Sabtu 04 Sep 2021 21:37 WIB

Biaya Sertifikasi Halal Mahal, Menjadi Kendala UMKM

Perlu kebijakan insentif bagi pelaku UMKM terkait beban biaya sertifikasi halal ini.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Hiru Muhammad
Bisnis UMKM kini perlu mendapat dukungan sertifikasi halal. Tampak suasana salah satu swalayan yang berkonsep halal
Foto: dok istimewa
Bisnis UMKM kini perlu mendapat dukungan sertifikasi halal. Tampak suasana salah satu swalayan yang berkonsep halal

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Minimnya UMKM yang melakukan sertifikasi halal diantaranya adalah karena mahalnya biaya sertifikasi halal. 

Founder sekaligus Ceo Javara Indonesia  Helianti Hilman mengatakan saat ini produk yang dihasilkan oleh usaha miliknya mencapai lebih dari 900 merk. Namun dari jumlah tersebut, produk yang telah memiliki sertifikasi halal hanya 253 merk.

"Kami merupakan usaha umkm, dan setiap produk yang kami hasilkan berasal dari petani-petani daerah, kami mengetahui bahwa ada program sertifikasi halal gratis untuk umkm hanya saja itu hanya penerbitan sertifikatnya saja, apalagi biaya 2021 mengalami kenaikan yang sangat tinggi"ujar dia dalam webinar Muhadatsah ke -3 Dewan Pakar Masyarakat Ekonomi Syariah, Sabtu (4/9).

Sedangkan untuk proses pemeriksaan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) masih dikenakan biaya. Seperti produk gula kelapa milik Javara misalnya, mereka mengeluarkan  23 produk. 

Untuk semua produk tersebut, Javara harus merogoh kocek hingga Rp 26 juta untuk sertifikasi halal. Berbeda dengan sertifikasi organik yang dimiliki olehnya untuk ekspor ke luar negeri. "Untuk masuk di satu negara berapapun jumlah produknya untuk mendapatkan sertifikat organik maka biaya yang ditetapkan sama, lain halnya jika menambah sertifikat untuk negara yang berbeda,"ujar dia.

Sehingga sebagai pengusaha eksportir maka Helianti memprioritaskan untuk memilih melakukan sertifikasi organik lebih dahulu dibandingkan sertifikasi halal. Karena pada umumnya pengusaha tentu akan menjual produk dahulu baru setelah itu menyisihkan anggaran untuk ijin lainnya termasuk sertifikasi halal. 

Helianti pun meminta adanya kebijakan insentif kepada pelaku UMKM terkait beban biaya sertifikasi halal ini. Saat ini tidak ada insentif yang terstruktur bagi industri dalam negeri, jikapun ada sifatnya tersegmentasi dan dan tidak terdistribusi. 

"Jika ada insentif atau program sejenis dari lembaga lain seperti perbankan misalnya, diharapkan bisa satu pintu, misalkan diarahkan di BPJPH atau MES, sehingga pelaku usaha dapat langsung mencari link program di satu pintu tanpa harus mencari-cari," ujar dia.

Sebenarnya kendala perkembangan sertifikasi jaminan halal di Indonesia tidak hanya biaya dan insentif saja. Kendala lain diantaranya adalah pertama, pengakuan terhadap sertifikasi halal. 

Di Malaysia misalnya, sistem sertifikasi halal dengan Codex Alimentarius (Jaminan Keamanan Pangan Dunia) telah terintegrasi. Sedangkan di Indonesia hingga saat ini masih bersifat sukarela. Padahal hal tersebut penting sebagai pembuka akses ke pasar global.

Kedua,  tidak ada Halal Development Center. Padahal pusat pengembangan halal ini penting bagi anggota yang tergabung di dalamnya untuk  melakukan konsolidasi penetrasi pasar halal dunia seperti Malaysia dan Thailand. 

Ketiga, fokus pasar. Indonesia saat ini masih terbatas melakukan ekpsor hanya ke negara-negara OKI saja. Padahal realitanya pasar non OKI tumbuh pesat karena mendukung wisata halal.  Seperti Korea World Halal Tourism Destination, United Kingdom Halal Hub for the West, Thailand World Halal Kitchen.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement