Jumat 01 Oct 2021 12:52 WIB

Kasus COVID Singapura Melonjak, Buruh Migran Dilarang Berbaur dengan Publik

Kasus COVID Singapura Melonjak, Buruh Migran Dilarang Berbaur dengan Publik

Red:
Kasus COVID Singapura Melonjak, Buruh Migran Dilarang Berbaur dengan Publik
Kasus COVID Singapura Melonjak, Buruh Migran Dilarang Berbaur dengan Publik

Sarker Dilip warga negara Bangladesh tertular COVID-19 saat bekerja di Singapura tahun lalu, tapi menganggap dirinya masih beruntung.

Pria berusia 32 tahun itu melakukan perjalanan ke Dhaka, ibu kota Bangladesh pada awal pandemi, sebelum aturan ketat diberlakukan yang membatasi pergerakan 300.000 pekerja dan buruh asing di Singapura.

"Saya beruntung karena saya sempat pulang ke rumah selama 15 hari untuk menghadiri pernikahan saudara laki-laki saya dan bisa kembali ke Singapura Maret lalu," katanya kepada ABC.

"Tapi banyak orang yang sudah lama tidak bisa pulang dan masih di Singapura dan tidak bisa ke mana-mana."

Selain tidak diizinkan terbang pulang selama pandemi, buruh migran seperti dirinya dilarang berbaur dengan warga saat bekerja di Singapura, setelah angka penularan melonjak di negara itu.

Mereka dibatasi untuk mengunjungi tempat kerja dan asrama, karena khawatir mereka menyebarkan virus corona.

Meskipun sudah 82 ​​persen populasi menerima dua dosis vaksin, Kementerian Kesehatan Singapura mencatat 2.236 kasus COVID-19 baru pada Rabu kemarin (29/09), jumlah tertinggi sejak awal pandemi, dengan 515 kasus penularan terjadi di asrama pekerja migran.

Setelah membuka kembali perbatasannya, karena menjadi salah satu negara yang paling banyak divaksinasi di dunia, Singapura harus menerapkan kembali pembatasan ketat, meski kasus penyakit parah dan kematian tetap relatif rendah, dengan hanya tercatat 85 kematian dari total populasi 5,7 juta orang.

Tetapi dengan 30 kematian yang dilaporkan bulan ini, pihak berwenang minggu ini memangkas jumlah orang yang boleh bertemu, yakni dari lima orang menjadi dua, termasuk untuk makan di restoran.

Sarker, yang bekerja di sebuah pabrik dekat Bandara Changi dan tinggal di asrama di Jurong mengatakan kenangan perjalanan pulang tahun lalu membantunya melewati masa-masa sulit.

Dia tertular COVID-19 pada April 2020, beberapa minggu setelah kembali dari Dhaka.

Dengan gejala tak terlalu parah, Sarker tidak perlu dirawat di rumah sakit, hanya saja melakukan isolasi dalam waktu yang lama.

Berada di Singapura sejak 2008, pria berusia 32 tahun ini memiliki gaji pokok sekitar Rp10 juta per bulan tetapi bisa juga Rp17 juta bila ia bekerja lembur.

Sarker mengirimkan kembali sebagian besar pendapatannya kepada istrinya, Trishna, yang menghidupi putri mereka yang berusia tiga tahun, Rodrihe, di rumah mereka di dekat Dhaka.

Setelah menerima dua dosis vaksin Moderna, dia mengatakan pembatasan pergerakannya membuat dia dan rekan-rekannya di Singapura sedih.

'Tidak ada alasan kesehatan di balik kebijakan ini'

Skema percontohan yang dimulai awal bulan ini, di mana sejumlah kecil buruh asing diangkut dengan bus yang diawasi, telah dicap sebagai "kebijakan kelembaman" oleh seorang aktivis hak asasi manusia Singapura.

Berdasarkan skema tersebut, sekitar 80 pekerja dalam satu kelompok diberikan waktu empat jam ke kawasan Little India pada hari Rabu, Sabtu, dan Minggu.

Dengan enam kelai keluar seminggu, berarti hampir 2.000 warga negara asing akan diberikan kelonggaran selama uji coba selama sebulan.

"Alih-alih mengambil satu langkah pada satu waktu, ini seperti mengambil sepersepuluh langkah ... berdasarkan hitungan ini, maka diperlukan 12 tahun sampai semua pekerja asing Singapura melakukan perjalanan," kata Alex Au, wakil presiden kelompok hak Transient Workers Count Too (TWC2)

Dia mengatakan para pekerja diangkut dengan bus "seperti anak sekolah".

"Lebih dari 90 persen pekerja asing telah sepenuhnya divaksinasi, jadi tidak ada alasan kesehatan masyarakat untuk terus mengurung mereka."

"Singapura secara tidak adil melihat pekerja migran sebagai ancaman."

Sebagian besar tenaga kerja dan buruh asing di Singapura berasal dari India dan Bangladesh dan hanya sedikit yang berasal dari China, Myanmar, Vietnam, Thailand, dan Filipina.

Michael Cheah, direktur eksekutif HealthServe, sebuah kelompok nirlaba yang memberikan perawatan kesehatan bersubsidi kepada buruh migran, mengatakan para pekerja merasa putus asa tentang situasi tersebut.

"Mereka tidak marah ... mereka hanya mati rasa," kata Cheah.

Isolasi memparah stres

Psikolog klinis Annabelle Chow mengatakan kepada ABC jika pekerja dan buruh asing sering memiliki "kemampuan dan dukungan untuk menjaga kesehatan mental yang lebih sedikit" ketimbang populasi umum Singapura.

"Isolasi yang berkepanjangan di asrama mereka dan terbatasnya interaksi sosial dapat semakin membuat stres dan ketidakberdayaan yang dialami pekerja asing," kata Dr Annabelle.

Beberapa warga negara asing yang sudah lama berada di Singapura mengaku khawatir dengan nasib pekerja asing di pulau itu, yang tampaknya akan terus terkurung.

Sarker mengatakan dia tetap bersyukur atas kesempatan untuk mencari nafkah di Singapura, karena upah yang jauh lebih tinggi daripada yang dia bisa dapatkan di Dhaka, dan dia belum punya rencana untuk pulang sekarang.

"Saya ingin tinggal lebih lama di Singapura ... Saya belum bisa mengatakan berapa tahun lagi," katanya.

"Tapi ini tidak mudah dan saya masih merindukan keluarga saya di Bangladesh."

ABC telah menghubungi Kementerian Tenaga Kerja Singapura untuk memberikan komentar.

Artikel ini dirangkum dan diproduksi oleh Hellena Souisa dari laporannya dalam Bahasa Inggris

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement