Ahad 05 Sep 2021 08:52 WIB

Kebijakan Dana BOS Perberat Derita Sekolah Terdampak Pandemi

Syarat dana BOS tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Indira Rezkisari
Panitia PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) SMP PGRI 1 Kota Serang menunggu calon siswa yang akan mendaftar, di Serang, Banten, Rabu (23/6/2021). Menurut pengelola sekolah sejak pemerintah memberlakukan sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru sekolah negeri, jumlah murid yang mendaftar ke sekolah swasta makin menurun bahkan hampir tidak ada sehingga pengelola sekolah swasta kesulitan untuk menggaji guru serta memelihara gedung karena tidak ada bantuan dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) dari pemerintah maupun dana partisipasi masyarakat.
Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Panitia PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) SMP PGRI 1 Kota Serang menunggu calon siswa yang akan mendaftar, di Serang, Banten, Rabu (23/6/2021). Menurut pengelola sekolah sejak pemerintah memberlakukan sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru sekolah negeri, jumlah murid yang mendaftar ke sekolah swasta makin menurun bahkan hampir tidak ada sehingga pengelola sekolah swasta kesulitan untuk menggaji guru serta memelihara gedung karena tidak ada bantuan dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) dari pemerintah maupun dana partisipasi masyarakat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Syarat sekolah penerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) reguler dengan ketentuan minimal memiliki 60 peserta didik dalam tiga tahun terakhir dinilai dapat menghancurkan pendidikan. Terlebih, terhadap kalangan sekolah yang sudah sangat menderita akibat pandemi Covid-19.

"Ini justru menghancurkan pendidikan, terutama kalangan sekolah yang sudah sangat menderita dengan Covid. Puluhan ribu lembaga pendidikan swasta yang terseok-seok dengan berbagai beban berat akibat menurunnya secara masif jumlah peserta didik," ujar Ketua Umum Asosiasi Yayasan Pendidikan Islam (AYPI), Mirdas Eka Yora, saat dikonfirmasi, Sabtu (4/9).

Baca Juga

Apalagi, kata dia, lembaga-lembaga pendidikan tersebut harus memikul beban biaya yang sangat berat di masa pandemi Covid-19 ini. Melihat itu, Mirdas menyampaikan, semestinya negara hadir dengan solusi dan berbagai kemudahan supaya generasi masa depan bangsa tetap bisa mendapat pendidikan dengan baik.

"Namun kebijakan yang ditempuh Menteri Pendidikan sekarang sudah sangat bertentangan dengan nurani bangsa. Tidak peduli sama sekali dengan kemiskinan yang sedang mendera masyarakat, terutama daerah-daerah yang untuk sekadar bertahan hidup saja sudah susah," kata dia.

Mirdas melihat kebijakan tersebut mencerminkan ketidakkeberpihakan pemerintah pada dunia pendidikan dengan masalah-masalah yang sedang dihadapi. Kebijakan itu, kata dia, bertentangan dengan UUD 1945, di mana negara semestinya membiayai pendidikan nasional secara keseluruhan karena itu merupakan hak konstitusional warga negara.

"Jadi sangat tidak beralasan Mas Menteri Kemendikbudristek membatasi BOS, apalagi bagi sekolah swasta yang muridnya di bawah 60 orang," jelas Mirdas.

Menurut dia, kunci kesuksesan pembangunan yang sedang gencar digerakkan negara saat ini hanya akan berhasil dengan maksimal apabila pendidikan bisa dibenahi dengan tuntas. Dia berharap jangan ada lagi keterbelakangan yang harus menjadi kendala kemakmuran di negeri ini.

Kebijakan itu ia katakan hanya akan menghadirkan makin menjamurnya kebodohan dan disparitas yang amat tajam antara kaya dan miskin. Itu juga dapat berujung pada kegagalan pembangunan nasional yang sedang digaungkan.

"Jangan sampai memunculkan kebijakan yang hanya akan menindas masyarakat miskin tambah miskin, dunia pendidikan yang sudah susah akan makin menderita dan terpuruk," terang dia.

Sebelumnya Kemendikbudristek telah menyatakan aturan tentang ketentuan minimal jumlah peserta didik bukan hal baru. Peraturan tersebut dimaksudkan agar pemerintah daerah dan masyarakat penyelenggara pendidikan melakukan penggabungan sekolah-sekolah yang peserta didiknya terlalu sedikit.

"Karena jumlah peserta didik yang rendah merupakan penanda bahwa para orang tua menganggap kualitas layanan dari sekolah-sekolah tersebut tidak sesuai harapan," ungkap Plt Karo BKHM Kemendikbudristek, Anang Ristanto, kepada Republika lewat pesan singkat, Jumat (3/9).

Menurut Anang, kondisi itu dapat membuat inefisiensi dalam pengalokasian sumber daya, termasuk dalam hal ini guru dan tenaga kependidikan, dapat dilakukan. Dia menjelaskan, dengan penggabungan sekolah, tata laksana akan lebih efisien dan secara mutu akan dapat lebih ditingkatkan.

"Jika BOS terus diberikan kepada sekolah-sekolah dengan kualitas layanan tidak sesuai harapan, maka akan menyebabkan pemborosan anggaran negara. Kemendikbudristek perlu melakukan pembatasan untuk memastikan masyarakat terus menerima layanan pendidikan yang berkualitas," kata dia.

Anang mengatakan, bagi sekolah-sekolah yang dapat membuktikan rendahnya jumlah peserta didik bukan karena mutu tapi karena hal lain, seperti kondisi daerah, maka sesuai aturan, pemerintah daerah setempat dapat segera mengajukan pengecualian kepada Kemendikbudristek.

Dia juga mengungkapkan, pada 2021, peraturan tersebut belum berdampak. Semua sekolah, termasuk sekolah dengan jumlah peserta didik di bawah 60, masih menerima BOS. Menurut dia, itu karena aturan tersebut ada mulai sejak 2019 dan semua daerah diberikan kesempatan tiga tahun untuk melakukan penataan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement