Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image rahmatia rahel

Pandemi Kenalkan Banyak Diksi Baru

Sastra | Thursday, 28 Oct 2021, 20:12 WIB

Belakangan ini saya menemukan fenomena baru selama berkirim pesan dengan kerabat melalui sosial media. “Rahma, salindia untuk seminar sudah selesai?” ujar seorang teman yang menanyakan progres saya dalam mempersiapkan seminar proposal skripsi. Kisah lain, seorang teman menelfon saya untuk bertanya “Rahma, bahasa Indonesia bullying itu merisak ya? Saya baru saja mencoba nonton drama korea dan menemukan kosakata aneh” tentu, saya senang ia mendapatkan diksi baru dari hasil waktu luangnya untuk menonton serial drama. Saya akhirnya menganjurkan beberapa rekan untuk memiliki aplikasi KBBI V di ponsel mereka, dengan begitu mereka tidak perlu lagi menelfon saya untuk menanyakan arti dari diksi baru yang mereka temui.

Di suatu minggu, saya dan beberapa teman pergi bersama ke suatu tempat. Menjelang makan siang, seorang teman mengatakan “Nanti kita beli makannya di KFC melalui lantatur saja ya?”, sontak beberapa teman lainnya kebingungan. Sebagai mahasiswa sastra Indonesia, saya secara moral menanggung kebingungan tersebut dengan menjelaskan bahwa lantatur adalah layanan tanpa turun, kita bisa menggunakannya untuk menggantikan kata drive thru. Saya tak menyangka bahwa mereka merasa keren dengan adanya kata lantatur. Saya optimis mereka mulai menyukai padanan kata bahasa Indonesia yang baru saja mereka ketahui.

Kisah lainnya datang dari teman lainnya yang mulai aktif mendengarkan sesuatu yang bermanfaat lewat sosial media. Suatu hari ia mengirim saya pesan “Rahma, sudah mendengar siniar dari kanal Youtube satupersen?“ Wah, saya menjawab dengan antusias. Bukan karena saya juga sudah mendengarkan, tapi karena teman saya sudah mengganti kata podcast dengan siniar. Sebuah kemajuan berbahasa yang sangat saya apresiasi.

Kepuasan saya semakin bertambah saat para ibu-ibu tetangga bercengkrama di depan rumah. Saya mendengar mereka nyaris tidak lagi menggunakan kata online untuk segala kegiatan yang terjadi akibat pandemi. “Iya, Bu, anak saya juga sudah mulai kangen sekolah normal. Katanya sekolah daring mulai membosankan”, “Sekarang antre BPJS bisa secara daring, lho, Bu. Sini saya bantu unduh aplikasinya”. Tak hanya kata daring, kata unduh menggantikan download, unggah menggantikan upload, hingga pembatasan sosial menggantikan sosial distancing, sudah mulai biasa dipakai kerabat-kerabat saya, bahkan di kalangan ibu-ibu.

Fenomena ini merupakan sebuah kebanggaan dan patut disyukuri. Begitu banyak pelajaran dan ujian yang lahir sebagai dampak pandemi ini. Namun, luka tak hanya melahirkan sakit, ia juga datang dengan kekuatan yang sebelumnya tidak nampak. Begitulah kiranya fenomena bahasa ini dapat terjadi. Adanya pandemi memaksa masyarakat untuk melakukan kegiatan yang sebelumnya tidak mereka lakukan. Kebiasaan itu dimanfaatkan banyak pegiat bahasa untuk mengampanyekan padanan kata dari istilah-istilah asing yang biasa dipakai masyarakat, dengan bahasa milik kita, bahasa Indonesia.

Pandemi telah memaksa masyarakat menggunakan banyak kata yang sering mereka dengar. Mulai dari kata daring yang dipakai di hampir segala kegiatan, mulai dari sekolah, layanan, imbauan, hingga di pidato-pidato resmi. Kata salindia mulai dipakai banyak dosen untuk memberikan tugas kepada mahasiswanya. Waktu luang yang banyak dimiliki remaja memberikan pilihan bagi mereka untuk produktif, entah untuk mendengarkan siniar, atau menonton film dengan terjemahan yang mengantar mereka kepada diksi-diksi baru.

Di semester ini, saya berkesempatan untuk mengikuti mata kuliah kampus merdeka. Pilihan saya jatuh tidak terlalu jauh, cukup di fakultas sebelah di bawah naungan Universitas yang sama, yaitu mata kuliah penulisan opini Fakultas Ilmu Komunikasi jurusan Jurnalistik Unpad. Saya mendapatkan banyak sekali artikel-artikel opini dari dosen pengampu mata kuliah, dan yang paling saya soroti adalah artikel opini mengenai bahasa.

Sebuah artikel opini yang ditulis S. Sahala Tua Saragih (2018) yang dimuat di salah satu koran dengan judul Bahasa, Mengindonesiakan Indonesia dimuat pada 30 Oktober 2018, telah banyak menginspirasi saya dalam menuliskan artikel ini. Dalam artikelnya, Sahala yang merupakan dosen prodi jurnalistik Unpad menuliskan artikel bahasa dalam rangka menyambut Kongres Bahasa Indonesia XI yang dilaksanakan tanggal 28-31 Oktober 2018.

Sahala dalam artikelnya mengangkat isu tentang penggunaan bahasa asing di berbagai tempat umum di Indonesia. Hal ini tentu saja mengakibatkan rakyat Indonesia mulai terbiasa dengan kata asing tersebut, dan tidak mengetahui bahwa terdapat padanan kata dalam bahasa Indonesia yang dapat mereka pakai untuk menggantikan kata-kata asing tersebut.

Kata seperti IN dan OUT di berbagai pintu tempat umum, penggunakan kata toilet yang lebih marak digunakan oleh masyarakat Indonesia dibanding kata kakus, hingga terkenalnya sebutan untuk Food Court alih-alih Pujasera (Pusat Jajanan Serba Ada). Sahala menuliskan gejala tersebut sebagai tantangan untuk Kongres Bahasa Indonesia yang diadakan pemerintah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sekali dalam lima tahun.

Mengacu kepada artikel yang ditulis Sahala, saya kemudian menuliskan artikel ini sebagai kemajuan yang patut diapresiasi karena mulai maraknya penggunaan bahasa Indonesia yang menggantikan diksi-diksi asing. Tapi tentu, harapan yang ditulis Sahala pada 2018 silam belum sepenuhnya terwujud, dan menjadi harapan juga bagi saya, dan harusnya bagi kita semua juga. Pengurangan penggunaan istilah asing sudah sepantasnya dikampanyekan, khususnya di tempat-tempat umum yang mudah dihapal dan dipraktikan oleh masyarakat Indonesia.

Artikel yang saya tulis merupakan optimisme yang lahir dari gejala meningkatnya pengenalan diksi baru selama pandemi, yang kemudian membuat saya semakin serakah untuk terus mendukung pemerintah, para pengusaha, hingga pengelola tempat umum lainnya untuk mengganti diksi-diksi asing yang masih menghiasi lokasi umum dengan diksi Indonesia.

Adanya bukti-bukti nyata yang melahirkan optimisme bahwa kita mampu mengampanyekan bahasa Indonesia untuk menggeser penggunaan istilah asing yang sudah menjamur ini, tentu harus terus digencarkan, estafet diksi demi diksi kepada kerabat, hingga sampai pada pemilik wewenang yang dapat mengganti dan meluaskan diksi Indonesia.***Rahmatia Ishlah Aprilia (Mahasiswa akhir sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image