Rabu 13 Oct 2021 17:18 WIB

Kiprah Arab Muslim Melawan Penjajahan di Nusantara

Komunitas Arab Muslim di Tanah Air juga berjasa besar lawan penjajah

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Komunitas Arab Muslim di Tanah Air juga berjasa besar lawan penjajah. Jamiatul Kheir
Foto: wikipedia
Komunitas Arab Muslim di Tanah Air juga berjasa besar lawan penjajah. Jamiatul Kheir

REPUBLIKA.CO.ID, Memasuki zaman kolonialisme, peranan keturunan Arab tidak dapat dipandang sebelah mata.

Dengan mayoritas masyarakat pribumi, mereka memiliki rasa kebersamaan, khususnya dalam identitas agama. Karena itu, yang muncul kemudian adalah solidaritas untuk sama-sama melawan penjajahan Belanda. 

Baca Juga

Abad ke-20 menjadi momentum kebangkitan gerakan-gerakan nasionalis di Indonesia. Komunitas Arab di Tanah Air pun turut dalam gelombang ini. Salah satu di antaranya berpusat di Batavia (Jakarta). Organisasi yang berdiri pada 1905 ini bernama Jamiat Kheir. 

Seperti tampak dari penamaannya, yang harfiah berarti 'Perkumpulan untuk Kebaikan', Jamiat Kheir berfokus pada kerja-kerja maslahat yang manfaatnya dapat dirasakan kaum Muslimin. Dengan begitu, sifatnya menjadi inklusif. Dalam arti, tidak membatasi diri hanya pada komunitas Arab di Hindia Belanda. Buktinya, banyak tokoh Islam yang turut mendaftarkan diri sebagai anggota Jamiat Kheir.

Sebagai contoh, KH Ahmad Dahlan (terdaftar dengan nomor anggota 770), HOS Tjokroaminoto (diberi amanah mengendalikan perusahaan di Surabaya), Rd Djajanegara (hoofd jaksa Batavia), dan lain-lain. Mereka dipersatukan oleh semangat untuk mewujudkan persatuan dan kebangkitan Islam.

Sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara menjelaskan, pemerintah kolonial cemas akan keberadaan Jamiat Kheir (yang disebutnya Djaimat Choir). Organisasi tersebut serta Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surakarta dinilai membahayakan tatanan penjajahan di nusantara. Sebab, konteks geopolitik Asia Tenggara saat itu diapit pergolakan nasionalisme Cina yang dipimpin Dr Sun Yat Sen. 

Dalam sebuah keterangannya, Sun Yat Sen ber terima kasih kepada Muslimin China atas keikutsertaan dalam perjuangan melawan Inggris. Berita kemenangan Jepang atas Rusia juga membuat khawatir rezim Belanda di Hindia. Sebab, itu membangkitkan perasaan bahwa Eropa dapat dikalahkan Asia.

Seorang penasihat pemerintah kolonial, KF Holle (1829-1896), lantas menyarankan, perlu adanya organisasi penyeimbang sebagai lawan dari Jamiat Kheir. Organisasi yang dimaksud hendaknya didirikan kalangan Pribumi yang mendukung hegemoni kolonial di Hindia. Cakupan kerjanya pun mesti di ibu kota, Batavia. Rencana tersebut didukung Bupati Serang Banten PAA Achmad Djajadiningrat. 

Adapun nama organisasi tandingannya, menurut PAA Achmad Djajadiningrat, harus sama pula seperti Djamiat Choir. Untuk itu, dipilihlah nama Boedi Oetomo (Budi Utomo), tulis Suryanegara.

Untuk mengisi Budi Utomo, disarankan orang-orang dari suku Jawa dan kalangan bangsawan pula. Suryanegara mengatakan, memang Islam adalah agama yang dipeluk mayoritas orang Indonesia kala itu bahkan hingga sekarang.

Akan tetapi, para bangsawan Jawa dan bupati pendukung Budi Utomo tidak berpihak pada pemeluk agama mayoritas pribumi, melainkan Jawanisme atau kejawen. 

Dari kenyataan sejarah tersebut, dapat dipahami bila Boedi Oetomo bersikap menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia, 1928 M. Hal ini karena ide cita-cita persatuan Indonesia terlahir dari Kongres Jong Islamieten Bond, 1925 M. 

Jong Islamieten Bond merupakan kontra organisasi dari Jong Java atau Tri Koro Dharmo, organisasi pemuda Boedi Oetomo, ujar akademisi tersebut dalam subbab Boedi Oetomo Pengimbang Djamiat Choir. 

Visi kebangsaan Indonesia yang digagas Jamiat Kheir tidak hanya di ranah pendidikan, tetapi juga media massa. Pada 31 Maret 1913, organisasi ini membidani lahirnya surat kabar Utusan Hindia. Penamaan Hindia mengindikasi kan semangat nasionalisme yang kuat. 

Perhatiannya tidak hanya pada perjuangan antikolonialisme di nusantara, tetapi juga belahan bumi lain tempat Muslimin berpijak. Umpamanya, Afrika Utara. Pada 1911, Jamiat Kheir mendatangkan seorang tokoh pejuang dari Tunisia, al-Hasyimi. Sebelum menginjakkan kaki di Indonesia, dia pernah memimpin perlawanan terhadap pemerintah kolonial Prancis di daerah asalnya. 

Seusai bergabung dengan Jamiat Kheir, keaktifan nya tidak hanya dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada murid-murid di kelas, khususnya dalam mata pelajaran bahasa Arab dan agama Islam.

Al-Hasyimi bahkan memperkenalkan kepanduan atau pramuka di lingkungan Jamiat Kheir. Dapat dikatakan, dialah orang pertama yang mendirikan gerakan kepanduan di tengah Muslimin Indonesia. 

Sejarah pun membuktikan, konsistensi dan daya tahan Jamiat Kheir melampaui usia penjajahan Belanda di Tanah Air. Bahkan, hingga hari ini perannya masih bisa disaksikan di Indonesia. Walaupun mayoritas anggota atau tokohnya keturunan Arab, organisasi itu terbuka bagi setiap Muslim di negeri ini, tanpa diskriminasi asal-usul.   

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement