Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dr. Abu Fayadh Muhammad Faisal, M.Pd

KH.Abdul Hakam, Wafatnya Ulama hilangnya Ilmu & Kematian Alam Semesta

Info Terkini | Thursday, 11 Nov 2021, 09:45 WIB
Innalilahi wa innailaihi rojiun Cucunya Syaikh Hasyim Asy'ari Pendiri NU Wafat

*KH.Abdul Hakam, Wafatnya Ulama hilangnya Ilmu dan Kematian Alam Semesta*

Bekasi, Jawa Barat– Berita Duka, Innalillahi wa innailaihi rojiun Cucunya Syaikh Hasyim Asy'ari (Pendiri NU) YAKNI KH. Abdul Hakam bin KH. Abdul Kholiq telah mendahului Kita, Wafatnya ulama adalah matinya alam semesta. Istilah ini seringkali diucapkan orang-orang untuk menggambarkan betapa gawatnya kepergian seorang ulama. Betapa tidak, lantaran ulama adalah para pewaris nabi. Melalui lisan merekalah risalah dakwah Rasululloh Muhammad Shalallohu 'alayhi wa sallam tersebar hingga kini.

Para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan hanya mewariskan ilmu. Sebagaimana sabda Rasululloh shallallohu 'alaihi wa sallam :

"Barangsiapa meniti jalan untuk menuntut ilmu, maka Alloh akan mempermudah jalannya ke surga. Sungguh, para Malaikat merendahkan sayapnya sebagai keridaan kepada penuntut ilmu. Orang yang berilmu akan dimohonkan ampunan oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan yang ada di dasar laut. Kelebihan seorang alim dibanding ahli ibadah seperti keutamaan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak". (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ad-Darimi).

Ketika seorang ulama wafat, seolah-olah alam semesta juga mati. Karena para ulama wafat membawa ilmu berupa cahaya yang menerangi hati manusia. Ilmu itulah yang pada akhirnya mampu membedakan manusia dengan makhluk lainnya.

*Dengan ilmu, manusia terjaga dari perilaku jahiliyah. Juga dengan ilmu, alam semesta akan terpelihara dari kerusakan manusia*.

Alloh Subhanahu Wa Ta'ala tidak mencabut ilmu begitu saja dari pikiran dan hati seseorang. Kepunahan ilmu justru terjadi karena wafatnya para ulama. Sebab, ketika wafat, para ulama turut membawa segenap ilmunya.

Rasululloh Shalallohu 'alaihi wa Sallam bersabda, "Sesungguhnya Alloh tidak mencabut ilmu sekaligus dari seorang hamba, akan tetapi Alloh mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama. Hingga bila ulama tak tersisa, maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Ketika ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan". (HR. Bukhari Muslim)

Ibnu Hajar Al-Atsqalani Rahimahulloh Ta'ala dalam Kitab Fathul Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari menyatakan, maksud dari hadist ini adalah anjuran belajar dan mengajarkan ilmu. Karena ilmu tak hilang kecuali karena wafatnya ulama. Selama ada orang yang mempelajari ilmu, maka ilmu tak akan hilang dari muka bumi.

Masih dalam kitab yang sama, Ibnu Mundzir Rahimahulloh Ta'ala berkata, "Hilangnya ilmu dari dada seseorang bisa saja terjadi atas kehendak Alloh, namun hadist ini menyatakan itu tidak terjadi (karena mengandung makna lainnya)".

Bahkan, dalam riwayat lainnya disebutkan Rasululloh Shallallohu' Alaihi wa Sallam bersabda, "Kematian ulama adalah musibah yang tak tergantikan, sebuah kebocoran yang tidak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagiku daripada meninggalnya satu orang Ulama". (HR. Al-Baihaqi)

Tak berlebihan jika menganalogikan wafatnya ulama adalah kebocoran yang tak bisa ditambal. Ketika satu ulama berpulang ke pangkuan Ilahi, memang akan ada generasi berikutnya yang menjadi pengganti, akan tetapi tetap saja tidak dalam karakter dan tingkat keilmuan yang setara.

*Masing-masing generasi memiliki ciri khas tersendiri*.

Ketika para ulama menutup usia, manusia tidak hanya bersedih karena kehilangan sosok mereka. Tetapi juga berduka oleh rasa sesal yang muncul karena merasa belum maksimal mereguk ilmu para warasatul anbiya.

Kami (Abu Fayadh Muhammad Faisal Al Jawy al-Bantani) Sekeluarga Besar Mengucapkan:

Innalillahi wa innailaihi rojiun, Allohummaghfir lahu warham hu wa'aafi hii wa'fu anhu wa akrim nuzula hu wa wassi 'madkhola hu waghsil hu bilmaai wats-tsalji walbarodi wanaqqi hi minal khothooyaa kamaa ahli yunaqqots tsaubul abyadlu min wa adkhil hul jannata wa 'aidz hu min' adzaabil qobri wa fitnati hi wa min 'adzaabin naar.

Artinya:“Ya Alloh, ampunilah dia, kasihanilah dia, jadikan dia makmur dan maafkan dia. Dan muliakan tempat tinggalnya, lebarkan pintu masuknya, basuh dia dengan air jernih dan dingin, dan bersihkan dia dari semua kesalahan seperti baju putih bersih dari kotoran, dan mengganti rumahnya dengan rumah yang lebih baik dari yang ditinggalkannya, dan keluarga yang lebih baik dari yang ditinggalkannya, dan istri yang lebih baik dari yang ditinggalkannya. Masukkan dia ke dalam surga, dan peliharalah dia dari siksa kubur dan fitnahnya, dan dari siksa neraka”.

Referensi: Disarikan dari beberapa hadist riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad-Darimi, Bukhari, dan Muslim. Serta keterangan dari Kitab Fathul Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari karya Ibnu Hajar Al-Atsqalani Rahimahulloh Ta'ala

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image