Senin 08 Nov 2021 12:53 WIB

Fadil Effect dan Masa Depan Muslim Moderat di Jakarta

Fadil effect telah membuat suasana sosial keagamaan di DKI Jakarta

Kapolda Metro Jaya, Irjen M Fadil Imran.
Foto: Dok Humas Polri
Kapolda Metro Jaya, Irjen M Fadil Imran.

Oleh : KH Rakhmad Zailani Kiki (Ketua PW Asosiasi Pesantren NU/RMI-NU DKI Jakarta)

REPUBLIKA.CO.ID, Keberanian dan sikap tegas Kapolda Metro Jaya, Irjenpol. Dr. Drs. H Muhammad Fadil Imran, M.Si, dalam menertibkan dan melakukan tindakan hukum terhadap tokoh dan kelompok Islam yang intoleran dan melanggar hukum di Ibu Kota, di DKI Jakarta, menurut saya, telah  menjadi trigger, pemicu, dan memberi pengaruh yang besar (effect) bagi ormas-ormas Islam yang moderat, seperti Nahdlatul Ulama (NU)  di DKI Jakarta, untuk lebih berani, tidak ragu-ragu dan tegas melakukan tindakan penertiban serta “pembersihan” di internal organisasi.

Penertiban, “bersih-bersih pengurus” yang terindikasi terpapar paham keislaman yang intoleran dan anti moderasi serta kontra terhadap prinsip, arah dan cita-cita perjuangan NU dilakukan secara intensif. Paham keislaman yang moderat ala NU dengan konsep Islam Nusantaranya juga semakin gencar disampaikan, disosialisasikan di kalangan warga Nahdliyyin melalui MKNU (Madrasah Kader NU), dan lain-lain. 

Ini salah satu contoh saja yang terjadi di NU, yang saya saksikan dan menjadi bagian dari pelakunya langsung, belum lagi di ormas-ormas Islam yang lain yang memiliki paham Islam mdoerat seperti NU. Saya mengistilahkan fenomena ini dengan Fadil effect.

Fadil effect atau efek dari kebijakan dan seorang polisi berpangkat Irjenpol yang memiiki tanggung jawab terhadap keamanan dan penegakan hukum di Provinsi DKI Jakarta dan sekitarnya, yaitu Muhammad Fadil Imran, diakui atau tidak, menurut saya, telah memberikan kontribusi besar terhadap kejayaan paham dan gerakan kelompok Muslim moderat di Jakarta pada hari ini dan di masa depan dalam pertarungan ideologis dengan paham dan gerakan kelompok Muslim intoleran yang  merongrong dan mengancam keutuhan negara dan  bangsa.

Dari perjalanan sejarah Indonesia yang saya catat,  pertarungan ideologis yang head to head di tataran praksis antara kelompok Muslim moderat dengan kelompok Muslim intoleran pasca kemerdekaan sampai hari ini,  tidak pernah dimenangkan oleh kelompok Muslim moderat an sich tanpa keterlibatan negara atau pemerintah via milter dan atau kepolisian. 

Karena, watak dan karakter kelompok Muslim moderat yang menjaga adab, kesantunan dan mentaati aturan sehingga kalah garang, kalah agresif dengan kelompok Muslim intoleran. Pun pada saat ini, di era medsos, yang pertarungannya berpindah di di dunia maya, sepanjang yang saya amati, konten-konten dan diskursusnya masih lebih didominasi oleh kelompok Muslim intoleran yang provokatif, mengabaikan kesantunan, jauh dari adab dan melecehkan hukum. Di pertarungan ini, lagi-lagi, negara atau pemerintah juga hadir melalui serangkaian regulasi dan tindakan hukum  untuk “memback up” Muslim moderat agar dapat memenangkan pertarungan ideologis di dunia maya.

Karenanya, Fadil effect yang telah membuat suasana sosial keagamaan di DKI Jakarta belakangan ini dan saat ini meniadi sejuk, damai harus menjadi momentum bagi ormas-ormas Islam moderat, tanpa harus kehilangan jati dirinya sebagai civil society, untuk memperkuat hubungan dengan pemerintah dalam hal ini pihak kepolisian dalam menjayakan paham Islam moderat. Sebab ideologi intoleran atas nama agama, atas nama Islam, yang  merongrong dan mengancam keutuhan negara dan  bangsa tidak akan pernah mati hanya dengan tindakan hukum dan membubarkan ormasnya. Mereka hanya bisa menang jika negara atau pemerintah lemah, alat negara dan penegak hukumnya juga lemah serta tidak berpihak kepada kelompok Muslim moderat, Inilah momentum yang mereka tunggu. Na`udzu billaahi min dzaalik, jangan sampai terjadi.*

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement