Rabu 08 Sep 2021 10:09 WIB

Ini Alasan OJK Perpanjang Restrukturisasi Kredit Sampai 2023

Perpanjangan memberikan kepastian bagi bank dan pelaku usaha dalam menyusun bisnis.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolandha
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan tiga alasan perpanjangan restrukturisasi kredit sampai Maret 2023.
Foto: dok. Republika
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan tiga alasan perpanjangan restrukturisasi kredit sampai Maret 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan tiga alasan perpanjangan restrukturisasi kredit sampai Maret 2023. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan pertama menjaga momentum stabilnya indikator kinerja perbankan serta debitur restrukturisasi Covid-19 yang sudah mengalami perbaikan.

“Perpanjangan juga diperlukan untuk mempersiapkan bank dan debitur soft landing ketika stimulus berakhir sekaligus menghindari cliff effect,” ujarnya dalam keterangan resmi seperti dikutip Rabu (8/9).

Kedua, lanjut Heru, perpanjangan restrukturisasi kredit sebagian dari kebijakan countercyclical, sehingga diharapkan dapat menjadi salah satu faktor pendorong untuk menopang kinerja debitur, perbankan, dan perekonomian nasional.

“Ketiga memberikan kepastian baik bagi perbankan maupun pelaku usaha dalam menyusun bisnis 2022, sehingga rencana bisnis dengan perhitungan yang matang,” ungkapnya.

Adapun perpanjangan restrukturisasi berlaku bank umum, bank syariah, unit usaha syariah, BPR, dan BPRS yang menyalurkan kredit pembiayaan atau penyediaan dana lain.

OJK mencatatkan jumlah restrukturisasi kredit per Juli 2021 yang dilakukan oleh 101 bank di Indonesia sebesar Rp 779 Triliun. Adapun realisasi ini telah disalurkan kepada 5,1 juta debitur yang terbagi ke sektor UMKM dan non-UMKM.

Kendati demikian Heru menekankan pihaknya telah melakukan berbagai kebijakan kajian dan mencermati dampak restrukturisasi kredit selama pandemi Covid-19. Menurutnya kajian tersebut disimpulkan perbankan harus mencermati dampak restrukturisasi terhadap permodalan dan likuiditas masing-masing akibat meningkatnya kredit macet atau non performing loan (NPL).

“Kami meminta agar seluruh bank disiplin membentuk pencadangan atau menyetor cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN),” ungkapnya.

Dari sisi perbankan, Ketua Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) Sunarso menyebut pelaku sektor keuangan tidak boleh euforia dengan capaian laba. Menurut dia mengelola bank di tengah pandemi ialah mencari keseimbangan antara tetap untung dan selamat.

“Penting bagi kita tidak terlalu ngoyo dan berfoya-foya membukukan laba karena di depan mata kita masih dipegang portofolio restrukturisasi yang begitu besar,” ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement