Selasa 16 Nov 2021 05:00 WIB

Korban Kekerasan Seksual sebagai Riqab, Berhak Terima Zakat

Korban Kekerasan Seksual sebagai Riqab yang Berhak Terima Zakat

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Korban Kekerasan Seksual sebagai ‘Riqab’ yang Berhak Menerima Zakat - Suara Muhammadiyah
Korban Kekerasan Seksual sebagai ‘Riqab’ yang Berhak Menerima Zakat - Suara Muhammadiyah

JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Jika membahas soal zakat, maka pengalokasian dananya tak akan bisa lepas dari delapan asnaf atau orang-orang yang berhak menerima zakat. Oleh karena itu, semenjak diterbitkan beberapa waktu yang lalu, buku Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak ini terus dibedah dan didiskusikan hingga memasuki seri ke-12 pada Jum’at, (5/11) yang secara spesifik membahas ‘zakat untuk korban; perspektif pendampingan dan lintas iman’.

Diskusi kali ini dilakukan secara hybrid dengan narasumber yang pusparagam, mulai dari lintas keilmuan, lintas generasi hingga lintas agama. Pada diskusi ini PSIPP ITB-AD Jakarta dan Lazismu bekerja sama dengan Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kota Sungai Penuh Jambi. Secara hybrid, karena diskusi ini menjadi pembuka bagi Musyawarah Cabang IMM Kota Sungai Penuh, Jambi yang dihadir lebih dari 100an orang di Aula IMM.

Para pembicara, yaitu Indra Mustika (Kepala Kantor Lazismu Kota Sungai Penuh Jambi), Nevey V. Ariani (Direktur Posbakum ‘Aisyiyah), Budhis Utami (Wakil Direktur Institut KAPAL Perempuan), dan Saiful Anwar (Direktur Pascasarjana ITBAD Jakarta). Bertindak sebagai moderator, Veni Oktaviana (Sekum PC IMM Kota Sungai Penuh Jambi).

Dalam sambutannya, Yulianti Muthmainnah selaku Ketua PSIPP ITBAD Jakarta dan penulis buku, menjelaskan perbedaan pusat studi yang ia nahkodai dengan pusat studi gender atau pusat studi perempuan pada umumnya bahwasannya sekalipun PSIPP fokus pada isu Islam, perempuan dan (ekonomi) pembangunan, tetapi juga memastikan dan mendorong fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah berpihak pada perempuan.

 

“Bila fatwa Majelis Tarjih telah berpihak, pasti terus kita publikasikan dan terus kita kampanyekan. Misalnya, pada tahun 2019 kita fokus pada isu penghapusan perkawinan anak, bagian dari sosialisasi Fikih Perlindungan Anak tahun 2018 yang disahkan oleh Majelis Tarjih di mana usia pernikahan minimal 21 tahun dan fatwa Keluarga Sakinah, 2015. Lalu tahun 2020, kita fokus kepada isu penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak,” terangnya. Tujuannya mendorong supaya PP Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih memiliki fatwa perlindungan terhadap korban kekerasan, utamanya kekerasan seksual”

Lebih lanjut ia mengatakan “Kita membahas buku Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, ini juga bagian mendorong lembaga-lembaga keagamaan, lembaga-lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa, itu bisa membahas dan mengeluarkan fatwa supaya zakat bisa dialokasikan, bisa diberikan kepada korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.”

Sebagaimana yang kita ketahui, kasus kekerasan seksual kerap dan banyak menimpa perempuan. Maka dari itu, Ketum PC PC IMM Kota Sungai Penuh Jambi Yoni Risuan berharap diskusi ini setidaknya bisa menyadarkan jika bukan mampu pada tahapan mengurangi kasus-kasus kekerasan tersebut.

“Semoga dengan diskusi ini, kekerasan itu bisa berkurang, bisa dihindari, dan menemukan titik temu dari berbagai persoalan kekerasan,” ujarnya ketika menyampaikan kata sambutan.

Dengan nuansa nostalgia, Kepala Kantor Lazismu Kota Sungai Penuh Jambi Indra Mustika menyampaikan peran Nabi Muhammad pada masa silam yang telah memelopori dan memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Di sisi lain, ia menilai masih banyak orang yang belum berani mengangkat tema diskusi seperti ini. Padahal, di kota tempat ia tinggal saja terdapat kasus-kasus kekerasan yang tidak teradvokasi secara baik dan tentu hal yang sama juga berlaku di tempat lain.

“Kita juga tahu bahwa tidak banyak yang mengangkat tema yang seperti ini. Apakah kita ini belum berani. Bahkan, kita cenderung reaktif,” kritiknya. “Maka, bila LazisMu pusat sudah setuju adanya alokasi zakat bagi korban, maka kami di Jambi akan setuju dan menjalankannya”, lanjutnya.

Secara konseptual, seperti yang dipaparkan oleh Nevey V. Ariani bahwa zakat dan shalat merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Menurutnya, shalat menjadi sarana dan wujud hubungan antara manusia dengan Tuhan, sedangkan zakat lebih pada hubungan antarsesama manusia.

Korban kekerasan, kata Nevey, bisa menjadi penerima zakat karena termasuk dalam kategori riqab atau orang-orang yang teraniaya. Ia mengingatkan supaya tidak memaknai konsep riqab secara tekstual.

“Riqab ini dalam konteks sekarang tidak boleh lagi dipahami secara tekstual. Ini dalam bukunya Mbak Yuli juga menarik terkait hal tersebut. Yaitu, orang-orang yang tereksploitasi secara ekonomi. Korban eksploitasi seksual dapat dikategorikan sebagai riqab yang berhak menerima zakat,” ujarnya sembari mengafirmasi pendapat Yuli.

Secara lebih komparatif, Budhis Utami justru hendak menilik apakah gereja telah melakukan gerakan yang sama dalam membantu korban kekerasan sebagaimana yang dilakukan oleh PSIPP dan Lazismu dengan berbagai mitranya.

“Bagaimana buku ini menginspirasi saya untuk kembali melihat apakah gereja sudah melakukan seperti yang dilakukan oleh Lazismu ini dengan perjuangan banyak teman-teman di sini, termasuk perjuangan Kak Uli (sapaan akrab Budhis kepada Yuli, red),” bebernya.

Ia menilai buku Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak ini menjadi ruang dialog bagi perempuan lintas agama, lintas suku untuk bisa bekerja sama. Lebih lanjut, ia juga mengatakan buku ini tidak hanya berbicara perihal zakat untuk korban kekerasan belaka.

“Buku Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempaun dan Anak ini tidak semata-mata bicara tentang bagaimana memberikan zakat bagi korban kekerasan, tapi juga menunjukkan bahwa Islam membela korban.”

“Isu kemiskinan atau pemiskinan sangat kental di dalam buku ini. Jadi, sebagai orang yang sudah sekitar 15 tahun bekerja untuk isu-isu kekerasan, Kak Uli ini dengan sangat bagus dan sangat kuat menjelaskan bagaimana proses-proses pemiskinan terhadap korban kekerasan sehingga muncul sebenarnya bagiamana zakat itu diberikan juga kepada perempuan korban kekerasan,” imbuhnya.

Pandangan lainnya disampaikan oleh Saiful Anwar terkait kesejajaran antara laki-laki dan perempuan yang terinspirasi dari surat al-Hujurat ayat 13 dan juga tertuang dalam mukadimah buku ini.

“Walaupun di situ menggunakan jamak muzakkar, tidak menggunakan muannats, tapi ini bukan menjelaskan tentang superlative dalam segi bahasa, tapi menjelaskan generalisasi. Saya menganggap bahwa justru ayat ini membuka cakrawala manusia bahwa wanita bisa lebih tinggi dari pria ketika dia lebih takwa dibandingkan dengan pria,” jelasnya.

Saiful kemudian memberikan salah satu contoh wanita yang lebih tinggi daripada pria karena ketakwaannya, yakni Maryam, ibunda Nabi Isa.

Fungsi zakat, kata Saiful, dalam ekonomi syariah ada dua. Pertama, sebagai bentuk interaksi sosial antara pemberi dengan penerima zakat. Kedua, sebagai instrumen distribusi kekayaan.

“Dalam Al-Qur’an, itu sangat menentang terjadinya akumulasi kekayaan pada sebagain atau sekelompok orang tertentu.”

“Yang menarik adalah nanti kalau misalnya Bu Yulianti bisa menggunakan pendekatan wakaf untuk menyelesaikan permasalahan korban kekerasan, karena fungsi wakaf ini sangat strategis dan fleksibel untuk memberikan manfaat yang tinggi,” pungkasnya.

 

 

 

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement