Selasa 09 Nov 2021 20:52 WIB

Terpidana Teroris Kelahiran Australia Merasa Dipaksa Mengaku Bersalah

Terpidana Teroris Kelahiran Australia Merasa Dipaksa Mengaku Bersalah

Red:
Terpidana Teroris Kelahiran Australia Merasa Dipaksa Mengaku Bersalah
Terpidana Teroris Kelahiran Australia Merasa Dipaksa Mengaku Bersalah

Brenton Tarrant, pria kelahiran Australia, memberikan pengakuan jika ia dipaksa mengaku bersalah.

Brenton divonis dengan hukuman penjara seumur hidup karena membunuh 51 orang yang sedang beribadah salat Jumat di Christchurch, Selandia Baru.

Kini Brenton mengatakan sedang mempertimbangkan untuk mengajukan banding atas vonis yang dijatuhkan terhadapnya.

Laporan media setempat menyebutkan, kabar ini mengejutkan komunitas Muslim di Christchurch.

Seorang advokat mengatakan langkah yang diambil Brenton sengaja dirancang untuk menimbulkan "penderitaan lebih lanjut" bagi para korban dan keluarga mereka.

Pihak berwenang Selandia Baru segera mengadakan pemeriksaan koroner atas penembakan massal yang terjadi pada bulan Maret 2019.

Terpidana teroris Brenton baru-baru ini memakai pengacara hak asasi manusia Tony Ellis untuk mewakilinya.

Dalam pernyataan yang dikirim kepada pihak koroner Selandia Baru, Tony menyebut Brenton meyakini dirinya telah diperlakukan "tidak manusiawi dan merendahkan martabat" saat berada dalam tahanan.

Radio Selandia Baru dan Stuff melaporkan bahwa Tony ampaknya akan menyarankan kliennya untuk mengajukan banding.

Dia berdalih perlakuan buruk dalam tahanan akan menjadi pelanggaran terhadap hukum 'Bill of Rights' yang berlaku di Selandia Baru.

Pihak berwenang Selandia Baru belum menanggapi klaim tersebut.

Kemungkinan untuk banding

Pada 15 Maret 2019, Brenton melakukan serangan mematikan terhadap jamaah salat Jumat di masjid Al Noor Christchurch, sebelum pindah ke sebuah musala di daerah Linwood.

Korbannya semuanya orang Muslim, termasuk anak-anak, perempuan dan warga lanjut usia yang sedang shalat saat itu.

Brenton awalnya mengaku tak bersalah atas 51 dakwaan pembunuhan, 40 dakwaan percobaan pembunuhan, dan satu dakwaan melakukan tindakan terorisme.

Namun belakangan dia mengubah sikapnya dan mengaku bersalah dalam persidangan pada Maret 2020.

Selandia Baru tidak mengenal hukuman mati dan dalam sidang vonis pada Agustus 2020, Hakim Cameron Mander menetapkan Brenton dijatuhi hukuman paling maksimal untuk perbuatan "tidak manusiawi".

Brenton dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat.

Pakar hukum dari Universitas Teknologi Auckland, Profesor Dr Kris Gledhill menjelaskan Undang-Undang Hukum Acara Pidana Selandia Baru tahun 2011 "mengharuskan pengajuan banding terhadap vonis diajukan dalam waktu 20 hari dari saat dijatuhkannya vonis".

"Tapi pengadilan banding, dalam hal ini adalah Pengadilan Banding Selandia Baru, dapat memperpanjang batas waktu tersebut, sehingga harus ada permohonan untuk memperpanjang batas waktunya," jelasnya.

"Itulah cara yang biasa dalam mengajukan banding ketika ada tuduhan bahwa pendampingan hukum tidak memadai atau ada beberapa masalah lain yang terkait dengan bukti," tambah Profesor Gledhill.

Advokat komunitas Muslim di Christchurch, Guled Mire, mengatakan kepada ABC bahwa korespondensi yang terjadi dengan petugas koroner membuat korban dan keluarga mereka tidak diberitahu secara resmi tentang potensi banding dari Tarrant.

"Sangat menyedihkan mendengar berita seperti ini," ujarnya.

"Itu menjadi elemen lain dari teroris yang ingin bangkit dan menimbulkan kerusakan lebih lanjut," kata Guled.

"[Padahal] mereka ini masih terus berduka," kata Guled.

Pemeriksaan koroner penting untuk menjawab pertanyaan yang ada

Para korban dan keluarganya masih memiliki pertanyaan bagaimana serangan itu bisa terjadi dan harapan mereka akan jawaban kini bergantung pada pemeriksaan koroner.

Guled mengatakan penyelidikan koroner akan menjadi semacam langkah untuk menjawab pertanyaan pihak keluarga korban.

"Kami masih berduka. Kami masih berusaha memahami serangan teroris terburuk yang pernah terjadi di Selandia Baru. Tapi pemeriksaan ini sangat penting untuk menentukan bagaimana semua ini bisa terjadi," katanya.

"Ketika teroris itu membuat pengakuan bersalah ... meski mengejutkan banyak orang, para korban ingin mendengar alasan mengapa, apa yang mendorongnya. Semoga saja penyelidikan ini memberikan jawaban tersebut," jelasnya.

Ketika dihubungi oleh ABC, Pengadilan Koroner Selandia Baru mengkonfirmasi telah menerima korespondensi dari Tony, tetapi tidak akan merilis rinciannya.

Tony diharapkan bertemu dengan koroner bulan depan.

Pengadilan sedang mempersiapkan ruang lingkup pemeriksaan dan akan mengadakan sidang bulan depan untuk mendengar masukan.

Selandia Baru membentuk komisi khusus atas serangan terorisme tersebut, dengan salah satu rekomendasinya membentuk Undang-undang untuk mengkriminalisasi perencanaan atau persiapan serangan teroris, serta memperkuat Undang-undang tentang ujaran kebencian.

ABC/wires

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement