Ahad 29 Aug 2021 16:48 WIB

Membubuhkan Nama Lain Keharuman dan Keindahan Kematian 

Cerpen-cerpen Nisan-Nisan Berbunga dikemas apik bahasakan kematian

Cerpen-cerpen Nisan-Nisan Berbunga dikemas apik bahasakan kematian
Foto: Dok Istimewa
Cerpen-cerpen Nisan-Nisan Berbunga dikemas apik bahasakan kematian

REPUBLIKA.CO.ID, Nisan-Nisan Berbunga (NNB) merupakan kumpulan cerita pendek Griven H Putera (GHP) yang pernah terbit di berbagai media, seperti di harian Republika, Riau Pos, Batam Pos, Majalah Sagang, Majalah Serindit, dan lain-lain sepanjang 2006 hingga 2020.

Secara umum, tema yang diambil adalah kematian, dan sesebuah terdapat pula kritik sosial terhadap masyarakatnya.Kebanyakan isi dari cerpen-cerpen yang termuat dalam buku yang diterbitkan Gambang Buku Budaya, Yogyakarta pada Juni 2021 ini adalah tentang kematian yang indah. GHP begitu asyik dan tunak bercerita tentang maut. Ia melihat sisi keindahan dan kewangian lain dari kematian yang sebagian orang menganggap hal itu mengerikan dan menakutkan.

Baca Juga

Di tangan GHP, bukan hanya tangis yang mengiringi kematian akan tetapi juga memberi bentuk lain dari kematian itu,sehingga kematian bukan akhir dari segalanya,tapi awal mula dari semuanya.

Dan kematian itu perlu dipersiapkan agar kelak menebarkan aroma wangi bagi diri ketika menghadap Ilahi, dan keindahan tersendiri bagi orang-orang yang ditinggalkan. Lihatlah misalnya pada cerpen “Pusara Bernisan Duhut Berbunga”. Tuk Mais merupakan tokoh cerpen ini telah merencanakan segala sesuatu untuk masa depannya yang abadi.

Bahkan keranda pun telah ia siapkan. Lelaki yang sangat asyik dengan kesendirian, dan menyaksikan anak-anak yang bermain di atas pokok duhut di tepi tebing itu suatu ketika tersentak. 

Senja itu, setelah mendirikan shalat Maghrib, Tuk Mais tiba-tiba mengambil sebatang rokok dan duduk bingung di tepi tikar sembahyangnya. Tatapan matanya kosong, sekosong lingkaran gelembung asap yang terbang melingkar di depan mulutnya. Dalam lingkaran gelembung asap itu seketika membayang keranda, sangkar abadinya menanti. Sangkar itu seperti mengajaknya bertualang melintasi sesuatu yang belum terpikirkan olehnya selama ini…. (Hal 49)

…. “Sudah saatnya membuat rumah itu rupanya,” gumam Tuk Mais hampir tak terdengar. “Ya, sangkar abadi itu mesti aku persiapkan selekas mungkin,” lanjutnya dengan nada berat. Lelaki itu kemudian mendesah panjang.(Hal 50)

Cerpen lain yang bercerita tentang kematian adalah “Elegi Cikgu Leman”. Kematian memang tidak akhir dari segalanya. Bagi si mati, semua perbuatan ketika hidup suatu saat akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhannya. Dan ketika detik-detik akan dijemput maut, semua yang dilakukan akan terbayang.  Bagi keluarga yang ditinggalkan, terkadang perbuatan si mayit saat masih hidup juga menjadi tanggungjawab yang hendak ditunaikan.

Cerpen “Pelangi di Kacamata Ayah” pun demikian. Walaupun kematian anak sulungnya membuat kehidupan rumah tangga Aji berantakan akan tetapi itu merupakan langkah awal baginya untuk menata kehidupan yang baru. Kematian itu meninggalkan perih.

Ya, itu pasti. Maka saat ia membawa anaknya ngopi dan makan roti canai di pagi hari, anak keduanya melihat kaca mata ayahnya berembun karena uap air mata yang masih menggantung. Menurut anak keduanya tersebut, uap itu berubah menjadi pelangi di kaca mata Aji.Tokoh aku melihat di kaca mata ayahnya ada pelangi membentang. Tetap membentang walaupun tujuh belas tahun semua kesedihan itu berlalu.

“Cemburu kepada Nyonya yang Datang Saban Jumat” pun bercerita tentang kematian. Lela begitu terhempas ketika tahu ternyata suaminya memiliki istri lain. Info itu didapat setelah suaminya dikuburkan. Tapi yang namanya cinta, semua rasa ada di dalamnya. Ada rindu, benci, muak, cemburu terkadang bergelimang jadi satu. Lela ingin melupakan suaminya akan tetapi kata hatinya tak dapat diingkari.

“Siapa yang akan mengontrak kuburan Bapak tersebut?” desak Lela tak sabar.

“Nyonya yang sering datang hari Jumat kemarin, Bu.”

“Apa?”

Lela tak sadar kapan ia berhenti menelpon petugas pemakaman tersebut. Ia kemudian melihat handphonenya sudah berkecai di lantai. Berserak seperti hatinya yang dibakar api cemburu karena Parman tidur abadi bersama perempuan cantik yang datang ke makamnya setiap Jumat.” (Hal 73) 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement