalam berbagai tingkat intensitas. 

"Di wilayah-wilayah tertentu, perampasan itu sangat parah, sehingga dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang merupakan apartheid dan persekusi," tulis organisasi yang berbasis di New York, itu. 

Tapi, jauh sebelum lahirnya UU Negara Bangsa Yahudi, maupun turunnya laporan HRW yang menegaskan Israel sebagai negara apartheid, berbagai kalangan sudah mengarahkan telunjuknya kepada Israel sebagai negara rasis. 

Salah seorang di antara yang paling vokal adalah Shlomo Sand, ahli sejarah dari Universitas Tel Aviv. Penulis buku The Invention of The Jewish People, yang diterbitkan pada 2009 lalu, itu, menyebut Israel sesungguhnya sebuah negara etnokrasi, bukan negara demokrasi. 

Etnokrasi adalah salah satu tipe struktur politik, di mana aparatur negara dikendalikan kelompok etnis dominan, dan karenanya mendiskriminasi warga negara lainnya karena alasan etnis. Hal ini berbeda dengan negara demokrasi yang menganut prinsip persamaan (equality) semua warga negara. 

Dalam buku bertajuk "Pretending Democracy: Israel, an Ethnocratic State", sejumlah pe nulis tanpa ragu menyebut Israel sebagai sebuah negara etnokratis. Soal masih adanya penduduk non-Yahudi di Israel, disimpulkan sebagai bentuk kepura-puraan belaka, seperti yang dulu pernah dilakukan rezim apartheid Afrika Selatan. "Itu hanyalah kedok untuk menutupi pembersihan etnik yang mereka lakukan."

UU Negara Bangsa Yahudi memang bukanlah UU biasa. Dia merupakan sebuah hukum dasar (Basic Law: Israel as the Nation-State of the Jewish People). UU itu mengklaim tanah Israel sebagai tanah air historis orang Yahudi. 

UU itu juga mengklaim negara Israel sebagai rumah nasional orang Yahudi yang didasarkan pada sejarah, budaya, hingga agama. Bahkan, UU tersebut juga menyatakan bahwa Yerusalem yang utuh dan menyatu sebagai ibu kota Israel. 

Selain itu, UU tersebut juga menyatakan bahwa menciptakan komunitas Yahudi sebagai kepentingan nasional Israel, dan akan terus mendatangkan orang-orang Yahudi dari seluruh dunia ke Israel, atau dikenal sebagai Aliyah. 

Dan, bahwa pembangunan pemukiman Yahudi [di wilayah pendudukan] merupakan nilai nasional yang didorong dan dipromosikan. 

UU ini juga menegaskan bahasa Ibrani sebagai bahasa resmi, sedangkan bahasa Arab yang merupakan bahasa dari sekitar dua juta penduduk Israel, tidak lagi digunakan sebagai bahasa resmi, serta akan dihilangkan dari berbagai plang maupun penunjuk jalan. UU ini juga menyatakan bahwa Israel menggunakan kalender Ibrani, meski tetap menggunakan kalender Gregorian.    

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement