Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Toto TIS Suparto

Membayangkan Santri Menjadi Pengusaha

Bisnis | Sunday, 24 Oct 2021, 00:24 WIB

Pada Hari Santri lalu, Presiden Joko Widodo mengajak para santri ataupun lulusan pesantren untuk membuka wirausaha. Jangan cari kerja, tapi menciptakan lapangan kerja bagi sesamanya. Kemudian diperkuat oleh Menteri BUMN Erick Thohir bahwa santri merupakan pilar dari ekonomi syariah.

Ilustrasi Santri ( republika.co.id)

Tentu ini menjadi tantangan menarik, sekaligus akan mengubah anggapan umum bahwa santri ujung-ujungnya lebih memilih menjadi ustadz. Manakala telah menjadi ustadz, ia pun mengingatkan para wiraswastawan alias pengusaha untuk memilih jalan bisnis yang halal. Sayangnya, ia mengingatkan dengan lisan belaka sembari memaparkan dalil-dalil agama.

Beda jika santri menjadi pengusaha maka ia bisa menunjukkan bisnis islami secara langsung dengan tindakan. Bukan sekadar wacana, bukan sekadar lisan dalam rajutan kata-kata memukau, tetapi tindakan nyata di lapangan. Ilmu-ilmu keagamaan yang diperoleh di pesantren bisa diwujudkan dalam aktivitas bisnisnya.

Begitulah bayangan saya jika santri dipersiapkan sebagai pengusaha. Kelak, jika sungguh-sungguh jadi pengusaha maka ia akan mempunyai moral bisnis di atas standard. Sebab, saya tetap berkeyakinan bagi mereka yang terbiasa diperkenalkan jalan kebaikan ( lewat agama ) maka moral pun terbangun lehih baik. Memang banyak juga pendapat yang bilang bahwa moral dan agama adalah dua hal yang berbeda. Bagi saya, keduanya sama-sama menuju satu yang sama, yakni kebaikan. Moral menuju kebaikan, agama mengajarkan kebaikan.

Jadi, ini yang saya bayangkan, semua tindakan bisnis dipertimbangkan kehalalannya. Dalam ikut lelang proyek, misalkan, tak ada praktik suap. Semua didasarkan kompetensi dan persaingan harga. Maka, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak perlu bersusah payah mencari penyuap dan yang disuap karena suap memang jarang terjadi. Sekali lagi, ini bayangan saya. Faktanya? Sekarang suap seolah menjadi kebiasaan. Lihat saja dalam kasus operasi tangkap tangan (OTT) KPK, rerata di dalamnya ada praktik suap. Mereka yang dicokok KPK pun ada unsur "penyuap".

Berdasarkan data tindak pidana korupsi yang ditangani KPK sejak 2004 sampai Desember 2020, tercatat total 1.071 perkara, terdiri atas perilaku penyuapan sebanyak 704 perkara, Pengadaan Barang dan Jasa atau PBJ (224 perkara), penyalahgunaan anggaran (48 perkara), tindak pidana pencucian uang (36 perkara), perizinan (23 perkara), pemerasan (26 perkara), dan merintangi proses penindakan KPK (10 perkara).

Angka-angka di atas tentu akan berkurang bilamana pengusahanya pernah jadi santri. Para santri paham kok jika suap merupakan penyakit berbahaya. Suap merusak akhlak individu dan sosial serta menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka juga paham bahwa Islam melaknat suap.

Maaf, karena saya tak hafal dalil-dalilnya, maka saya WhatsApp seorang teman yang ustadz. Saya tanya soal suap ini. Teman saya itu menjawab singkat, "Yang menyuap dan yang disuap masuk neraka". Ini termaktub dalam hadist yang diriwayatkan Ath-Thabrani.

Indah bukan bayangan saya? Makin banyak santri jadi pengusaha maka praktik-praktik kotor, seumpama suap tadi, akan terkurangi. Cuma, indahnya bayangan itu terkadang dipengaruhi juga dengan apa yang dikebal dengan istilah habitus.

Pierre Bourdieu menjelaskan konsep habitus dengan njlimet, tapi kalau disederhanakan begini: merupakan nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Kasarnya begini, mau ngurus SIM saja kasih suap, mau masuk sekolah juga kasih suap, maka suap mengendap sebagai pola perilaku.

Santri yang nota bene punya habitus anti-suap harus nyemplung ke habitus lebih luas yang perilaku-perilaku immoral ( mengabaikan moral) sudah mengendap begitu kuat, bisa saja terpengaruh endapan tersebut. Pelan-pelan ia pun terseret kebiasaan suap kecil-kecilan. Tapi ia lupa perumpamaan, "sedikit demi sedikit lama kelamaan menjadi bukit". Kalau sudah terseret, ambyar pula bayangan saya. Bayangan indah tadi berubah nestapa. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image