Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Salman

Perang Patung Soekarno Soeharto

Politik | Monday, 04 Oct 2021, 16:16 WIB
Patung AH Nasution, Sarwo Edy, dan Suharto kala masih berada di Markas Kostrad.(Sumber : Republika)

Patung Jenderal Soeharto, Letnan Jenderal TNI Sarwo Edhie, dan Jenderal AH Nasution ‘menghilang’ dari Markas Kostrad tepatnya di Museum Darma Bhakti Kostrad.

Tak tanggung Mantan Panglima TNI Jenderal Purn Gatot Nurmantyo menuding adanya upaya penghapusan jejak Orde Baru yang dirintis Soeharto . Di sisi lain sejumlah patung Soekarno berdiri seolah kembali mempertegas jasa-jasa Soekarno -yang populer dipanggil Bung Karno- ke bangsa ini.

Rupanya perang ketokohan kedua tokoh nasional tersebut mencuat tajam kembali salah satunya lewat perang patung ini.

Dari sejarah, awalnya Bung Karno tidak pernah menyangka Pak Harto akan menjadi tokoh bumerang bagi kekuasaan Bung Karno saat belasan tahun awal-awal berkuasa hingga kemudian dilengserkan secara sistematis oleh kekuasaan pengganti Soekarno.

Sejujurnya, tidaklah mudah untuk memberikan penilaian terhadap Bung Karno pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya. Itu adalah tahun-tahun yang penuh ironi dan kontroversi, terutama terkait kedekatannya dengan golongan komunis, serta tindakan otoriternya untuk memenjarakan lawan-lawan politiknya, mulai dari Sjahrir, Natsir, termasuk ulama seperti Hamka, yang dituduh hendak membunuhnya. Namun, di sisi lain, masyarakat juga mengetahui persis bahwa Bung Karno adalah seorang pemimpin besar.

Di tengah kesulitan untuk memberikan penilaian terhadap Si Bung itu, Pak Harto telah membuat keputusan politik yang tepat untuk melawan semua desakan yang meminta agar Bung Karno diadili. Perlu dicatat, Soeharto bukanlah satu-satunya figur penting Orde Baru di tahun-tahun yang sulit itu. Ada banyak aktor dan kelompok lain dalam tubuh militer, yang tak semuanya berada dalam jangkauan Soeharto, yang ikut “menggulingkan” Soekarno. Salah satunya adalah para panglima se-Jawa.

Para Indonesianis biasanya menyebut para panglima ini sebagai kaum “modernis” sekaligus “para perwira radikal” Angkatan Darat. Mereka menginginkan tindakan yang lebih keras terhadap Presiden Soekarno. Dalam disertasinya di The Ohio State University, The Indonesian Economy and Political Structure during the Early New Order, 1966-1971 (1983), Mohtar Mas’oed menulis bahwa para perwira Angkatan Darat ini meyakini bahwa Presiden terlibat dalam percobaan kudeta 1965. Kelompok ini, yang merupakan para pendiri Orde Baru, punya kekuatan cukup besar untuk mendesakkan pemikirannya. Dua nama yang bisa disebut dari barisan ini adalah H.R. Dharsono dan Sarwo Edhie Wibowo.

Namun, menghadapi desakkan tersebut, Pak Harto tetap bergeming. Menurut Mohtar Mas’oed, Pak Harto tidak yakin bahwa tindakan yang lebih keras terhadap pemimpin besar itu akan bisa menyelesaikan masalah. Soeharto justru khawatir tindakan semacam itu hanya akan mencetuskan perang saudara yang lebih luas, termasuk menciptakan konflik yang kian dalam di tubuh militer. Sebab bagaimanapun barisan pendukung Soekarno di tubuh militer, khususnya Angkatan Darat, masih cukup kuat.

Sesudah konflik 1965, yang berekor panjang dan meluas, penolakan tegas Pak Harto untuk mengadili Bung Karno memang keputusan politik yang tepat. Seorang pemimpin besar yang telah berjasa melahirkan dan membentuk bangsa ini memang tak bisa dinilai hanya oleh timbangan-timbangan fragmental semacam itu.

Timbangan semacam itu tak akan cukup untuk menilai Soekarno. Belakangan, timbangan itu juga tak akan cukup untuk menilai Soeharto.

Pergolakan politik 30 September 1965, yang dilakukan oleh para pemberontak PKI berujung pada pergantian kepemimpinan dengan ditunjuknya Soeharto untuk menggantikan Soekarno pada 12 Maret 1967.

kronologi jatuhnya Bung Karno dari kursi kepresidenan yang dimulai pada 11 Maret 1966 dengan dikeluarkannya Supersemar.

pada 20 Februari 1967 Presiden Sukarno memberikan Pengumuman, yang isinya, antara lain: menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada Pengemban Ketetapan MPRS. Selanjutnya pengemban MPRS mencabut kekuasaan pemerintah dari Presiden Sukarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden hingga dilaksanakannya pemilu setelah sebelumnya MPRS menolak pidato pertanggungjawaban Soekarno selama jadi presiden dan soal Peristiwa G30S. Itulah lonceng pembuka babak akhir perjalanan politik dan kehidupan Sukarno. Setelah PKI dan semua onderbouw-nya dibabat habis, politik keseimbangan yang ia mainkan sejak 1960 runtuh dan Angkatan Darat kini tak terbendung. Jenderal Soeharto perlahan-lahan mengambil alih panggung dan menyisihkan Sukarno.

Setelah segala kewenangannya dipereteli, Sukarno diperlakukan tak lebih sebagai tukang teken dokumen.

Tak lagi punya kuasa, dunia Sukarno seperti dijungkirbalikkan. Atas perintah Soeharto, Sukarno dan keluarganya diultimatum untuk angkat kaki dari Istana Merdeka dan Istana Bogor sebelum 17 Agustus 1967.

Jika dulu Soekarno diasingkan Ende, Pulau Flores, maka Soeharto mengasingkannya di Bogor sampai akhir hayatnya.

Sejak saat itu pulalah sosok Soekarno yang kharismatik meredup di kancah nasional hanya menyisakan catatan kegagalan yang menonjol terkait peristiwa G 30 S PKI .Sebaliknya di mana-mana sosok Soeharto membooming -meski secara berlebihan digencarkan oleh penguasa saat itu - selama beberapa dekade. Termasuk pembuatan patung Soeharto di sejumlah tempat.

Namun seiring berjalannya waktu kekuasaan da pengaruh Soeharto menghilang total digantikan keturunan dan simpatisan Soekarno.

Akibatnya ketokohan Soekarno seolah kembali ingin dihidupkan saksh satunya dengan membangun sejumlah patungnya.

Kelihatannya naif namun tidak bagi Mantan Panglima TNI Jenderal Purn Gatot Nurmantyo. Dia menilai penghilangan patung Soeharto adalah upaya terselubung penguasa menghilangkan jejak berdarah komunisme di Indonesia. Apalagi Gatot menuding TNI telah disusupi anasir PKI.

Namun sejumlah pihak menganggap kebangkitan PKI hanya gorengan pihak oposisi semata . Hanya saja faktanya perang urat syaraf antara kubu penguasa dan eks penguasa sampai detik ini tetap menghangat yang suatu waktu bisa saja membara.

Disarikan dari berbagai sumber.Penulis

Dr. -Ing. Salman, ST., MSc.

Dosen Teknik Mesin Unram

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image