Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Heri Heryana

Era Baru Pengelolaan Keuangan Haji Melalui Pembentukan BPKH

Lomba | Sunday, 07 Nov 2021, 08:52 WIB

Dari tahun ke tahun pendaftaran haji di Indonesia terus mengalami peningkatan. Padahal, animo masyarakat Indonesia yang tinggi untuk menunaikan ibadah rukun Islam yang ke-5 ini tidak sebanding dengan quota haji yang diberikan pemerintah Arab Saudi setiap tahunnya. Kondisi ini menyebabkan munculnya antrian daftar tunggu (waiting list) jemaah haji yang akan berangkat ke tanah suci. Setidaknya, daftar tunggu jemaah haji Indonesia sampai dengan tahun 2022 diperkirakan mencapai 5,24 juta orang.

Peningkatan jumlah jemaah haji tunggu ini menyebabkan terjadinya penumpukkan akumulasi dana haji. Akumulasi dana haji tersebut memiliki potensi untuk ditingkatkan nilai manfaatnya untuk mendukung penyelenggaraan ibadah haji yang berkualitas melalui pengelolaan keuangan haji yang efektif, akuntabel, efisien, dan transparan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Sumber: republika.co.id

Kenapa penyelenggaraan haji perlu ditingkatkan kualitasnya? Ibadah haji merupakan ibadah massal dimana jutaan manusia melaksanakan ritual haji berkumpul dalam waktu yang bersamaan dari seluruh penjuru dunia. Karena itu, syarat menjadi jemaah haji tidak hanya mampu secara materi, tapi juga secara fisik dan mental (istitha’ah). Berkumpulnya jutaan manusia dalam satu waktu ini tentunya memiliki potensi masalah yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Pengaturan penyelenggaraan ibadah haji dari mulai keberangkatan, transportasi, catering, sampai kepulangan kembali jemaah haji ke tanah air dengan selamat hampir selalu menjadi sorotan nasional masyarakat dalam menilai sukses tidaknya pengelolaan ibadah haji. Tidak adanya musibah yang menimpa jemaah dan mereka bisa pulang dengan selamat ke tanah air menjadi bagian yang paling disorot dalam penyelenggaraan ibadah haji oleh pemerintah baik di mata masyarakat maupun di mata negara lain.

Namun, dibalik terciptanya penyelenggaraan ibadah haji yang sukses dan berkualitas mungkin belum banyak masyarakat mengetahui bahwa salah satunya dipengaruhi oleh pengelolaan keuangan haji yang baik dan mumpuni. Sebelum Undang-Undang No 34 Tahun 2014 hadir, pengelolaan keuangan haji dikelola oleh Ditjen Penyelenggara Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama dengan alokasi di tiga instrument investasi yaitu Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN), Surat Utang Negara (SUN), dan Deposito. Sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Kementerian Agama juga mengelola Dana Abadi Umat (DAU) melalui Badan Pengelola Dana Abadi Umat (BP DAU). DAU merupakan dana yang diperoleh dari hasil efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji dan dari sumber lain.

BP DAU diketuai oleh Menteri Agama dan terdiri dari Dewan Pelaksana dan Dewan Pengawas yang keanggotaannya ditetapkan oleh Presiden atas usulan Menteri. BP DAU memiliki tugas merencanakan, mengorganisasikan, mengelola dana, dan memanfaatkan dana abadi umat. Dalam melaksanakan tugasnya, BP DAU wajib menyampaikan laporan setiap tahun kepada Presiden dan DPR.

Kemudian, terbit Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagai penyempurnaan atas Undang-Undang No 17 Tahun 1999. Dalam Undang-Undang ini, pengelolaan keuangan haji tidak jauh berbeda hanya saja dengan penjabaran dan cakupan tugas yang lebih luas namun sebetulnya memiliki substansi kedudukan, tugas dan fungsi yang hampir sama.

Dalam perjalanannya, regulasi penyelenggaraan ibadah haji termasuk pengelolaan keuangan haji di dalamnya ternyata memiliki sejumlah kelemahan. Salah satunya yaitu terpusatnya otoritas penyelenggaraan haji di tangan Menteri Agama. Kementerian Agama sebagai perpanjangan tangan pemerintah tidak hanya berperan sebagai regulator tapi juga sebagai operator. Dalam konteks tata kelola pemerintahan yang baik (good corporate governance) situasi tersebut menutup ruang check and balance dimana potensi penyimpangan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) menjadi terbuka lebar karena berbagai kepentingan bermuara pada satu otoritas yaitu Menteri Agama.

Dengan cakupan tugas dan fungsi Kementerian Agama dalam penyelenggaraan ibadah haji yang terlalu luas, maka pengelolaan keuangan haji termasuk BP DAU tidak mampu berjalan optimal. Padahal dana haji terus berakumulasi setiap tahun dan jumlahnya terus meningkat seiring panjangnya daftar tunggu jemaah yang ingin berangkat ke tanah suci. Sampai dengan bulan Juni tahun 2021 dana haji di Indonesia diperkirakan mencapai 152 triliun rupiah. Peningkatan atau optimalisasi nilai manfaat dana haji belum berbanding lurus dengan peningkatan penyelenggaraan ibadah haji yang berkualitas. Nyatanya, penyelenggaraan ibadah haji di era sekarang ini bukan hanya tentang jemaah berangkat dan pulang haji dengan selamat di embarkasi masing-masing. Lebih dari itu, kualitas penyelenggaraan haji juga ditentukan dengan baik tidaknya penyelenggaraan, pembinaan, serta pelayanan pemerintah kepada jemaah haji.

BPKH Lahir

Terbitnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Haji menandai dimulainya era baru pengelolaan keuangan haji di Indonesia. Menurut Undang-Undang ini pengelolaan keuangan haji tidak lagi dikelola oleh Kementerian Agama termasuk BP DAU, tapi oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Sebuah badan hukum publik mandiri yang mengelola keuangan haji secara korporatif dan nirlaba dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui Menteri. Organ BPKH terdiri dari Badan Pelaksana dan Dewan Pengawas yang seluruhnya berasal dari unsur profesional.

Dengan ditandatanganinya Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Haji oleh Presiden Jokowi Widodo, BPKH resmi mengambil alih dana haji dari Kementerian Agama (detik.com, 2018). Dengan demikian, Kementerian Agama lebih fokus dalam penyelenggaraan, pembinaan, dan pelayanan ibadah haji sebagai tugas nasional pemerintah.

Resmi berdiri 26 Juni 2017 BPKH bertugas mengelola keuangan haji yang meliputi penerimaan, pengembangan, pengeluaran, dan pertanggungjawaban keuangan haji. BPKH memiliki kewenangan menempatkan dan menginvestasikan keuangan haji sesuai prinsip syariah, kehatian-hatian, keamanan, nilai manfaat, dan likuiditas. BPKH juga berwenang dalam menjalin kerja sama dengan lembaga lain. Keuangan haji ini meliputi dana setoran biaya penyelenggaraan ibadah haji, dana efisiensi penyelenggaraan haji, dana abadi umat, serta nilai manfaat yang dikuasai oleh negara dalam rangka penyelenggaraan ibadah haji dan pelaksanaan program kegiatan untuk kemaslahatan umat Islam.

Pembentukan BPKH sebagai badan publik pengelola keuangan haji mengukuhkan kehadiran pemerintah dalam tata kelola keuangan haji yang lebih transparan dan akuntabel untuk kepentingan jemaah haji khususnya dan kepentingan umat Islam pada umumnya. Di era baru pengelolaan keuangan haji oleh BPKH saat ini setidaknya ada beberapa catatan menarik yang perlu kita apresiasi. Pertama, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014, BPKH wajib menempatkan atau mengelola keuangan haji pada bank umum syariah atau unit usaha syariah. Menurut pengamat ekonomi syariah IPB, Irfan Syauqi Beik sebagaimana dikutip republika.co.id (2017) Undang-Undang ini boleh dikatakan sangat revolusioner karena keberpihakannya terhadap ekonomi dan keuangan syariah. Dulu sebagian dana haji ditempatkan di instrumen berbasis bunga seperti deposito di bank konvensional. Tapi, dengan Undang-Undang ini BPKH ‘’haram’’ menempatkan dana milik jemaah haji pada instrumen konvensional.

Kedua, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya BPKH wajib memberikan informasi kepada jemaah haji mengenai nilai manfaat BPIH dan/atau BPIH Khusus melalui rekening virtual (virtual account) setiap jemaah haji. Rekening virtual atau rekening maya adalah rekening bayangan yang terhubung dengan rekening induk. Rekening ini memiliki nomor identifikasi BPKH yang dibuka oleh bank atas permintaan BPKH untuk selanjutnya diberikan oleh BPKH kepada jemaah haji sebagai nomor rekening tujuan penerimaan nilai manfaat.

Ketiga, BPKH mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) 3 tahun berturut-turut yaitu tahun 2018, 2019, dan 2020 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berdasarkan laporan keuangan BPKH dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Opini WTP merupakan bukti penting dikelolanya keuangan haji secara hati-hati, transparan, dan akuntabel. Raihan ini juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap BPKH bahwa pengelolaan keuangan haji dikelola secara profesional dan prudent.

Dengan kewenangannya yang lebih luas dari pengelola sebelumnya, BPKH diharapkan mampu menjawab kritik pihak-pihak tertentu, bahwa era baru pengelolaan keuangan haji nyata adanya. Seperti kita ketahui bersama kritik atas optimalisasi pengelolaan dana haji berdatangan dari masyarakat luas termasuk Kementerian Agama sendiri.

Sebagai lembaga yang masih berusia sangat muda, BPKH memiliki tantangan besar dalam upaya mengoptimalkan pengelolaan keuangan haji yang terus meningkat. Di tahun 2035 pertumbuhan dana haji Indonesia diperkirakan bisa mencapai 400 triliun rupiah dan dipercaya bisa menyamai negara tetangga Malaysia (ekonomi.bisnis.com, 2019).

Meski demikian, berbeda dengan Malaysia yang mengelola dana haji pada skala medium risk dan high risk, pengelolaan dana haji di Indonesia tetap harus menerapkan prinsip kehati-hatian dimana investasi harus terukur, jelas, dan tidak menyalahi aturan syariah.***

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image