Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image F. Farizi

Pak Ridwan Seorang Umar Bakrie

Guru Menulis | Tuesday, 05 Oct 2021, 21:15 WIB
https://unsplash.com/photos/EH4i-6hxJag?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink

Sepertinya tidak akan pernah habis cerita-cerita menakjubkan dari profesi guru. Bagaimana profesi itu begitu vital bagi kehidupan umat manusia tetapi terlalu disepelekan dan mungkin dianggap tak pernah ada bagi kehidupan ini. Ya! Itu adalah jawaban tepat. Berapa banyak berita yang mengangkat profesi ini dalam setahun? Hanya hitungan jari. Terlepas dari peran vitalnya membangun peradaban bangsa. Para guru harus menerima nasib tak pernah sekalipun merasa ada dalam tatanan sosial masyarakat tertinggi di negara ini. Mereka masih kalah dengan para dokter, PNS, sampai karyawan tetap suatu perusahaan.

Saya berteman dengan pak Ridwan, ia seorang guru ekonomi di sekolah. Kepala keluarga dari tiga orang anak yang ketiganya masih bersekolah. Mapel khusus yang diampunya membuat ia hanya mendapat jam mengajar yang sedikit dengan pendapatan tak lebih dari 700 ribu perbulan. Untuk ukuran hidup diperkotaan yang apa pun serba mahal. 700 ribu mungkin akan hilang dalam satu minggu pertama di awal bulan.

Saya bertanya-tanya apa yang menjadi alasan pak Ridwan untuk tetap memilih sebagai seorang guru. Menjadi kepala keluarga dengan tiga orang anak dan hanya mendapat uang kerja yang “cukup sekali” untuk membayar tagihan listrik. Hidup mungkin kadang tak adil, hasil kerja kerasnya dalam studi S2 di bidang ekonomi syariah, hanya diganjar dengan uang 700 ribu per bulan. Bahkan seorang ahli bangunan pun mendapat satu juta lebih dalam seminggu jika upah per hari nya 150 ribu.

Tapi seorang guru tidak bisa dibandingkan dengan ahli bangunan, guru adalah profesi luhur yang disematkan untuk manusia-manusia terpilih seperti pak Ridwan yang mampu mengabdikan diri memberikan ilmunya untuk anak-anak Indonesia. Profesi guru memang profesi yang tidak semua orang bisa menyandangnya.

Terutama di Indonesia, empat tahun yang telah pak Ridwan habiskan dengan waktu, tenaga, dan materi yang tak sedikit itu seharusnya dapat membuat pak Ridwan hidup nyaman dan tenang di masa sekarang. Tetapi menjadi guru mungkin sudah menjadi hal kewajaran jika seorang guru di “cap” tak beruang. Tak punya banyak materi, bahkan motor saja supra tahun keluaran 2000 awal. Ya memang sulit menjadi guru. Seorang yang memberikan hidupnya untuk orang lain, untuk mencerdaskan orang lain tetapi apresiasi terhadap mereka amat minim.

Hebat guru Indonesia, keluh kesah itu tak menyurutkan semangat mengajar mereka. Tetap hadir di setiap jam pelajaran apa pun yang terjadi. Meski kantung kempis dan tanda bensin di motor sudah berkedip. Walau hujan yang tak sedikit, walau terik panas matahari yang membakar. Mereka akan tetap datang untuk memberikan ilmu pada setiap anak Indonesia.

Saya tahu, pendidik sejati adalah pendidik yang memiliki niat tulus dalam mencerdaskan seseorang. Jika seorang guru terlalu memikirkan urusan-urusan masalah yang ada di hidupnya seperti gaji kecil, tunggakan uang, dan gaya hidup serba sederhana. Hal itu akan mengurangi profesionalitas mereka dalam mendidik. Karena seorang guru sejatinya dituntut untuk menjadi sempurna bagi anak didiknya, bagi orang-orang yang mengenalnya. Karena keluruhan dari profesi itu yang tidak dimiliki profesi lain. Membuat guru harus tampil sempurna sebagai manusia terlepas dari keterbatasannya yang kompleks sebagai manusia.

Serba salah memang, guru juga manusia ia butuh makan butuh menghidupi keluarganya. Hal-hal lain di luar pendidikan yang menjadi bagian penting dalam hidup mereka juga perlu mereka pertanggung jawabkan. Tidak hanya nilai siswa atau absensi mengajar yang ada. Sangat penting tentunya bagi mereka untuk dapat hidup lebih nyaman dan lebih baik terlepas dari tuntutan tinggi yang disematkan pada mereka.

Tidak jarang karena hal tersebut membuat guru-guru muda lantas tak melanjutkan kiprahnya menjadi guru. Banyak angan-angan besar tentang pendidikan Indonesia dalam benak mereka yang pupus dan terhenti begitu saja. Angan-angan yang pupus karena telah merasakan bagaimana situasi pendidikan Indonesia sebenarnya. Yang lebih parah mungkin untuk guru-guru tua yang mulai jenuh dengan kehidupan mengajar yang monoton dan tak ada perubahan yang cukup signifikan bagi hidup mereka.

Tentu amat disayangkan jika masih ada saja cap guru Umar Bakrie di masa ini. Peran guru yang begitu vital dalam membangun peradaban bangsa diganjar dengan nilai apresiasi yang sangat jauh dari kelayakan. Saya paham bagaimana para guru hidup dengan keadaanya. Saya mengerti benar bagaimana cita dan mimpi mereka. Dan pemangku kebijakan, juga jajaran menteri yang ada harus mengerti dan paham akan hal itu juga. Karena banyak dari mereka yang bahkan tak pernah merasakan hidup menjadi guru, tak pernah merasakan menjadi seorang Umar Bakrie.

Dan dia yang paham akan kaumnyalah yang harus diangkat sebagai wakil kaum. Bukan hanya sekedar gagasan tinggi dan kecakapan ilmu. Tetapi lebih dari itu, keperdulian dan pemahaman akan nasib pendidikan Indonesia yang mencakup keadaan guru, sekolah, dan siswa harus benar-benar diperhatikan dari bawah. Bukan dari atas.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image