Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Saputra

Akidah Ahli al-Sunnah wa al- Jamaah, Imamah, Khalifah

Agama | Friday, 22 Oct 2021, 10:22 WIB

Dalam sepanjang perjalanan sejarah Islam, masalah imāmah telah menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Asy-Syahrastani, pengarang kitab alMilāl wa an-Nihāl menyatakan bahwa di kalangan umat Islam tiada faktor pertikaian yang lebih besar selain masalah imāmah. Secara umum, madzhab Ahlusunnah memberikan definisi imamah ini sama hal nya dengan khalifah dan menggunakannya dalam ranah politik saja, sementara madzhab Syi’ah memandang hal ini jauh lebih besar.

Menurut Ahlusunnah seorang “Imam” adalah seorang pemimpin politik. mereka bertugas mengatur segala persoalan sosial-politik hidup masyarakatnya. Dengan begitu mereka menyamakan hal ini dengan khalifah karena hanya memerintah pada tatanan politik saja. Maka dengan demikian cukup dengan syarat memiliki sifat adil imam tersebut dapat dipilih secara musyawarah karena sudah sepatutnya mereka dipilih oleh masyarakat secara umum.2 Dengan demikian, dikarenakan imam disamakan kedudukannya dengan khalīfah yang di pahami sebagai pemegang kekuasaan politik, maka syarat adil, dan dipilih secara musyawarah untuk membuat siapa saja mencalonkan diri sebagai imam sudah cukup.

Dalam pandangan Syi’ah, masalah imāmah ini merupakan masalah yang sangat penting bahkan mereka memasukan imamah ini kedalam salah satu rangkaian rukun iman yang wajib dipatuhi, sehingga tidak mungkin diserahkan begitu saja kepada umat untuk memutuskannya, melainkan juga harus melibatkan seorang manusia lain yang memiliki kualitas lebih untuk memutuskannya. Penganut paham Syi’ah mengakui bahwa Nabi telah menunjuk penggantinya yang dinilai memenuhi kualifikasi pemimpin ruhani dan pemimpin umat sekaligus.

Pengganti Nabi itu tidak lain adalah Ali bin Abi Thalib dan sebelas keturunannya. Dengan demikian para Imam dalam konsep Syi’ah itu adalah melanjutkan kepemimpinan Nabi (qiyādah nubuwiyah) yang bertugas memberi petunjuk manusia, pemelihara dan penjelas hukum Allah. Oleh karenanya, imam adalah pilihan Tuhan yang paing berilmu, berakhlak tinggi, dan terpelihara dari dosa (ma’shūm).

Bagi Syi’ah masalah tersebut adalah seperti rangkaian kalimat tauhid. Barangsiapa tidak percaya kepada imāmah ia sama dengan orang yang tidak percaya kepada kalimat syahadat. 4 Menurut mereka Alqur’an dengan jelas menerangkan bahwa di setiap masa harus ada seorang imam yang benar yang menuntun manusia pada hidayah menuju Allah Swt. dan menjadi saksi atas seluruh perbuatan manusia serta menjadi hujjah (bukti) Allah pada setiap zaman di dunia dan akhirat.

Alqur’an merupakan sumber hukum pertama bagi umat Islam. Oleh karena itu, orang Islam harus memahami makna daripada yang terkandung dalam alqur’an. Salah satu metode untuk memahami alqur’an adalah dengan tafsir. Banyak para ulama yang telah mencoba untuk menjawab permasalahan-permasalahan umat manusia pada zaman kini dengan menafsirkan ayat Alqur’an.

Penelitian ini mencoba menggali permasalahan imāmah yang merupakan salah satu dari bagian doktrin politik Syi’ah Imamiyah. Penelitian ini akan diarahkan pada penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan kepemimpinan dalam Alqur’an khusunya term imamah dengan mengambil penafsir kalangan Syi’ah yakni imam Thabāthabā’i.

Dalam beberapa karya tafsir modern kalangan Sunni tak jarang kita temui beberapa penafsiran yang berbeda dengan hasil penafsiran dari kalangan Syi’ah. Salah satu contohnya yakni tafsir al-Marāghi karya Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam menafsirkan Qs. al-Ahzab ayat 71-72 itu beliau menafsirkan kata imam disana sebagai kitab-kitab mereka. Yakni ketika Allah kelak memanggil setiap golongan manusia berdasarkan kitab mereka, di dalamnya tercantum amal-amal mereka yang telah mereka lakukan, dan tidak menyebutkan nasab-nasab, karena nasab-nasab waktu itu telah terputus.

Sedangkan dalam buku Imam Mahdi yang dikutip dari tafsir al-MÄ«zan yang dimaksud dengan kata imam di dalam ayat tersebut adalah dihadirkan, yakni setiap manusia di setiap zaman dihadirkan dengan imam zaman mereka. Kemudian, diberikan catatan amal perbuatannya dari sebelah kanan bagi siapa yang mengikuti imam yang hak dan tampaklah kebutaan orang-orang yang buta dari amal pengenalan imam yang sesungguhnya di zamannya dan di pisahkan dari para pengikutnya.

Secara akademis, ada beberapa alasan mengapa penulis meneliti pemikiran tafsir Thabāthāba’i tentang konsep imāmah. Pertama, mereka meyakini imāmah merupakan suatu ketetapan dari Allah melalui nash-Nya yang dikaruniakan kepada seseorang yang terpilih. Kedua, Thabāthabā’i dalam pengkajian al-Qur’an beliau tidak fanatik pada suatu teori tertentu tetapi ia merenungkan secara mendalam ayat-ayat yang sama-sama membahas satu masalah untuk mengetahui apa yang dapat disimpulkan.

Kemudian, keimpulan dari pengkajiannya yang mendalam itu pun menjadi pendapatnya sendiri tanpa memperhatikan pendapat orang lain yang dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an tidak membahasnya secara ilmiah. Ketiga, Thabāthabā’i termasuk kedalam jajaran ulama terkenal akan kekayaan keilmuannya, hal ini dapat tercermin dalam karya kitab tafsirnya dimana beliau bukan hanya merujuk pada ulama Syi’ah dalam menuliskan tafsirnya akan tetapi beliau juga banyak merujuk pada ulama Ahlu sunnah Sehingga Thabāthabā’i tidak saja terkenal dikalangan Syi’ah saja akan tetapi pada kalangan Ahlu sunnah pula.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image