Rabu 25 Aug 2021 04:37 WIB

Kewajiban Pemerintah di Tengah Dilema PTM

Presiden mensyaratkan vaksinasi untuk menggelar pembelajaran tatap muka di sekolah.

Siswa kelas 1 SD Muhammadiyah 28 Jakarta mengikuti kegiatan pembelajaran jarak jaruh (PJJ) atau daring dirumahnya di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta, Senin (9/8/2021). Mendikbudristek Nadiem Makarim menyatakan kegiatan pembelajaran di tahun ajaran baru 2021/2022 bersifat dinamis, dimana di daerah yang berada pada PPKM level 1 dan 2 dapat memulai pembelajaran tatap muka (PTM) secara terbatas atau dibatasi kuota murid 50 persen, sedangkan di daerah yang berada di level 3 dan 4 masih harus menggelar pembelajaran secara jarak jauh (PJJ) atau daring.
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Siswa kelas 1 SD Muhammadiyah 28 Jakarta mengikuti kegiatan pembelajaran jarak jaruh (PJJ) atau daring dirumahnya di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta, Senin (9/8/2021). Mendikbudristek Nadiem Makarim menyatakan kegiatan pembelajaran di tahun ajaran baru 2021/2022 bersifat dinamis, dimana di daerah yang berada pada PPKM level 1 dan 2 dapat memulai pembelajaran tatap muka (PTM) secara terbatas atau dibatasi kuota murid 50 persen, sedangkan di daerah yang berada di level 3 dan 4 masih harus menggelar pembelajaran secara jarak jauh (PJJ) atau daring.

Oleh : Agus Rahardjo, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID,  Sejumlah daerah sudah memulai pembelajaran tatap muka (PTM) pascakeluarnya Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 30 Tahun 2021, Senin (9/8). Inmendagri ini memang membolehkan pembelajaran di satuan pendidikan level 1-3 untuk menggelar PTM. Hal ini mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19.

Selain Inmendagri 30/2021, dua aturan baru tentang PPKM juga diterbitkan. Yakni, Inmendagri Nomor 31 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan PPKM Level 4 Covid-19 di Wilayah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua, serta Inmendagri Nomor 32 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan PPKM Level 3, Level 2, dan Level 1 Serta Mengoptimalkan Posko Penanganan Covid-19 di Tingkat Desa dan Kelurahan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19.

Berdasarkan aturan ini, daerah kemudian bisa menilik apakah wilayahnya termasuk dalam level yang dibolehkan pemerintah pusat untuk menggelar PTM. Bukan hanya kepala daerah, penulis yakin, sebagian orang tua siswa juga harap-harap cemas melihat kondisi terkini di wilayahnya sendiri. Layaknya pelajar yang tengah menunggu pengumuman kelulusan untuk mendapatkan sekolah baru.

Patut diperhatikan, banyak keluhan terkait belum mulainya PTM di sekolah. Wajar. Bukan hanya siswa, orang tua, maupun guru juga serba salah dengan metode pembelajaran daring. Rasa jenuh pasti sudah terpendam selama hampir satu setengah tahun. Selama lebih dari setahun ini, wali murid terpaksa menjadi ‘sopir tembak’ bagi guru di rumah. Hal ini untuk mengakali agar siswa tak terlalu bosan saat dijejali tugas-tugas sekolah.

Coba kita lihat apa respons siswa yang sudah mulai menggelar PTM. Azam, misalnya, siswa SD Negeri 2 Pengadilan, Kecamatan Tawang, Kota Tasikmalaya yang mulai sekolah pada Rabu (18/8), ia dengan gampang akan mengucap ‘enak bisa kembali sekolah’. Selama PJJ, ia mengaku hanya mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan secara daring.

Baca juga : Menkes Sebut Vaksinasi Ditargetkan Selesai Januari 2022

Jadi, wajar jika protes bermunculan dari wali siswa soal PJJ. Terlebih, bagi orang tua siswa yang harus bekerja sebagai buruh pabrik, mereka tak punya waktu menemani anaknya belajar.

Salah seorang kepala sekolah di salah satu SD di Jawa Tengah pernah menyampaikan ‘uneg-unegnya’ kepada penulis. Ia bahkan mengaku sudah lebih dulu menggelar PTM sebelum Inmendagri keluar. Alasannya sederhana, jika tak berangkat sekolah, siswa di desanya juga tetap keluar bermain dengan teman-temannya. Selain itu, mayoritas orang tua siswa di sekolahnya sebagai pekerja pabrik.

