Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Naufal Dzulfaroh

BPKH dan Mimpi Haji yang Semakin Realistis Bagi Rakyat Kecil

Lomba | Saturday, 16 Oct 2021, 22:25 WIB
Foto: Erik Purnama Putra/Republika

"Wa, kita haji yuk. Jualan kita yang tiap hari lumayan laku bisa buat nabung lalu bayar ongkos untuk haji", kata Hasanah, mengajak temannya sesama penjual kopi Rp 3.000-an untuk bermimpi menunaikan rukun Islam kelima.

Ajakan tersebut dilontarkan Hasanah jauh sebelum ia berangkat haji pada 2018. Ya, penjual kopi yang juga seorang single mother dengan tiga anak itu sudah berhaji.

Setiap habis Ashar, Hasanah menjajakan kopi di sebuah gang masuk perumahan di Angke, Ciledug, Jakarta Barat.

Sejak suaminya meninggal akibat kecelakaan beberapa tahun silam, Hasanah harus banting tulang menghidupi tiga anaknya dengan berjualan kopi.

Kendati demikian, Hasanah memiliki niat kuat untuk bisa naik haji dari hasil keringatnya menjual kopi.

"Makan saja susah, mana mungkin harga kopi segelas Rp 3.000-Rp 4.000 bisa haji," kata Wawan membalas ajakan Hasanah untuk nabung.

Ribuan rupiah yang dikumpulkannya secara teratur akhirnya cukup untuk melunasi ongkos naik haji. Hasanah pun akhirnya bisa memenuhi undangan-Nya untuk berhaji pada 2018.

Kisah Hasanah hanya satu dari sekian banyak perjuangan umat Islam Indonesia untuk pergi berhaji ke Tanah Suci Mekkah.

Dalam e-Book "Pejuang Haji: Kumpulan Kisah Inspiratif" yang diterbitkan oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), terdapat banyak kisah serupa yang semakin mempertegas bahwa keyakinan dan usaha akan mengubah segalanya.

Ongkos Haji

Untuk bisa berangkat haji, jemaah asal Indonesia harus membayar ongkos sekitar Rp 35 juta (2019). Skema pembayarannnya adalah Rp 25 juta setoran awal ditambah Rp 10 juta pelunasan.

Sayangnya, angka itu bukanlah Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sesungguhnya.

Ongkos yang dibayarkan jemaah itu hanya untuk beban penerbangan, sebagian akomodasi di Mekkah, dan living cost yang diberikan kepada setiap jemaah sesaat sebelum naik pesawat di masing-masing embarkasi.

Selain unsur-unsur di atas, beban biaya haji masuk ke dalam kategori indirect cost yang berasal dari nilai manfaat hasil pengelolaan dana oleh BPKH.

Biaya indirect cost sendiri mencapai sekitar Rp 34,7 juta, sehingga BPIH per jemaah sesungguhnya adalah sekitar Rp 70 juta.

Lantas, apa maksud dari nilai manfaat hasil pengelolaan dana BPKH?

Peran Penting BPKH

Begini, minat Muslim Indonesia untuk menunaikan ibadah haji yang begitu besar tidak sebanding dengan kuota yang tersedia tiap tahunnya.

Karena kuota haji yang hanya sekitar 220.000 per tahun, rata-rata masa tunggu nasional adalah 26 tahun (2021).

Lamanya masa tunggu haji di Indonesia tersebut memberikan tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk dapat mengelola dana haji secara baik.

Ya, dana setoran awal yang dibayarkan oleh calon jemaah tidak hanya mengendap di satu tempat, tetapi akan dikelola oleh BPKH, sebuah lembaga yang diberi mandat khusus untuk mengelola keuangan haji di tanah air.

Dasar hukum pendirian BPKH sendiri berdasarkan pada UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji dan Perpres Nomor 110 Tahun 2017 mengenai BPKH.

Ijma Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Tahun 2012 juga membolehkan pemerintah untuk menginvestasikan dana haji yang telah terkumpul dengan investasi yang aman dan sesuai dengan prinsip syariah.

Sebaliknya, dana haji yang 'dianggurkan' begitu saja justru tidak sesuai.

Sistem Pengelolaan BPKH dan Nilai Manfaat

Sejak didirikan pada 2017, total dana haji yang dikelola BPKH sebesar Rp 144,91 triliun (Desember 2020).

Untuk mengelola dana haji itu, BPKH menempatkannya dalam bentuk produk bank (giro, tabungan, deposito) dan menginvestasikannya ke berbagai instrumen investasi syariah.

Sebagai catatan, tiga tahun pertama sejak BPKH dibentuk, dana dalam bentuk produk bank paling banyak 50 persen dari total penempatan dana haji. Setelah tiga tahun, maksimum penempatan bank dikurangi menjadi 30 persen.

Soal keamanan, pengelolaan dana haji oleh BPKH tak perlu diragukan. Selama tiga tahun berturut-turut, BPKH mendapat Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Dari hasil pengelolaan itu, diperoleh nilai manfaat yang jumlahnya selalu meningkat tiap tahunnya. Pada 2020, nilai manfaat yang diperoleh sebesar Rp 7,46 triliun atau meningkat 2,33 persen dari tahun sebelumnya.

Nilai manfaat inilah yang digunakan untuk membayar indirect cost para jemaah haji.

Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2017, nilai manfaat pengelolaan dana haji tersebut ditujukan pada tiga hal.

Pertama, meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji. Kedua, rasionalitas dan efisiensi penggunaan BPIH. Ketiga, manfaat bagi kemaslahatan umat Islam.

Berkaca dari kesuksesan Malaysia

Malaysia bisa menjadi contoh nyata bagaimana pengelolaan dana haji memiliki manfaat begitu besar bagi jemaah.

Melalui Tabung Haji (TH) yang sudah berdiri sejak 1963, pemerintah mengelola dana tabungan haji warga dan menginvestasikannya secara syariah.

Dengan keuntungan yang besar, Tabung Haji setiap tahunnya terus memberikan subsidi kepada para calon jemaah.

Bahkan, Malaysia tetap mengeluarkan tarif yang sama, meski biaya haji terus mengalami kenaikan setiap tahunnya.

Pada 2019, biaya haji naik hingga 22.900 RM. Namun, Tabung Haji menetapkan bahwa jumlah yang harus dibayar jemaah hanya 9.980 RM.

Sementara subsidi yang ditanggung oleh Tabung Haji per jemaah haji adalah 12.000 RM!

Dengan usia yang belum genap lima tahun, bukan tidak mungkin bagi BPKH untuk mengikuti kesuksesan Tabung Haji Malaysia dalam pengelolaan dana haji.

Optimisme ini muncul seiring jumlah nilai manfaat yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Nantinya, ongkos haji akan tetap stabil, realistis, dan bisa dijangkau oleh rakyat kecil, meski biaya sesungguhnya mengalami kenaikan.

Dengan begitu, cerita seperti Hasanah akan semakin banyak kita temui. Bahkan, mungkin saja di lingkungan sekitar kita.

#BPKHWritingCompetition

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image