Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Siska Puspitasari

KONTRIBUSI BPKH DALAM MEMPERKUAT EKONOMI SYARIAH dan EKOSISTEM EKONOMI HAJI

Lomba | Sunday, 24 Oct 2021, 17:26 WIB

BPKH adalah lembaga yang melakukan pengelolaan Keuangan Haji. Keuangan Haji adalah semua hak dan kewajiban pemerintah yang dapat dinilai dengan uang terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji serta semua kekayaan dalam bentuk uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut, baik yang bersumber dari jemaah haji maupun sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Pengelolaan Keuangan Haji berasaskan pada prinsip syariah, prinsip kehati-hatian, manfaat, nirlaba, transparan dan akuntabel. Pengelolaan Keuangan Haji bertujuan meningkatkan kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji, rasionalitas dan efisiensi penggunaan BPIH dan manfaat bagi kemaslahatan umat Islam.

Ekonomi syariah atau sering disebut juga dengan Ekonomi Islam adalah bentuk percabangan ilmu ekonomi yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Ekonomi syariah melandaskan pada syariat Islam, yang berasal dari Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Hukum-hukum yang melandasai prosedur transaksi sepenuhnya untuk kemaslahatan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat ini tidak diukur dari aspek materil saja, namun juga mempertimbangkan dampak sosial, mental dan spiritual serta dampaknya pada lingkungan.

Pengelolaan keuangan haji berkaitan erat dengan ekonomi syariah karena pengelolaan keuangan haji berdasar dengan prinsip keuangan syariah. BPKH memiliki peran yang penting dalam rangka penguatan ekonomi syariah karena Keuangan Haji wajib dikelola di Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah. Menurut UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, Bank Umum Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Pengelolaan keuangan haji meliputi penerimaan dalam hal setoran BPIH/BPIH Khusus, nilai manfaat keuangan haji, dana efisiensi penyelenggaraan ibadah haji, Dana Abadi Umat (DAU), dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Pengeluaran meliputi penyelenggaraan ibadah haji, operasional BPKH, penempatan/investasi keuangan haji, pengembalian setoran yang dibatalkan, pembayaran saldo setoran BPIH khusus ke PIHK, pembayaran nilai manfaat, kegiatan untuk kemaslahatan umat islam, dan pengambilan selisih saldo.

Dalam harian Republika senin 3 maret 2014, dalam tulisannya berjudul “Elitisasi Ekonomi Syariah‟, Pakkana menulis “Banyak persoalan ekonomi di tingkat grass- root luput dari pengamatan dan aksi affirmatif dari penggiat ekonomi syariah. Dari tulisan tersebut, setidaknya ada 3 persoalan yang ingin diangkat Pakkana sekaligus kritik terhadap perkembangan ekonomi syariah di tanah air. Pertama, adalah ekonomi syariah terjebak kepada keuangan syariah yang menurut beliau cenderung kepada beternak uang, kedua, persoalan zakat yang belum masif seperti masifnya gerakan industri keuangan syariah, dan ketiga, persoalan sektor riil, terutama ekonomi sumberdaya alam, yang masih luput dari pegiat ekonomi syariah. Mari kita lihat persoalan tersebut satu persatu.

Pertama, ekonomi syariah terjebak kepada keuangan syariah. Perlu dipahami, pintu masuk ekonomi syariah adalah lembaga keuangan syariah. Dan dari seluruh lembaga keuangan, bank dulu yang mendapat prioritas untuk disyariahkan, mengapa? Karena lebih dari 90 persen uang beredar adanya di bank. Jadi, kalau bank berhasil disyariahkan, maka upaya untuk mensyariahkan ekonomi akan lebih cepat. Hanya saja yang harus kita pahami adalah, bank syariah muncul dan berusaha berdiri tegak di tengah-tengah derasnya bank berbasis riba.

BPKH memiliki peran penting dalam meperkuat ekonomi syariah karena nilai dana haji selalu meningkat sekitar 10 triliun pertahun.Nilai dana haji meningkatkan sekitarkan Rp.10 Triliun setiapkan tahun yang berasal dari pendaftar baru dan kenaikan nilai manfaat,dimana pendapatan nilai manfaat yang didapatkan BPKH dari pengelolaan Dana Haji tersebut meningkat sekitar Rp.1 Triliun per tahun. Selama dekade terakhir keuangan Islam telah berkembang menjadi salah satu sektor dengan pertumbuhan tercepat dari industri keuangan global, menyalip pasar keuangan konvensional. Global Islamic Economic Report memperkirakan nilai aset keuangan Syariah akan meningkat sebesar 13,9% pada 2019, dari $2,52 triliun menjadi $2,88 triliun. Selain itu, pada tahun 2021, sejalan dengan tren global yang berkembang, keuangan syariah di Indonesia akan mengalami pertumbuhan positif dalam menghadapi pandemi. Karena, di sisi perbankan pada Mei 2021, aset bank meningkat 15,6% atau mencapai Rp598 miliar. Di pasar internasional, Indonesia adalah salah satu kontributor utama dalam penerbitan sukuk global. Selain itu, sukuk telah terbukti menjadi sumber pendanaan yang dapat diandalkan dimana selama periode 2013-2021, ada 3.447 proyek didanai melalui sukuk. Indonesia memiliki peluang besar untuk mengoptimalkan pasar keuangan dengan mengembangkan lebih banyak varian sukuk. Di sektor keuangan syariah lainnya, seiring dengan berkembangnya ekosistem financial technology (fintech), aset fintech syariah di Indonesia tumbuh mencapai 134 miliar rupiah pada Juni 2021 yang mewakili 3% dari total aset fintech di Indonesia.

Dari berbagai jaringan, mitra atau kerja sama dalam ekosistem halal adalah modal besar BPKH untuk mewujudkan ekosistem haji di Indonesia. Ekosistem haji yang tercipta dengan solid dan seimbang mampu menjadikan BPKH dengan bermodalkan ekosistem yang kedepan terwujud dengan baik, maka dua tugas besar yang diamatkan Undang-undang dalam visi BPKH, akan semakin mudah dijalankan secara optimal. Sebagai contoh juga gambaran, saat ini BPKH tengah berjuang dalam investasi fasilitas akomodasi berupa Rumah Indonesia di Mekkah, Arab Saudi. Anggota Badan Pelaksana Bidang Investasi dan Kerjasama Luar Negeri BPKH, Hurriyah (industri.kontan.co.id, 8 Agustus 2021) menyampaikan, pada tahun 2021 ini feasibility study atau studi kelayakan untuk memastikan aspek hukum, bisnis, perizinan hingga skema pendanaan sudah dilakukan, termasuk komunikasi dengan otoritas Arab Saudi dijalin secara berkesinambungan.

Efek dari adanya fasilitas akomodasi di Arab Saudi, akan berpotensi merambat pada hampir segala aspek terkait penyelenggaraan ibadah haji (dan umrah). Dengan konsep multifungsi terpadu atau mixed use, fasilitas akomodasi akan menjadikan bukan saja pelayanan haji yang akan semakin meningkat kualitasnya, tapi juga dapat menekan biaya akomodasi yang selama ini cukup berat (34 persen dari direct cost per jamaah). Keuntungan lainnya, dapat menyerap tenaga kerja Indonesia dan meningkatkan ekspor berbagai kebutuhan haji Indonesia. Jadi keuntungan akan berputar dan berkembang dari jamaah haji menuju jamaah haji lain dan bahkan menuju pelaku bisnis Indonesia baik di Tanah Air maupun di Tanah Suci.

Di sinilah peran segenap pihak yang terkait entah itu dalam lingkup ekosistem Bangsa Indonesia secara luas, ekosistem halal, atau secara lebih sempit ekosistem haji di Indonesia yang sudah berlangsung sampai detik ini. BPKH sedang mengupayakan skema investasi pada pembangunan fasilitas untuk jamaah haji dan umrah Indonesia. Hal ini tentu berita yang baik bagi pembentukan ekosistem Haji dan Umrah. Bagaimana tidak, ketika dana-dana ini bisa terealisasi untuk pembangunan fasilitas haji dan umrah jamaah Indonesia, maka akan ada sejumlah efek ekonomi yang bisa terwujud sebagai imbas dari kebijakan tersebut.

Skema investasi untuk membangun fasilitas akomodasi bagi jemaah haji dan umrah ini sesuai dengan amanat yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Investasi ini sebagai bagian dari upaya membangun ekosistem haji dan umrah. Sehingga tidak hanya memenuhi peningkatan kualitas layanan untuk jemaah, melainkan juga bisa memberikan efek pengganda (multiplier effect) bagi perekonomian. Ada sejumlah multiplier effect yang akan timbul dari model investasi ini :

1. Pertama, pembangunan dan pengoperasian fasilitas akomodasi dengan konsep mixed use tersebut akan menyerap banyak tenaga kerja Indonesia. Hal ini juga bisa memberikan kemudahan pelayanan bagi jemaah.

2. Kedua, terkait dengan harga. Dengan investasi pada fasilitas dan akomodasinya, pengelolaan harga bisa dilakukan sehingga tidak selalu bergantung pada kontrol harga oleh pasar.

3. Ketiga, mendatangkan devisa. Dengan adanya pembangunan fasilitas akomodasi seperti hotel, apartemen, hingga pusat perbelanjaan, maka pasar untuk barang-barang dan makanan Indonesia akan semakin terbuka. Hasilnya, akan ada laju ekspor barang seperti bahan baku dan bumbu masakan yang didatangkan dari Indonesia.

Dengan begitu, model investasi yang dilakukan pada pembangunan fasilitas dan akomodasi ini bisa memutar dana dan devisa agar tidak hangus dengan percuma. Jemaah pun bisa mendapatkan nilai manfaat secara ekonomis dan juga dalam bentuk peningkatan kualitas layanan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image