Rabu 01 Sep 2021 16:53 WIB

Inggris Buka Dialog dengan Afghanistan Bahas Evakuasi

Evakuasi diutamakan bagi warga Inggris dan Afghanistan yang membantu

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
 Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, kanan, dan Menteri Luar Negeri Dominic Raab mengunjungi Pusat Krisis Kantor Luar Negeri, Persemakmuran dan Pembangunan di Whitehall, London, Jumat, 27 Agustus 2021 untuk melihat bagaimana mereka mendukung dan memantau evakuasi yang sedang berlangsung di Afghanistan.
Foto: AP/Jeff Gilbert/POOL Daily Telegraph
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, kanan, dan Menteri Luar Negeri Dominic Raab mengunjungi Pusat Krisis Kantor Luar Negeri, Persemakmuran dan Pembangunan di Whitehall, London, Jumat, 27 Agustus 2021 untuk melihat bagaimana mereka mendukung dan memantau evakuasi yang sedang berlangsung di Afghanistan.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Inggris membuka dialog dengan Taliban untuk membahas akses aman bagi semua orang yang ingin keluar dari Afghanistan. Langkah itu diutamakan bagi warga negara Inggris dan warga negara Afghanistan yang telah bekerja untuk pemerintah Inggris selama 20 tahun terakhir.

Perwakilan khusus Perdana Menteri Inggris Boris Johnson untuk transisi Afghanistan, Simon Gass dilaporkan telah bertolak ke Doha, Qatar untuk bertemu dengan perwakilan Taliban. Sebagian besar pemimpin senior Taliban tinggal di pengasingan di ibu kota Doha hingga Taliban berhasil menguasai penuh Kabul 15 Agustus lalu.

Baca Juga

"Gass bertemu dengan perwakilan senior Taliban untuk menggarisbawahi perjalanan yang aman dari Afghanistan bagi warga negara Inggris dan orang-orang Afghanistan yang telah bekerja dengan kami selama dua puluh tahun terakhir," kata pernyataan Inggris seperti dilansir laman Aljazirah, Rabu (1/9).

Dialog Doha itu merupakan diplomasi Inggris dan Taliban pertama yang diungkapkan secara terbuka sejak Inggris bergabung dengan Amerika Serikat (AS) dalam evakuasi lebih dari 100 ribu orang ke luar negeri dari bandara Kabul. Bukan hanya Inggris yang pertama menemui perwakilan Taliban. Pada Kamis pekan lalu, Menteri Luar Negeri (Menlu) Republik Indonesia Retno LP Marsudi mulai menemui perwakilan kelompok Taliban.

Meski belum secara resmi mengakui pemerintahan Taliban atas Afghanistan, dalam pertemuan itu, Indonesia menuntut sejumlah janji terkait pemerintahan mendatang dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sejauh ini belum ada pejabat setingkat menteri dari negara mana pun yang bertemu perwakilan Taliban sejak jatuhnya Kabul pada 15 Agustus lalu. Hanya Amerika Serikat yang secara diam-diam mengirim Kepala CIA William J Burns menemui pimpinan Taliban Abdul Ghani Baradar di Kabul pada Senin (23/8). 

Lebih dari 8.000 warga Afghanistan yang membantu pasukan NATO berhasil keluar dari Afghanistan. Sementara pemerintah Inggris mengatakan mereka akan diberikan cuti tanpa batas untuk tetap tinggal. Namun PM Johnson mendapat kecaman karena banyak warga Afghanistan yang membantu NATO masih belum dievakuasi. Padahal mereka memenuhi syarat untuk pindah ke Inggris.

Seorang menteri Inggris yang tidak disebutkan namanya mengatakan kepada surat kabar Sunday Times bahwa dia yakin Inggris dapat mengevakuasi 800-1.000 orang lagi dari Afghanistan. Taliban telah berjanji untuk mengizinkan warga Afghanistan datang dan pergi dalam menghadapi seruan dari masyarakat internasional untuk menghormati komitmen itu pada hari-hari setelah penarikan AS pada Selasa (31/8).

Pemerintah Johnson berupaya untuk memperpanjang batas waktu penarikan yang ditenggat AS pada 31 Agustus. Namun demikian, dia gagal membujuk Presiden AS Joe Biden.

Setelah Taliban menyerbu Kabul pada pertengahan Agustus, PM Johnson mengatakan bahwa Taliban harus dinilai berdasarkan tindakannya daripada kata-katanya. Dia juga bersikeras bahwa Inggris tidak akan tetap berada di Afghanistan tanpa dukungan AS. Menteri luar negeri Inggris Dominic Raab juga dikecam oleh partai oposisi Partai Buruh karena tidak segera meninggalkan liburannya ketika Taliban mengambil alih Afghanistan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement