Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Imanuddin Kamil

'Spiritual Journey' Perjuangan Seorang Penyintas Covid-19

Eduaksi | Wednesday, 01 Sep 2021, 14:25 WIB

Oleh : Imanuddin Kamil*

Buku berkisah tentang perjuangan penyintas Covid-19 ditulis oleh seorang Guru Besar. “Spiritual Journey” Antara Kenangan Menegangkan dan Pengalaman Mencerahkan Sebulan Lebih Terpapar Covid-19, demikian judul buku tersebut. Penulisnya bukan orang sembarang. Prof. Dr. Drs. Muhammad Amin Summa, SH. MA. MM., guru besar Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta.

Penulis mengungkapkan alasan mengabadikan kisahnya dalam bentuk buku karena didorong kemauan sendiri dan motivasi dari keluarga serta teman dekat. Selain itu, rasa syukur diberikan kesembuhan juga mendorongnya kuat untuk membagi pengalamannya kepada yang lain. Ada kenangan menegangkan sekaligus pengalaman mencerahkan selama kurang lebih 50 hari sejak terinfeksi Covid hingga masuk RS, lalu dirawat di ICU sampai masa penyembuhan. Rasanya kurang bersyukur jika ilmu ini tidak dibagi kepada yang lain.

Demikian yang terungkap pada webinar yang digelar Dompet Dhuafa bertajuk, Halaqah Syariah Bedah Buku Spiritual Journey, Selasa, 31 Agustus 2021 pukul. 09.30-12.00 melalui zoom meeting. Webinar menghadirkan penulis, Prof. Dr. Drs. Muhammad Amin Summa, SH., MA., MM., yang juga sebagai Ketua Dewan Syariah Dompet Dhuafa. Pengantar Bedah Buku disampaikan oleh Nasyith Majidi, ketua Yayasan Dompet Dhuafa Republika. Dua orang pembedah, Drg. Rima Febrianti, MARS., CPHF, FISQua, Direktur Pelayanan Medis RST dan KH. Wahfiuddin Sakam, SE., MBA. dari Komisi Pendidikan dan Kaderisasi MUI Pusat. Juga menampilkan testimoni dan apresiasi yang disampaikan beberapa tokoh, diantaranya senior Dompet Dhuafa, Jamil Azzaini dari Inspirator Sukses Mulia.

Buku setebal 191 halaman ini diulas secara lugas dan tuntas oleh Drg. Rima Febrianti. Mengawali paparannya, Rima mengutip peribahasa latin, Verba volant, Scripta manent yang artinya, Kata-kata lisan terbang, sementara tulisan menetap. Dan buku ini memang benar-benar mengabadikan kisah penuh hikmah dibalik musibah. Delapan bab yang terangkum di dalam buku tersebut selalu menyisakan rasa penasaran untuk menyingkap rahasia apa dibalik setiap uraian yang tak jarang disertai footnote oleh penulisnya.

Kekuatan buku ini tentunya ada pada kekuatan penulisnya yang dapat meramu kisah deritanya menjadi cerita yang kaya nilai. Dalam pandangan Rima, setidaknya ada lima power keunggulan buku ini; pertama, ucapan terima kasih yang mencapai 9 halaman, kedua, data yang apik dan rapih, ketiga, detail dalam informasi waktu, hari, angka, nomor setiap kejadian, keempat, kaleidoskop yang memotret setiap aktifitas selama masa karantina, serta yang kelima, sinergi dalam menampilkan ilmu agama dan ilmu kedokteran. Plus juga satu kekuatan praise yang menempatkan orang tua sebagai yang termulia.

Pembedah juga menyoroti pesan dan pelajaran yang dapat dicerna dari beberapa hook dalam buku seperti; do’a yang tiada pernah putus, sinergi antara ilmu agama dan ilmu kedokteran, antara pendekatan spiritual dan material antara teori dan praktek. Kemudian juga semboyan-semboyan yang ditampilkan di setiap halaman buku seperti; Covid-19 nyata, Iman, Imun, Aman dan Amin serta Mati Rasa, Mati Raga, Mati Gaya, Mati Daya.

Sementara itu KH. Wahfiuddin yang menjadi pembicara berikutnya membedah dari aspek sufistik. Mentor spiritual yang juga menjabat ketua Jam’iyah Ahlit Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN) DKI Jakarata ini mengulas dengan pendekatan tasawuf.

Menurutnya musibah yang datang bisa dimaknai sebagai ‘uqubah (siksa) bagi para pendosa, namun juga di saat yang sama menjadi rahmat. Sebab musibah menjadi penggugur dosa. Musibah bermakna juga fitnah (ujian) dan itu juga merupakan bentuk rahmat Allah, sebab dengan musibah itu Allah meninggikan derajat orang-orang yang lulus menghadapi ujian-Nya. Bagi orang-orang yang tidak terkena dampak musibah, maka ia menjadi tanbih (peringatan), dan lagi-lagi hal demikian juga merupakan kasih sayang-Nya.

Sedangkan bagi alam musibah sering disebut bencana alam, tapi sesungguhnya ia adalah bentuk recoveri alam untuk kembali kepada keseimbangannya. Alam yang tidak dihuni manusia biasanya jarang terjadi bencana, karena kesimbangan terjaga. Namun ketika tangan-tangan usil manusia merusaknya, munculah musibah. Yang terjadi hakikatnya bukan bencana, namun alam sedang melakukan recoveri untuk kembali kepada mizan (keseimbangan). Musibah juga menjadi stimulus bagi peradaban. Ia mendorong manusia untuk kreatif memikirkan masa depannya.

Dalam konteks ini, kehadiran musibah Covid-19 membuka peluang IPTEK menjadi berkembang. Dan kehadiran musibah jugalah yang akhirnya melahirkan buku KH. Muhammad Amin Summa ini. Buku ini ada karena buah dari musibah Covid-19 yang menimpa penulis.

Testimoni dan apresiasi disampaikan Mas Jamil Azzaini. Pesan kunci dari kisah Prof. Amin Summa adalah sikap ridho dengan penyakit. Itulah yang membawanya pada ketenangan jiwa. Tiga puluh sembilan hari bertahan dalam kondisi sakit. Prof. Amin telah menjadi teladan kita semua.

Begitulah bedanya orang biasa dan guru besar jika sakit. Kalau guru besar sakit melahirkan buku yang menginspirasi.

*Guru SIT Lampu Iman

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image