Kamis 14 Oct 2021 21:50 WIB
Lesson Learning dari Covid-19 (4)

Ketika Umat Abai terhadap Agamanya

umat terkadang mengabaikan agamanya

Perahu melintasi perairan Pantai Losari dengan latar belakang Masjid 99 Kubah di Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (20/9/2021). Satgas COVID-19 Sulawesi Selatan merilis Kota Makassar keluar dari zona oranye menjadi zona kuning atau kategori wilayah resiko rendah penyebaran COVID-19.
Foto: Antara/Arnas Padda
Perahu melintasi perairan Pantai Losari dengan latar belakang Masjid 99 Kubah di Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (20/9/2021). Satgas COVID-19 Sulawesi Selatan merilis Kota Makassar keluar dari zona oranye menjadi zona kuning atau kategori wilayah resiko rendah penyebaran COVID-19.

Oleh : Prof KH Nasaruddin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal)

REPUBLIKA.CO.ID, Agama adalah karunia paling berharga bagi manusia dari Tuhannya. Agama hadir untuk lebih memanusiawikan manusia. Manusia dijamin akan selamat dunia-akhirat jika respek kepada agamanya. Agama mestinya menjadi pandangan hidup (way of life) bagi pemeluknya.

Kita bisa menebak apa yang akan terjadi jika umat abai terhadap agamanya. Apakah masih bisa disebut manusia tanpa agama? Apakah bisa disebut umat tanpa ikatan keagamaan? Apakah masih bisa disebut agama tanpa umat yang mengikutinya?

Lihatlah pemandangan di sekitar kita atau mungkin lihatlah diri kita sendiri. Apa kata agama dan apa yang dilakukan pemeluknya? Semakin berjarak antara umat dan agamanya, semakin gagal kita menciptakan manusia ideal.Umat yang ideal (khaira ummah)ialah umat yang lengket (attached)agamanya.Antara umat dan agamanya kian semakin berjarak. Antara umat dan lingkungan pacunya juga semakin berjarak. Kini, sedang terjadi semacam kepribadian ganda (split personality)antara agama dan para penganutnya.

Kalangan pemeluk merasakan agamanya terlalu dogmatis di tengah lingkungan pacu yang teramat rasional. Agama sering dirasakan membatasi, sementara lingkungan pacu menuntut kebebasan. Agama lebih terkesan konservatif, tradisional, dan mengajak umat kembali ke masa silam, sementara lingkungan pacu lebih canggih, liberal, dan menantang untuk menembus masa depan. Agama dirasakan lebih kaku atau statis di tengah lingkungan pacu yang sedemikian dinamis dan mobile.Logika agama terasa lebih tekstual, kualitatif, dan deduktif; sementara lingkungan pacu terkesan lebih kontekstual, kuantitatif, dan induktif.

Umat seperti banyak yang teralienasi dengan kehidupan dunia yang serbacanggih. Mereka merasa masa depan datang lebih awal melampaui kecepatan umat menyiapkan diri. Mestinya masa depan itu datang 50 tahun lagi, tetapi sudah masuk di dalam kamar-kamar kita, bahkan di dalam genggaman kita.

Apa jadinya jika masa depan datang lebih awal dari pada perkiraan kita? Pertanyaan ini dianalisis lebih cermat oleh Prof Clifford Geertz dalam bukunya The Observed.Geertz memba yangkan suatu masyarakat yang akan mengalami apa yang disebut dengan kepribadian ganda (split personality).Sayang sekali Geertz, ahli antropologi agama senior dari Amerika Serikat yang melakukan penelitian doktornya di Indonesia ini, keburu wafat sebelum menyaksikan predik sinya menjelma menjadi suatu kenyataan.

Apa yang pernah diprediksi Geertz kini banyak melanda umat beragama.Antara konsep ajaran dan realitas sosial semakin berjarak sehingga tidak jarang kita menemukan orang mengalami disorientasi dan kepribadian ganda dalam kehidupan beragama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement