Kamis 14 Oct 2021 22:51 WIB

Komando Ulama terhadap Umat Islam Lawan Penjajah

Ulama mempunyai jasa besar terhadap Indonesia sepanjang masa

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Ulama mempunyai jasa besar terhadap Indonesia sepanjang masa. Ilustrasi ulama
Foto: dok. Republika
Ulama mempunyai jasa besar terhadap Indonesia sepanjang masa. Ilustrasi ulama

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Peran ulama di Indonesia, bahkan jauh sebelum Indonesia lahir menjadi sebuah nation, begitu besar. Ibarat sebuah permainan sepak bola, ulama dan kiai adalah penjaga gawang yang menjadi benteng pertahanan terakhir atas tegaknya nilai-nilai ajaran Islam dan eksistensi bangsa.

Ketua Umum Ikatan Dai Seluruh Indonesia (Ikadi) KH Ahmad Satori mengatakan, ulama merupakan aset tak ternilai yang dimiliki bangsa ini. Hadirnya ulama telah banyak memberikan kemajuan bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Untuk itu kehadiran ulama harus dijamin oleh negara, termasuk jaminan perlindungan terhadap mereka.

Baca Juga

“Ulama ini kan orang yang banyak ilmunya. Yang ilmunya itu dia gunakan bukan hanya untuk menerangi dirinya, tapi juga untuk menerangi orang lain,” kata Kiai Satori saat dihubungi Republika.coi.id, Kamis (14/10).

Bangsa Indonesia memiliki keterikatan sejarah yang kuat dengan ulama. Sejak era Hindia Belanda, umat Islam senantiasa berjalan berpadu di bawah komando para kiai. Untuk dia melihat bahwa hadirnya kepastian hukum terhadap oknum-oknum yang melakukan tindakan kekerasan terhadap ulama harus diberikan sanksi sesuai aturan berlaku.

Jika menyimak sejarah, tak terhitung kiranya peran ulama dalam membangun bangsa ini. Mulai dari sektor pendidikan, dakwah, kesehatan, ekonomi, hingga sosial-kenegaraan. Ibarat penjaga gawang, ulama memang jarang maju ke depan kecuali jika negara dalam keadaan darurat, itu pun jika sudah masuk injury time.

Muhaimin Iskandar dalam buku Spiritualitas Sepak Bola menjelaskan sejarah singkat bagaimana sikap para kiai dan ulama Indonesia dalam mempertahankan keutuhan bangsa. 

Ketika beberapa kelompok pejuang, termasuk para tentara didikan Belanda tidak bisa mengambil sikap untuk menghadapi pendaratan tentara sekutu di Surabaya sebulan sebelum Proklamasi RI dilakukan, maka para kiai pesantren di bawah komando KH Hasyim Asy’ari berkumpul.

Mereka berkumpul pada 22 Oktober 1945 dan mengambil sikap tegas untuk kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Mempertahankan itu dianggap wajib bagi umat Islam, terutama bagi warga Nahdlatul Ulama wajib hukumnya bagi mereka mengangkat senjata melawan Belanda dan sekutunya. Kewajiban itu diputuskan sebagai perang suci (jihad).

Demikian dalam berpolitik, Islam tidak melarang seseorang, termasuk ulama, untuk menggeluti dunia politik. Umat Islam tidak diperkenankan bersikap apolitik, sebab politik merupakan sarana mewujudkan kemaslahatan yang dapat dikategorikan sebagai kewajiban agama.

KH Wahab Chasbullah pernah mengatakan bahwa memisahkan Islam dari politik sama saja memisahkan gula dari rasa manisnya. Jika seseorang bisa memisahkan Islam dari politik, maka dia juga bisa memisahkan gula dari manisnya, yang mana perumpamaan ini adalah sebuah kemusykilan atas pemisahan tersebut.

Namun demikian, politik kiai dan ulama akan berubah menjadi proses degradasi kultur dan nilai jika dimanifestasikan dalam ruang politik praktis yang bersifat jangka pendek dan sesaat. Politik kiai dan ulama harusnya diorientasikan untuk kepentingan jangka panjang dan mengurusi hal-hal fundamental menyangkut kepentingan dasar masyarakat.

Seperti kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, serta politik strategis menyangkut eksistensi kemandirian negara dalam pergaulan internasional. Pada akhirnya, semua elemen bangsa perlu menyadari kembali pentingnya melindungi para ulama dengan segenap instrumen kenegaraan yang ada. Sebab orkestrasi sepak bola yang indah tak bisa dilakukan tanpa penjaga gawang, sebaik atau sekuat apapun striker yang kita punya di depan sana menyerang.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement