Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jumadi

Andai Pandemi Pergi: Menjaga Harta Kita yang Paling Berharga

Lomba | Friday, 24 Sep 2021, 09:09 WIB
Warga mendistribusikan bantuan bahan pokok kepada pasien positif Covid-19 yang melakukan isolasi mandiri di rumahnya. | Foto: Republika/Thoudy Badai

Setiap peristiwa yang terjadi dalam lanskap kehidupan manusia pasti ada hikmah dan pelajaran yang menyertainya. Orang yang selalu berpikiran positif tidak akan serta merta menganggap setiap peristiwa yang terjadi, betapapun buruknya, sebagai sebuah kesialan apalagi kutukan. Ia akan selalu mampu memaknai dan memahami setiap peristiwa untuk kemudian mengambil pelajaran darinya.

Dalam terminologi agama, manusia dituntut untuk selalu bermuhasabah. Muhasabah sendiri berarti suatu upaya mengevaluasi diri sendiri atau kolektif, yakni memeriksa adanya kebaikan dan keburukan dalam segala aspek (Republika, 7/6/2019). Lebih lanjut disebutkan bahwa muhasabah adalah kunci sukses manusia, baik di dunia maupun akhirat. Dengan bermuhasabah, ada dorongan dari diri sendiri untuk melakukan yang lebih baik daripada hari kemarin. Demikian pula, hari esok diproyeksikan lebih baik daripada hari ini.

Lantas, hikmah dan pelajaran apa yang bisa kita ambil dari pandemi Covid-19 yang sampai saat ini masih berlangsung? Jawabannya tentu akan beragam tergantung dari sudut pandang mana kita lihat. Hikmah dari pandemi yang bisa diambil oleh tenaga medis, tentu akan sangat berbeda dari hikmah yang bisa dimaknai oleh pelaku bisnis.

Tulisan ini mencoba menguak hikmah pandemi dari sudut pandang penulis sebagai orang awam yang melihat dan merasakan dampak pandemi di level masyarakat bawah dan bagaimana mereka berusaha mengatasinya.

Penulis melihat bagaimana masyarakat memiliki cara sendiri dalam mengatasi dan menanggulangi dampak pandemi. Dengan semangat gotong-royong mereka mengambil tanggung jawab untuk bergerak saling membantu, khususnya bagi warga terdampak pandemi.

Jika ada anggota masyarakat yang menjalani isolasi mandiri (isoman), semua warga bergerak bersama. Ibu-ibu PKK bergiliran mencukupi kebutuhan sehari-hari warga yang isoman, bapak-bapak siap siaga mencarikan ambulan jika kondisi warga yang isoman mengalami pemburukan. Begitu juga dengan pemuda-pemudi, mereka berjibaku mencari kamar rumah sakit yang masih tersedia hingga berburu tabung oksigen untuk warga isoman yang membutuhkan. Hal itu semua digerakkan hanya oleh satu hal saja, yaitu naluri kemanusiaan.

Kita bisa lihat aksi-aksi saling berbagi dan peduli tersebut begitu menjamur di seluruh pelosok nusantara. Ambil contoh misalnya Lapak Berbagi Teman Peduli Sesama (Lapak TPS) yang diinisiasi oleh warga Banyuwangi. Mereka menjulukinya sebagai aksi sedekah yang mengajak warga yang mampu secara ekonomi untuk membantu warga lain yang terdampak Pandemi Covid-19. Bantuan yang diberikan bisa bermacam-macam, mulai aneka sayuran, sembako, hingga nasi bungkus (Republika, 26/7/2021).

Lihat juga aksi kepedulian warga di Sukabumi melalui kegiatan Peduli Tetangga Project 2021. Mereka membagikan paket sembako kepada warga yang membutuhkan seperti para petugas kebersihan, tukang parkir, pengepul, pedagang kecil, dan mereka yang biasa memulai aktivitasnya sedari subuh (Republika, 19 Agustus 2021).

Semua pengalaman tersebut sungguh sangat mengharukan dan membanggakan penulis. Mengharukan karena betapa jiwa sosial dan kemanusiaan kita betul-betul masih hidup ketika kita merasakan kehidupan tampak kian egois dan hedonis. Disebut membanggakan karena masyarakat secara mandiri mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Mereka mengesampingkan ego, menyingkirkan perbedaan, dan mengalahkan kepentingan pribadi untuk kemudian membangun sinergi dan kolaborasi demi kebaikan sesama dan semua.

Itulah wajah asli masyarakat kita yang tak lekang oleh waktu yang menemukan momentum untuk tampil mengemuka menghiasi kehidupan sosial masyarakat kita di tengah terjangan pandemi. Disebut wajah asli Indonesia karena masing-masing suku di Indonesia memiliki istilah sendiri-sendiri untuk menyebut aktivitas yang dilakukan secara komunal untuk kepentingan bersama. Sebut saja istilah mapalus di Minahasa, ngayah di Bali, gemohing di Nusa Tenggara Timur, masohi di Maluku, dan masih banyak lagi istilah lain yang dapat kita temui di seluruh pelosok nusantara.

Semangat warga untuk bersinergi dan berkolaborasi mengatasi persoalan adalah modal sosial yang sangat penting untuk membangun masyarakat berdaya. Masyarakat berdaya dalam hal ini adalah masyarakat yang atas inisiatif sendiri mampu berbagi masalah dan bersama-sama mengatasinya tanpa menunggu bantuan atau uluran tangan pihak lain termasuk pemerintah.

Inilah karakter dan watak asli bangsa Indonesia yang menjadi kearifan lokal dan kemudian menjadi kearifan nasional. Karakter ini memperoleh penguatan di masa pandemi yang juga belum usai ini.

Tentu kita berharap pandemi segera pergi dan kita semua dapat menjalani kehidupan sehari-hari seperti biasanya. Namun, ada satu hal yang harus tetap harus tinggal ketika pandemi pergi, yaitu semangat warga untuk bersinergi dan berkolaborasi dalam mengatasi persoalan. Itulah harta paling berharga yang harus kita jaga, rawat, dan lestarikan ketika pandemi telah pergi sebagai modal sosial untuk mengatasi berbagai persoalan dan menjawab tantangan ke depan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image