Selasa 28 Sep 2021 12:58 WIB

Perjuangan Muslim Jerman yang Dicabut Hak Pilih dalam Pemilu

Jerman memiliki rekor terburuk dari representasi minoritas sebagai anggota parlemen

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Esthi Maharani
Seorang sukarelawan pemilu membuka kotak pemungutan suara untuk seorang wanita yang dapat memberikan suaranya untuk pemilihan parlemen nasional Jerman di sebuah tempat pemungutan suara di Berlin, Jerman, Ahad (26/9).
Foto: AP/Markus Schreiber
Seorang sukarelawan pemilu membuka kotak pemungutan suara untuk seorang wanita yang dapat memberikan suaranya untuk pemilihan parlemen nasional Jerman di sebuah tempat pemungutan suara di Berlin, Jerman, Ahad (26/9).

IHRAM.CO.ID, BERLIN -- Pada Ahad (26/9) waktu setempat, orang-orang Jerman pergi ke tempat pemungutan suara untuk memberikan suara dalam pemilihan parlemen dan memilih penerus kanselir Angela Merkel. Pada kesempatan pemilu kali ini, Cansel Kiziltepe juga akan mempertahankan kursinya di Berlin sebagai kandidat untuk Partai Sosial Demokrat (SDP).

Kiziltepe adalah salah satu dari segelintir politisi Muslim Jerman di Bundestag atau Parlemen Jerman. Ia adalah putri dari orang tua Turki yang datang ke Berlin pada 1960-an.

Meski Kiziltepe sudah duduk di Bundestag sejak 2013, ia harus membiasakan diri dengan diskriminasi saat keluar kampanye.

"Anda harus memiliki kulit yang tebal. Ketika pintu dibanting di wajah Anda dan Anda menyadari alasannya. Ini bukan hal-hal yang baik. Merasa tertekan. Matamu basah. Tetapi Anda harus bangkit di atasnya," kata Kiziltepe kepada Euronews, dilansir di laman About Islam, Senin (27/9).

Meskipun Jerman memiliki populasi Muslim terbesar kedua di Eropa, sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa Jerman memiliki rekor terburuk dari representasi minoritas sebagai anggota parlemen di Eropa. Hanya 14 politisi berlatar belakang Turki di 709 kursi Bundestag.

Defisit itu bergema dalam jumlah penduduk Turki di Jerman yang memiliki hak untuk memilih. Konsultan Data4U yang berbasis di Berlin memperkirakan itu hanya 30 persen.

Banyak dari pemilih yang kehilangan haknya itu telah tinggal dan membayar pajak di Jerman selama beberapa dekade, termasuk orang tua Kiziltepe sendiri, yang pindah ke Berlin pada 1960-an.

"Itu membuat saya marah karena begitu banyak orang tidak diizinkan untuk memilih. Orang tua saya tinggal di Jerman selama 60 tahun dan masih tidak diizinkan untuk memilih, baik di tingkat lokal maupun di tingkat negara bagian, apalagi di tingkat federal," ujarnya.

Atas dasar hal itulah, Kiziltepe menyokong hak suara yang diberikan kepada semua penduduk tetap Jerman, memberikan imigran Turki dengan hak yang sama seperti warga negara Uni Eropa, yang diizinkan untuk memilih.

Menurut laporan Pew Research Center pada 2017, Muslim membentuk kelompok agama minoritas terbesar di negara itu dengan sekitar 5 juta orang, mewakili sekitar 6,1 persen dari populasi Jerman.

Lebih dari separuh Muslim di Jerman, sekitar 63,2 persen, berasal dari Turki dan Kurdi. Kedua kelompok tersebut diikuti oleh Muslim dari Pakistan, Bosnia, Albania, Afrika Utara, Levant, Iran, Irak, dan Afghanistan.

Sebagian besar Muslim tinggal di ibu kota Berlin dan kota-kota besar bekas Jerman Barat. Selama pandemi Covid-19, pihak berwenang Jerman kesulitan untuk berkomunikasi dengan minoritas Turki di lingkungan seperti Neukoelln, lingkungan imigran padat di ibu kota Jerman.

Karena itu, Kiziltepe baru-baru ini merilis video dwibahasa di media sosial yang menjelaskan dengan tepat bagaimana pemilu tahun ini bekerja.

"Anda harus melakukan pembicaraan, berdialog dan menunjukkan betapa pentingnya partisipasi politik, dan memiliki pendekatan integratif. Karena orang-orang ini juga milik kita. Mereka telah tinggal di sini selama beberapa dekade. Mereka termasuk di sini," tambah Kiziltepe.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement