Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Tuhan Maha (tidak) Mengawasi, Autokritik atas Keyakinan Kita kepada Tuhan

Agama | Wednesday, 27 Oct 2021, 19:54 WIB

DENGAN membawa lentera yang menyala seseorang mendatangi sebuah pasar pada siang hari. Perilakunya mengundang keheranan orang-orang yang ada di pasar tersebut. Seseorang yang merasa heran dengan perilaku orang tersebut mencoba menyapanya, “Apa yang sedang Anda lakukan?”

Tanpa basa-basi, orang pembawa lentera tersebut menjawab, “Aku sedang mencari Tuhan.”

Mendengar jawaban polos dari orang tersebut, orang-orang yang ada di sekitarnya tertawa terbahak-bahak. “Memangnya Tuhanmu tersesat atau hilang? Atau jangan-jangan Tuhanmu sudah pindah rumah dan alamat?”

Orang pembawa lentera tersebut tiada lain adalah Friedrich Wilhelm Nietzshe (1844 – 1900). Ia seorang filosof dan teolog yang memaklumkan kematian Tuhan.

Masih cerita seputar Tuhan, Thomas L. Friedman seorang jurnalis dan kolumnis berkebangsaan Amerika, pernah mendapatkan pertanyaan dari seorang pemuda tentang eksistensi Tuhan. Dalam acara peluncuran buku “The Lexus and The Oliver Tree” di Portland Theater, Portland, Oregon, USA, seorang pemuda bertanya kepada sang Penulis seputar isi buku yang salah satu bahasannya tentang cyberspace.

Dari sekian pertanyaan yang diajukan sang pemuda, ada pertanyaan yang mengutik perasaan sang Penulis, “Menurut Anda, adakah Tuhan di dunia cyberspace?” (Thomas L. Friedman , Thank You for Being Late, 2016 : 336).

Mendengar pertanyaan tersebut, ia nampak kebingungan. Ia menangguhkan jawabannya. Pertanyaan sang Pemuda tersebut selalu bersarang di benaknya. Kemana pun pergi ia selalu mengingatnya. Untuk menjawab pertanyaan sang pemuda tersebut, ia mendatangi para ahli agama.

Kepada seorang ahli agama, ia mengajukan pertanyaan yang sama seperti yang diajukan sang pemuda. Ia berharap mendapatkan jawaban jitu dari sang ahli agama.

“Tuhan di dunia cyberspace? Rasanya tak ada. Tuhan itu hanya ada di jalan ketika seseorang terjebak kemacetan. Ia berkata, ‘Ya Tuhan! Kok jalannya macet, padahal aku sedang tergesa-gesa.’ Atau Tuhan itu hanya ada di handphone seseorang ketika kehabisan kuota, pulsa, atau tiba-tiba baterainya habis, sementara ia sedang sangat membutuhkannya. ‘Ya Tuhan! Kok kuotanya habis, HP-nya mati. Bagaimana ini? Aku sedang menghadapi masalah yang sangat penting, Tuhan!’ ” Demikian kata sang ahli agama dengan penuh gurau.

Seorang ahli agama lainnya ikut menanggapi pertanyaan Thomas. “Tergantung. Tuhan mana yang Anda maksud. Jika Tuhan yang Anda maksud hanya Tuhan yang diucapkan secara kata-kata, hiasan bibir, Tuhan itu Mahakuasa, Maha Melihat, Maha Mengawasi, dan lain sebagainya, namun keyakinan kepada-Nya tidak tembus ke dalam hati, maka Tuhan sering dianggap “tidak ada” di dunia cyberspace alias dunia maya. Buktinya orang-orang berani menghujat, menghina, menipu, dan melakukan perbuatan apa saja di dunia cyberspace, tanpa merasa lagi bahwa perbuatannya disaksikan dan dicatat Tuhan yang pernah ia ucapkan Mahakuasa dan Maha Melihat, dan Maha Mengawasi. “

Kemudian ahli agama tersebut melanjutkan tanggapannya. “Sebaliknya, Tuhan itu akan tetap ada di dunia cyberspace bagi mereka yang keyakinan terhadap-Nya bukan hanya hiasan bibir belaka, tapi tembus ke dalam hati. Ia selalu merasa diawasi dan merasakan kehadiran-Nya. Ia tak pernah meninggalkan dirinya dalam kondisi apapun.”

Tuhan, Allah bagi umat Islam itu Mahakekal, mustahil mengalami kematian seperti yang dituduhkan Friedrich Wilhelm Nietzshe. Tentu saja kita sangat menolak atas asumsi yang diajukan sang filsosof tersebut. Namun demikian, disadari atau tidak, kita sering “membunuh” eksistensi Tuhan beserta sifat “ke-Maha-an” yang melekat pada Dzat-Nya.

Perilaku kita sering seperti jawaban ahli agama yang membantu menjawab pertanyaan yang diajukan kepada Thomas L. Friedman. Allah hanya ada ketika kita ditimpa musibah, Ia hanya dipanggil ketika kita mendapatkan duka dan nestapa. Ia pun hanya ada di atas sajadah atau di masjid-masjid. Keberadaan-Nya terasa dekat hanya selama bulan Ramadan saja.

Bagi kita, umat Islam, dua kalimah syahadat dan kalimah thayyibah, “laa ilaaha illallah” merupakan ikrar pengakuan akan adanya Allah. Tak ada Tuhan selain Allah yang secara konsepsi, lisan kita sering memanggil namanya dalam setiap kondisi apapun yang kita hadapi.

Demikian pula secara persepsi, kita telah meyakini akan keberadaan-Nya. Persepsi kita sering mengatakan, Tuhan itu Mahaadil, Mahakuasa, Maha Melihat, Maha Pemberi Rizki, Yang Mengatur kehidupan, dan lain sebagainya.

Idealnya, keyakinan kita kepada Allah secara persepsi dan konsepsi melahirkan keyakinan kita kepada Allah secara empirik. Sederhananya, kita harus membuktikan dan mengimplementasikan keyakinan kita kepada-Nya dalam kehidupan nyata. Kita harus selalu merasakan kehadiran-Nya. Ia Maha Melihat, sangat dekat dengan kita, malahan Ia lebih dekat kepada kita daripada urat leher (Q. S. Qaf : 16).

Sayangnya, kita sering tak merasakan kehadiran-Nya. Kita sering “menghapus-Nya” dari segala aktivitas kehidupan. Allah hanya kita hadirkan di atas sajadah, di masjid, dan pada bulan Ramadan. Sementara dalam aktivitas di luar sajadah, di luar masjid, dan di luar bulan Ramadan, Allah dianggap tidak ada, tak melihat, tak mendengar, dan tak mengawasi.

Di dunia cyberspace alias dunia maya kita berbicara seenaknya tanpa lagi merasa berdosa dan diawasi-Nya. Di dunia nyata, kita asyik bergosip, mem-bully, korupsi, dan lain sebagainya tanpa lagi merasakan kehadiran dan pengawasan-Nya.

Kita merasa aman berbuat maksiat di dunia maya, karena akun kita memakai password, tak akan ada orang yang bisa membukanya. Di dunia nyata kita merasa aman melakukan kemaksiatan dan kejahatan, karena kita melakukannya di tempat yang dianggap aman, tertutup, dan tak ada orang yang melihat kita.

Kita menganggap sifat Allah yang Maha Mengawasi dan Maha Melihat seolah-olah bisa dibatasi dengan password atau dibatasi dengan tempat yang tertutup super ketat. Padahal kemanapun kita pergi, Allah selalu mengawasi. Jangankan perbuatan yang ditampakkan, bisikan hati kitapun diketahui-Nya. Kita patut malu dengan perilaku kita yang sering “menipu dan membohongi” Allah.

Karen Amstrong, mantan biarawati, penulis buku, “A History of God, The 4000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam” mengatakan, “Salah satu sebab agama tampak tidak relevan pada masa sekarang ini adalah karena kebanyakan di antara kita tidak lagi memiliki rasa bahwa kita dikelilingi, dan diawasi Yang Maha Ghaib.”

Dalam ajaran Islam, merasakan kehadiran Allah, merasakan diawasi Allah dalam setiap lini kehidupan disebut ihsan. Ahli filsafat Ketuhanan menyebutnya sebagai keyakinan kepada Tuhan secara empirik.

Tingkat keimanan tertinggi seseorang adalah manakala ia sudah merasakan kehadiran dan pengawasan-Nya dalam setiap aktivitas kehidupan. Merasakan Allah itu empiris, nyata dan ada dalam setiap aktivitas kehidupan.

Seseorang yang akan bahagia, tenang dalam menghadapi berbagai problema kehidupan adalah mereka yang selalu hati-hati dan merasakan kehadiran Allah dalam setiap lini kehidupan. Ia selalu menjaga hati, pikiran, dan tindakannya agar tidak menjadi catatan buruk di hadapan-Nya.

Sebaliknya, seseorang akan celaka manakala ia telah mengalpakan kehadiran Allah dalam kehidupannya. Apalagi jika hanya menjadikan Allah laksana “pemadam kebakaran” yang hanya disapa dan dipanggil ketika terjadi musibah. Kita hanya memanggil Allah ketika dilanda mala dan derita. Setelah mala dan derita sirna, kita kembali menjadikan-Nya alpa dari kehidupan.

“Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia kembali (ke jalan yang sesat) seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang yang melampaui batas apa yang mereka kerjakan” (Q. S. Yunus : 12).

Ade Sudaryat, Penulis Lepas Bidang Agama, Pendidikan, Sosial dan Budaya. Tinggal di Kampung Pasar Tengah Cisurupan Garut.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image