Rabu 22 Sep 2021 05:10 WIB

Muhammadiyah: Penyerangan Ustadz Bukan Kebetulan

Ustadz Chaniago yang mengisi ceramah di Masjid Baitusyakur dikejar dan dipukuli.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Mas Alamil Huda
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Muti.
Foto: Republika/Prayogi
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Muti.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof Abdul Mu'ti, menyinggung soal penyerangan terhadap Ustadz Abu Syahid Chaniago di Masjid Baitusyakur, Batam, Kepualauan Riau. Dalam video yang beredar, ustadz Chaniago yang mengisi ceramah di Masjid Baitusyakur pada Senin (20/9), dikejar dan dipukuli.

Abdul Mu'ti sangat prihatin atas penyerangan terhadap para ustadz yang terjadi berulang kali. Ia menduga insiden yang telah beberapa kali terjadi bukanlah suatu kebetulan. "Saya menduga penyerangan kepada ustadz yang terjadi beruntun bukanlah suatu kebetulan. Polisi harus bertindak cepat," kata Mu'ti kepada Republika.co.id, Selasa (21/9).

Para ustadz atau ulama kerap memberikan ceramah di berbagai tempat. Belakangan ini, beberapa kegiatan ceramah mereka itu diwarnai aksi penyerangan oleh oknum, yang dalam sebagian kasus disebut mengalami gangguan jiwa. 

Kegiatan ceramah para ustadz sebagian besar memang dilakukan tanpa pengawalan. Perihal ini, Mu'ti menilai tidak perlu ada pengawalan terhadap ustadz. Kalaupun ada, itu lebih merupakan inisiatif pribadi.

Dia menyampaikan pandangannya ihwal situasi keagamaan di Indonesia saat ini. Dia menilai, secara umum situasi keagamaan sebetulnya sudah cukup baik dan kondusif.

Namun, Mu'ti mengakui, dalam beberapa waktu terakhir ini mulai muncul ketegangan khususnya yang terkait dengan masalah penistaan agama. Menurut dia, tidak menutup kemungkinan masalah penistaan agama ini merupakan ekses penggunaan media sosial (medsos).

"Ada yang berusaha mengais materi dengan membenci pihak lain melalui akun pribadi. Akan tetapi, saya menengarai, bangunan sosial dan toleransi yang otentik tidak cukup kuat untuk meredam berbagai provokasi yang memicu kontroversi," tutur dia.

Karena itu, Mu'ti memandang, diperlukan komunikasi, koeksistensi, dan kohabitasi sosial melalui berbagai jalur kultural, khususnya pendidikan dan lembaga-lembaga sosial. Di samping itu, dia juga mengingatkan adanya peran besar yang diemban pemerintah dalam persoalan tersebut.

"Pemerintah perlu berperan lebih besar sebagai fasilitator dialog dan kerja sama. Pada saat terjadi konflik perlu bertindak tegas dan tidak memihak," ucap dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement