Senin 18 Oct 2021 09:08 WIB

Kekuasaan Geng-Geng Haiti Semakin Luas

Geng Haiti menembaki rombongan delegasi perdana menteri dan menculik misionaris AS.

Rep: Lintar Satria/ Red: Teguh Firmansyah
Orang-orang berkumpul di sekitar pembakaran sampah di pusat kota Port-au-Prince, Haiti, sore hari, Selasa, 21 September 2021.
Foto: AP/Rodrigo Abd
Orang-orang berkumpul di sekitar pembakaran sampah di pusat kota Port-au-Prince, Haiti, sore hari, Selasa, 21 September 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, PORT-AU-PRINCE -- Perdana Menteri Ariel Henry mencoba memimpin upacara memperingati kematian salah satu pendiri Haiti pada Ahad lalu. Delegasi Henry disambut rentetan tembakan yang memaksa pejabat pemerintah mundur. Insiden ini menjadi salah satu tanda menguatnya pengaruh geng-geng bersenjata di negara Karibia itu.

Juru bicara kabinetnya tidak menanggapi permintaan komentar mengenai upacara tersebut. Henry menggelar upacara di Museum Nasional Haiti di Port-au-Prince untuk memperingati kematian Jean-Jacques Dessalines yang memproklamirkan kemerdekaan Haiti dari Prancis pada 1804. Acara yang dijadwalkan Ahad kemarin rencana digelar di Pont-Rouge, sebelah timur pintu masuk Port-au-Prince tempat Dessalines dibunuh tahun 1806.

Baca Juga

Selama bertahun-tahun pemerintah kesulitan menggelar acara tersebut karena adanya koalisi geng yang dikenal G9. Kelompok yang dipimpin mantan petugas polisi Jimmy Cherizier alias Barbecue.

Sebelumnya, pada Sabtu (16/10) lalu kelompok kriminal menculik misionaris Kristen yang sedang berkeliling di Port-au-Prince. Aktivis hak asasi manusia Pierre Esperance mengatakan sejak pembunuhan Presiden Jovenel Moise bulan Juli lalu dan disusul gempa bumi bulan Agustus, geng-geng kriminal semakin nyaman melakukan tindak kejahatan di luar daerah kekuasaan mereka.

"Pemerintah yang ada selama tiga bulan tidak memiliki kekuatan dalam menghadapi ini," kata direktur eksekutif National Human Rights Defense Network itu, Senin (18/10).

"Tidak ada rencana, tidak ada cara untuk memerangi ancaman, pasukan kepolisian nasional tidak diperkuat," tambahnya.

Dalam pernyataannya, Ahad (17/10) kemarin organisasi Kristen, Christian Aid Ministries mengatakan 16 warga AS dan satu warga Kanada diculik saat sedang mengunjungi sebuah panti yatim-piatu. Pakar keamanan menduga geng yang dikenal 400 Mawazo terlibat dalam penculikan ini.

Mereka menguasai Croix-des-Bouquets, sebuah komune sekitar 13 kilometer dari Ibukota Port-au-Prince. Pada April lalu, lima pendeta dan dua suster termasuk dua warga Prancis diculik di  Croix-des-Bouquets.

Geng 400 Mawozo diduga terlibat dalam kejahatan tersebut. Para korban dibebaskan di bulan yang sama.

Haiti dilanda lonjakan kejahatan penculikan saat kondisi ekonomi negara termiskin di Benua Amerika itu semakin memburuk. Hal ini mendorong semakin banyak rakyat Haiti yang keluar negeri untuk mencari peluang yang lebih baik.

Bulan lalu Amerika Serikat mendeportasi sekitar 7 ribu orang Haiti yang mencoba masuk AS melalui Meksiko. Dalam sembilan bulan terakhir selama tahun 2021 terjadi sekitar 628 penculikan. Organisasi non-pemerintah Center for Analysis and Research in Human Rights (CARDH) mencatat penculikan itu melibat warga asing.

Angka sebenarnya dapat jauh lebih tinggi sebab banyak warga Haiti yang enggan melaporkannya. Takut dengan pembalasan geng. "Geng-geng itu federasi, mereka memiliki banyak senjata, memiliki banyak uang dan berideologi, kami menuju negara-proto, geng-geng semakin kuat sementara polisi semakin lemah," kata direktur CARDH Gedeon Jean.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement