Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sheryllaisa Azzahra

Andai Pandemi Pergi, Pendidikan Pesantren dan Sekolah Umum Takkan Jauh Berselisih

Lomba | Friday, 24 Sep 2021, 11:25 WIB
(sumber www.jakartanotebook.com)

Mendengar kata pesantren, pasti identik dengan romansa keagamaan yang kental. Begitu pula dengan murid murid di pesantren tersebut yang biasanya disebut ‘santri’. Jika membahas tentang kepesantrenan, sebenarnya banyak hal yang ikut berubah dalam dunia santri di masa pandemi seperti saat ini. Namun perbedaan perbedaan yang tercipta karena perubahan itu- seperti adanya pembelajaran daring- mungkin tidak berlaku untuk sebagian pesantren. Bisa dibilang hampir semua pesantren tetap masuk dan aktif belajar secara tatap muka. Hal ini dikarenakan kawasan pesantren tidak terkontaminasi oleh orang orang dari luar, mengingat santri tidak pulang setelah menuntut ilmu melainkan menetap. Seperti yang dikatakan oleh Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf ; proses belajar mengajar secara tatap muka menjadi penting untuk menghindari learning loss. Yaitu kondisi ketika anak-anak akhirnya lebih banyak bermain online, tidur di rumah atau hanya mendengarkan guru tanpa memperhatikan. Pesantren menjadi salah satu tempat belajar yang menggunakan sistem face to face seperti itu. Timbal baliknya, pembelajaran yang diterima oleh santri menjadi lebih efektif sehingga efek positif yang tercipta bisa jelas terlihat. Namun disisi lain, dikhawatirkan pesantren akan menjadi klaster baru penyebaran Covid-19. Pada pertengahan Juli 2020 lalu, ditemukan penyebaran Covid-19 di beberapa pondok pesantren antara lain: Al Fatah Temboro di Magetan, Gontor di Ponorogo, Sempon di Wonogiri, pesantren Kota Tangerang dan Pandeglang Provinsi Banten ( sumber www.regional.kompas.com )

(sumber www.kumparan.com)

Sistem pembelajaran para santri berbanding terbalik dengan siswa siswi yang bersekolah di sekolah umum. Memasuki Maret 2020, hampir seluruh sekolah di Indonesia diliburkan. Keputusan libur sekolah mencakup seluruh jenjang pendidikan. Sebagai gantinya, daring menjadi opsi terakhir. Sampai saat ini masih ada sekolah yang belum bisa memulai pembelajaran secara langsung.

Sudah lebih dari satu tahun pandemi merajai bumi, dan selama itu pula banyak pelajar yang mengeluh karena tugas daring yang menumpuk, padahal mereka belum menerima penjabaran yang jelas tentang materi yang dipelajari. Pada dasarnya memang ada efek positif dari daring tersebut, seperti; anak memiliki banyak waktu di rumah bersama keluarga, metode belajar yang variatif, semakin mengeksplorasi teknologi dan bisa peka serta beradaptasi dengan perubahan. Namun jika ditelisik lebih jauh lagi, efek negatif jauh lebih mendominasi. Paparan berlebih terhadap aktivitas media digital menyebabkan anak sedikit aktivitas fisik dan miskin pengalaman sensorik, lebih sedikit bermain outdoor dan bermain yang membutuhkan koordinasi gerak motorik. Hal ini dapat mengganggu perkembangan anak, selain itu posisi bermain gadget yang salah dapat memicu terkena sakit kepala yang disebut ‘Tension headache’. Terlebih, seseorang bisa menjadi malas melakukan aktivitas ketika berhadapan dengan handphone. Tak jarang siswa yang mengabaikan tugas-tugasnya dan memilih menikmati masa bodoh dan santai.

Selain karena faktor negatif handphone, ada berbagai macam isu-isu kekerasan domestik yang terjadi dalam keluarga yang tidak terdeteksi. Berdasarkan data SIMFONI PPA, pada 1 Januari – 19 Juni 2020, telah terjadi 3.087 kasus kekerasan terhadap anak, diantaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual (sumber www.kemenpppa.go.id ). Selanjutnya disampaikan dr. Retno Sutomo, Sp.A (K), PhD, dosen FKKMK UGM jika kekerasan pada anak selama pandemi ini memiliki trend baru yaitu melalui cyberbullying. Selama di rumah saja, angka cyberbullying meningkat tajam hingga 70 persen (sumber www.haibunda.com ). Hal tersebut didukung data yang menunjukkan penggunaan sosial media atau gadget tidak digunakan untuk tujuan belajar. Dari data data tersebut, pelajar diluar pesantren memiliki ancaman kesehatan mental dan pendidikan yang buruk. Seharusnya setiap orang tua, guru, pemerintah maupun orang orang yang lebih dewasa harus mengambil tindakan tegas untuk menghindari agar ini tidak menjadi dampak yang permanen dan satu generasi menjadi terbelakang.

(sumber www.blogs.worldbank.org)

Perbandingan yang jelas terlihat antara pesantren dan sekolah umum. Menurut prespektif masyarakat, umumnya lulusan pesantren memiliki bekal ilmu agama yang memadai, namun terkadang memiliki keterbatasan untuk berkarya dan berkreatif. Sedangkan sekolah umum bisa bebas berkarya entah itu diluar atau didalam jangkauan sekolah, namun mungkin ilmu agama tidak dipelajari sedetail di pesantren. Jika seorang anak tidak bisa berpikir secara lebih luas, hal semacam ini pun bisa menimbulkan pro kontra.Yang ditakutkan adalah perselisihan yang terjadi antara lulusan pesantren dan lulusan sekolah biasa. Sebenarnya semua tempat belajar sama saja, namun saat ini kondisi yang memaksa timbul perbedaan. Banyak orang yang kurang menyadari, terlebih mengamati.

Pendidikan di pesantren merupakan tipe pendidikan yang mengutamakan intelektual dan moralitas. Pelajar terbiasa melakukan aktivitas secara bersama sama dan mengedepankan kepentingan bersama, hingga timbul rasa kekeluargaan yang tinggi. Berbeda dengan di pesantren- pelajar diluar pesantren yang terpaksa harus daring tanpa sadar terdorong untuk menjadi pribadi yang individual. Terfokus pada gadget dan mengabaikan sekitar. Jika muncul suatu pemikiran yang berbeda jalur dalam suatu kelompok dengan kelompok yang lain, prediksi terdekat adalah timbul pertikaian hingga berujung perpecahan.

(sumber www.gelorasriwijaya.co)

Pelajar merupakan penerus bangsa, yang bisa memimpin dan memajukan bangsa dengan persatuan. Jika suatu hari nanti lulusan pesantren dan lulusan sekolah umum berselisih, bisa dibayangkan apa yang terjadi. Setidaknya hal itu bisa dihentikan dan diantisipasi dari sekarang. Harapan paling besar yaitu agar pembelajaran di sekolah umum bisa kembali secara tatap muka seperti di pesantren, agar para pelajar bisa mendapatkan sentuhan yang sama dalam kegiatan belajar.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image