Wong nang dhuwur kae do ra ngrasakke rekasane wong tuone murid sing kerjane (Pejabat di pusat tidak akan mengerti susahnya orang tua murid yang kerja jadi) buruh pabrik pas sekolah jarak jauh,” katanya beberapa waktu lalu. Ia lalu mencontohkan, bagaimana sulitnya mengajari membaca seorang siswa jika tak dilakukan dengan tatap muka. Akibatnya, siswa mengalami penurunan kompetensi dalam belajar. Jika dalam bahasa lebih modern disebut sebagai learning loss.

Namun, disisi lain, PTM masih dikhawatirkan membahayakan siswa dari Covid-19. Lihatlah data Satgas Covid-19 yang mencatat sebanyak 10 persen dari kasus positif nasional terjadi di rentang usia 6 sampai 18 tahun. Sementara, jumlah kasus positif Covid-19 secara nasional per Jumat (20/8) sudah menyentuh 3.950.304 kasus. Sementara, presentase kasus meninggal akibat Covid-19 di usia sekolah (6-18 tahun) mencapai 0,5 persen. Patut diingat, ini bukan sekadar angka, ini adalah nyawa generasi muda Indonesia.

Artinya, pembelajaran tatap muka sebenarnya masih dilematis. Di satu sisi, ada kekhawatiran terjadinya learning loss generasi penerus Indonesia. Di sisi lain, ada kewajiban pemerintah untuk melindungi seluruh rakyat dari ancaman pandemi Covid-19. Apalagi, pemerintah selalu memberi penekanan pada bonus demografi yang bakal diperoleh Indonesia untuk menuju Indonesia Emas 2045.

Jalan tengah

Inmendagri 30/2021 menurut penulis sebagai jalan tengah untuk mengatasi dilemma PTM. Tak ada untung atau rugi secara mutlak. Keduanya menyimpan risiko. Antisipasi risiko inilah yang barangkali terlihat beberapa waktu belakangan. Yakni, gencarnya vaksinasi Covid-19 terhadap seluruh satuan pendidikan. Bahkan, Presiden Joko Widodo langsung turun memantau pelaksanaan vaksinasi di sejumlah daerah.

Baca juga : Tersangka Kasus Km 50 tak Ditahan Kala HRS 'tak Boleh' Bebas

Dalam pesannya, Presiden menekankan syarat vaksinasi untuk memulai PTM. Jokowi mengaku sadar betul keinginan seluruh pihak untuk segera menggelar pembelajaran tatap muka di sekolah. Namun, dalam pesannya, tersirat syarat vaksinasi harus tetap dipenuhi untuk menggelar PTM. Jika tidak, siswa diminta tetap bersemangat melakukan proses belajar mengajar secara daring.

Saat ini, terjadi kejar-mengejar waktu PTM dengan vaksinasi pelajar yang dilakukan pemerintah. Pemerintah menargetkan untuk memberi suntikan vaksin Covid-19 pada 26.705.490 pelajar. Data per Sabtu (21/8) pukul 12.00 WIB, baru 9,14 persen atau 2.439.742 pelajar yang menerima suntikan vaksin dosis 1. Sementara, baru sebanyak 1.153.725 atau 4,32 persen pelajar yang sudah menerima dua dosis lengkap vaksin Covid-19.

Capaian ini, sungguh jauh dari kata aman bagi pelajar untuk menggelar PTM. Artinya, ada kewajiban pemerintah untuk memastikan keselamatan siswa saat menggelar sekolah tatap muka. Yakni, pengetatan syarat protocol kesehatan di sekolah yang mulai menggelar PTM. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mengeluarkan ketentuan pelaksanaan PTM ini. Setidaknya ada lima ketentuan terkait penerapan prokes yang waib dipenuhi.

Misalnya, kondisi kelas yang menyangkut jarak antarsiswa dan kapasitas maksimal peserta didik. Selain itu, jumlah hari dan jam pembelajaraan tiap sekolah. Ketentuan ketiga adalah perilaku wajib bagi seluruh lingkungan satuan pendidikan untuk disiplin prokes. Keempat, memperhatikan kondisi medis warga satuan pendidikan, dan terakhir meminimalkan kegiatan yang berpotensi menjadi kerumuman di lingkungan satuan pendidikan.

Bagi penulis, satu hal yang paling penting dari lima ketentuan yang dikeluarkan Kemendikbudristek itu adalah memastikan seluruhnya bisa dilaksanakan di lapangan. Artinya, belum tuntas kewajiban pemerintah jika hanya berhenti pada terbitnya ketentuan itu. Pemerintah masih memiliki tanggungjawab agar ketentuan itu dilaksanakan dan ditaati. Di sisi lain, butuh kontribusi masyarakat untuk ikut mengawasi terlaksananya PTM yang aman bagi pelajar. Kolaborasi inilah yang paling penting. Gotong-royong untuk tidak membiarkan generasi muda Indonesia mengalami ancaman learning loss. Semoga!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement