Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aprilia Restuning Tunggal

Kewarganegaraan di Negara Arab Teluk: Kewarganegaraan yang diperebutkan

Politik | Friday, 29 Oct 2021, 09:31 WIB

Oleh:

Aprilia Restuning Tunggal

Mahasiswa S3 Konsentrasi Kajian Timur Tengah (KTT)

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Beberapa bulan yang lalu tepatnya di bulan Februari 2021 salah satu negara arab kaya minyak di kawasan teluk, yakni Uni Emirat Arab (UEA) telah mengumumkan akan memberikan kewarganegaraan kepada penduduk asing untuk pertama kalinya. Melihat dalam perjalanan sejarahnya pemberian status kewarganegaraan di negara-negara teluk Arab seperti UEA, Qatar, Oman, Bahrain, Arab Saudi dan Kuwait yang terkenal sangat sulit dan sangat ketat, menjadikan dinamika isu kewarganegaraan di negara teluk telah menghadirkan peristiwa yang menarik untuk diamati dan dikaji. Setidaknya terdapat proses kontestasi antara negara-negara di kawasan tersebut dalam mendapatkan status kewarganegaraan rakyatknya. Disisi lain peraturan perundang-undangan negara-negara setempat untuk melindungi warga negaranya dalam status kewarganegaraan juga menjadi hal yang fundamental. Memasuki era Nation State atau negara bangsa di era modern saat ini, kewarganegaraan menjadi sesuatu hal yang sangat subtansial bagi sebuah negara, sebab kewarganegaraan menyediakan dasar bagi hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah. Selain itu kewarganegaraan dipahami sebagai konsep yang universal dan menjadi bagian dalam pembentukan negara, sejarah serta tradisi budaya.

Sejak 50 tahun terakhir, para penguasa di enam negara Arab teluk secara aktif terlibat dalam proses pembangunan negaranya. Para Raja di Kawasan teluk juga memprioritaskan pengukiran identitas berbasis bangsa yang berbeda bagi penduduk teluk Persia, sebelum berdirinya negara bangsa. Kemudian memelihara hubungan dekat satu sama lain berdasarkan pertalian bahasa, agama, kekerabatan dan kesukuan diantara mereka. Mengingat bahwa penduduk di kawasan teluk tersebut berasal dari penduduk yang nomaden, dimana mereka lebih terbiasa bergerak melewati perbatasan. Sejak awal para elit penguasa di teluk mempertimbangkan pemisahan populasi di sepanjang perbatasan nasional yang baru didirikan. Batas territorial merupakan komponen penting dalam membangun kenegaraan. Untuk menjadi negara yang memiliki legitimasi, sangat penting tidak hanya menggambarkan dan mengontrol wilayah sebuah negara, tetapi juga penting untuk menentukan secara meyakinkan siapa yang berhak menjadi penduduk permanen dan berdomisili di setiap negara bagian.

Menurut Zahra Babar, terdapat kontruksi hukum, politik dan ekonomi dari kewaragenagaraan teluk yang bersifat ekslusif yang selama ini banyak tidak diketahui oleh orang-orang mengenai hak kewaragenagaraan disana. Dalam pandangan kaum elit di negara teluk, bagi warga negara yang diberikan hak kewarganegaraan dirancang untuk memastikan bahwa warga negara berhutang kesetiaan kepada rezim dan bangsa mereka. Kemudian yang tidak kalah pentingnya juga adalah prinsip-prinsip dasar dari kewarganegaraan yang memberikan kriteria ketat tentang siapa yang layak memperoleh/mendapatkan atau tidak dapat diberikan status kewarganegaraan. Akan tetapi semenjak terjadinya pemberontakan di negara-negara Arab pada tahun 2011, telah memberikan pengaruh terhadap terjadinya perubahan Undang-undang kewarganegaraan di Kawasan teluk. Terdapat suatu anggapan di negara arab teluk terkait pemberian kewarganegaraan, bahwa kewarganegaraan diberikan melalui seorang Pemimpin/Raja yang diberikan kepada orang yang dianggap telah memenuhi syarat. Kewarganegaraan adalah hak istimewa yang dapat dicabut ketika kondisi politik tertentu dilanggar atau dijatuhkan ketika kondisi politik tertentu mengharuskannya.

Undang-undang kewarganegaraan di negara teluk telah menetapkan kriteria yang ketat untuk menentukan siapa yang dapat benar-benar dianggap mendapatkan hak kewarganegaraannya. Di negara teluk, kewarganegaraan sebagian besar diturunkan melalui orang tua laki-laki serta garis keturunan sesepuhnya yang terkait. Dan bagi warga negara perempuan di negara teluk tidak dapat memberikan kewarganegaraan kepada keturunannya/anak-anaknya jika mereka menikah dengan orang asing. Tujuan dari pemberian kewarganegaraan yang sangat ketat ini adalah untuk menyaring mereka yang dianggap tidak termasuk kriteria lipatan nasional. Memang pada faktanya, dalam beberapa tahun negara teluk telah memperkenalkan klausul naturalisasi, tetapi kriteria yang sangat ketat harus benar-benar dipenuhi. Hal ini berarti bahwa akan sangat sedikit dari jutaan orang asing (ekspatriat) yang tinggal di negara teluk dapat memperoleh kewarganegaraan melalui proses naturalisasi.

Pada kasus kewarganegaraan yang terjadi di negara teluk ini, lebih diasumsikan sebagai hak-hak sosial dan ekonomi menjadi ciri dominan dalam pembingkaian kewarganegaraan. Hal ini memiliki perbedaan dengan konsep kewarganegaraan dalam sebuah pemerintahan demokrasi liberal. Para penguasa di negara teluk sejak awal sadar akan ketergantungan mereka satu sama lain dan kebutuhan untuk memastikan hubungan yang bersahabat dan kooperatif dengan negara tetangga demi keamanan dan kelangsungan hidup jangka panjang. Jadi sebenarnya negara-negara teluk juga saling menjaga dalam mendapatkan kewarganegarannya mereka masing-masing. Mereka hidup bertetangga dan menjaga hubungan yang baik untuk kehidupan yang lebih lama. Fenomena perebutan kewarganegaraan pernah terjadi pada tahun 1960 an ketika Dubai, Sharjah dan Abu Dhabi sedang menentukan masalah penduduknya, siapa yang berhak memegang paspor Emirat sebagai sumber perselisihan diantara para elit penguasa. Mereka saling memperebutkan status penduduk yang akan diberikan kewarganegaraan termasuk penduduk yang berasal dari Persia. Perebutan warga negara juga terjadi di Kuwait, masalahnya terletak pada pemberian kewarganegaraan kepada Bidoon yang tidak memiliki kewarganegaraan tetap, yang tidak terselesaikan selama 30 tahun terakhir, hal ini disebabkan karena persaingan politik internal dan perpecahan sosial antara berbagai segmen masyarakat Kuwait.

Warga Bidoon melakukan aksi protes menuntut kepada Pemerintah Kuwait terhadap status kewarganegaraan mereka.

Seiring dengan berjalannya waktu, telah terjadi beberapa perbedaan diantara enam negara arab teluk dalam hal pemberian status kewarganegaraan kepada keturunan warga negara perempuan. Qatar dan Kuwait memiliki kebijikan undang-undang yang ketat dalam hal ini. Mereka tidak mengizinkan warga negara perempuannya yang menikah dengan orang asing untuk memberikan hak kewarganegarannya kepada anak-anak mereka. Jadi bagi perempuan-perempuan negara Qatar dan Kuwait mereka tidak diberikan kebebasan untuk menikah dengan orang asing. Karena ini akan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap status anak mereka yang tidak mendapatkan hak kewarganegaraan. Kedua negara hanya memberikan status kewarganegaraan terhadap anak-anak mereka melalui garis keturunan Ayahnya. Sedangkan seperti Arab Saudi, Oman dan UEA dan Bahrain, mereka telah mengadopsi perubahan undang-undang kewargangeraan untuk memperluas hak-hak bagi perempuan dalam hal mewariskan kewarganegaraan. Di negara Bahrain dan Oman warga negara perempuan dapat memberikan kewarganegarannya kepada anak-anak mereka jika ayah mereka bukan dari warga negara yang sama seperti Ibunya. Bahrain dan Arab Saudi sama-sama sedang mempertimbangkan rancangan UU yang akan mengizinkan bagi perempuan Bahrain dan Saudi untuk memberikan kewarganegaraannya kepada anaknya. Sedangkan UAE telah mengamandemen Undang-undangnya pada Desember 2011 untuk memperluas hak kewarganegaraan bagi anak-anak perempuan Emirat. Adanya perubahan dalam Undang-undang tersebut telah menunjukkan kepedulian terhadap loyalitas dan kesetiaan kepada individu. Meski demikian, kasus pencabutan kewarganegaraan juga bisa terjadi kapan saja di negara tersebut.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image