Jumat 12 Nov 2021 18:56 WIB

Batik Tulis Ciwaringin: Kembali ke Alam, Ramah Lingkungan

Pembatik kembali menggunakan pewarna alam setelah lama pakai pewarna sintetis.

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Friska Yolandha
Muasshomah menunjukkan produk batik tulis Ciwaringin di Gallery Batik Ciwaringin, Kabupaten Cirebon.
Foto: Republika/Lilis Sri Handayani
Muasshomah menunjukkan produk batik tulis Ciwaringin di Gallery Batik Ciwaringin, Kabupaten Cirebon.

REPUBLIKA.CO.ID, OLEH LILIS SRI HANDAYANI

Puluhan lembar batik terpajang rapi di sejumlah rak bambu bersusun di dalam Gallery Batik Ciwaringin. Adapula yang tertumpuk rapi di dalam etalase galeri yang terletak di Jalan Urip Sumoharjo, Blok Kebon Gedang Lor, Desa/Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon tersebut. Sebagian ada yang sudah terjahit menjadi baju, yang dikenakan oleh manekin. Motif batiknya bermacam-macam, didominasi nuansa flora. Meski demikian, semua warnanya seragam, yakni indigo/nila, hijau army, kuning kehijauan, coklat maupun marun.

Baca Juga

"Itu memang warna khas dari batik tulis Ciwaringin. Jadi tidak ada warna-warna yang cerah mencolok," ujar pemilik Gallery Batik Ciwaringin, Muasshomah, kepada Republika, Selasa (9/11).

Warna-warna yang menimbulkan kesan kalem dari batik tulis Ciwaringin itu dibuat dari bahan pewarna alam. Penggunaan pewarna alam itulah yang dulu diajarkan oleh ulama dan santri Pesantren Babakan Ciwaringin kepada warga setempat, hingga kemudian berlangsung turun temurun. Desa Ciwaringin pun akhirnya dikenal sebagai kampung batik tulis dengan pewarna alam di Kabupaten Cirebon.

Namun, setelah tahun 70-an, pewarna sintetis dari Cina memasuki industri batik yang digeluti warga di Desa Ciwaringin. Dengan warna-warna yang lebih beragam dan mencolok, pewarna sintetis mampu menggeser penggunaan pewarna alam dari batik tulis Ciwaringin. Batik warna alam Ciwaringin pun hanya tinggal cerita.

Di tengah penggunaan pewarna sintetis, batik Ciwaringin ternyata tak mampu bersaing dengan sentra batik lainnya di Kabupaten Cirebon, yakni batik Trusmi. Perkembangan batik Ciwaringin seperti jalan di tempat. Pembatiknya pun lebih banyak orang-orang tua, yang menjadikan membatik sebagai pekerjaan sampingan usai bekerja di sawah.

Pada tahun 90-an, perkembangan batik Ciwaringin semakin tak bisa menjadi andalan warga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Karenanya, banyak di antara mereka yang memilih menjadi pekerja migran Indonesia (PMI) ke luar negeri. "Perkembangan batik sintetis di Ciwaringin saat itu stagnan, tidak seperti batik Trusmi dan Pekalongan," tutur Muasshomah.

Kondisi itu menimbulkan keresahan pada diri Muasshomah. Karenanya, selepas lulus kuliah pada 2010 silam, dia memilih untuk tidak menjalani profesi sebagai guru, meski menyandang gelar sebagai sarjana pendidikan Islam (SPdI). Dia bertekad untuk mengembalikan kejayaan batik tulis Ciwaringin, dengan pewarna alam sebagai ciri khasnya.

"Selain menjadi ikon dari batik tulis Ciwaringin sejak nenek moyang kami, penggunaan pewarna alam juga ramah lingkungan," tegas perempuan yang menjadi generasi keempat pembatik di tengah keluarganya itu.

Di tahun yang sama, Muasshomah mengikuti program Clean Batik Initiative (CBI) dari perkumpulan ekonomi Indonesia-Jerman (Ekonid). Dalam program itu, dia dilatih dan diberi bimbingan tentang batik pewarna alam.

Selama tiga tahun sejak 2010, Muasshomah pun berjuang keras untuk mengajak para pembatik lainnya di Desa Ciwaringin agar kembali menggunakan pewarna alam pada batik. Dia berharap, penggunaan pewarna alam akan mendobrak perkembangan batik tulis Ciwaringin dari stagnan menjadi berkembang, disamping lingkungan pun akan terhindar dari pencemaran bahan kimia.

Namun, perjuangan Muasshomah tak semudah membalikkan telapak tangan. Dia harus menghadapi tentangan dari para pembatik, yang telah terbiasa menggunakan pewarna sintetis yang mencolok dan berwarna-warni.

Meski demikian, Muasshomah tetap pada tekadnya untuk mengembalikan batik Ciwaringin pada pewarna alam. Dia terus melakukan penyuluhan, berbagi wawasan tentang batik pewarna alam, dan membantu pemasarannya.

Batik pewarna alam ternyata mampu menarik minat konsumen, termasuk dari luar negeri. Dengan pemasaran yang meningkat dibandingkan saat menggunakan pewarna sintetis, para pembalik di Ciwaringin pun otomatis beralih kembali pada tradisi leluhur mereka menggunakan pewarna alam hingga sekarang.

Muasshomah menyebutkan, pengrajin batik tulis Ciwaringin saat ini ada sekitar 80 orang. Seluruhnya telah kembali menggunakan batik pewana alam.

"Dengan menggunakan pewarna alam, batik Ciwaringin aman bagi lingkungan. Ini sesuai slogan kami, ‘batik ramah lingkungan’. Dipakai di kulit juga tidak menimbulkan iritasi," tukas Muasshomah.

Muasshomah menuturkan, bahan pewarna alam itu diperoleh dari alam yang ada di lingkungan mereka. Di antaranya, daun nila, kulit pohon kayu mahoni dan daun mahoni, kulit kayu mangga dan daun mangga, secang, kulit jengkol bahkan kulit durian. Bahan-bahan itu menghasilkan warna indigo atau nila, coklat, marun, biru, hijau army, maupun kuning kehijauan, yang menjadi ciri khas dari warna batik tulis Ciwaringin.

"Jadi bahan pewarnanya dari limbah alam, yang kami manfaatkan sebagai pewarna batik," tutur Muasshomah.

Para pembatik membuat pewarna itu sendiri. Seperti misalnya, kulit pohon mahoni, yang berasal dari limbah pembuatan mebeler, dicincang dan direbus selama berjam-jam hingga airnya mengental dan menghasilkan warna coklat. Sedangkan untuk memperoleh warna indigo, digunakan sistem fermentasi pada daun yang dicampur dengan gula aren ataupun jeruk nipis.

Untuk proses membatiknya, batik tulis Ciwaringin melalui tahapan yang hampir sama seperti membuat batik dengan pewarna sintetis. Hanya saja, sebelum digambar, kain yang digunakan harus di-uleni terlebih dulu supaya serat kainnya menjadi lebih padat.

"Jadi warna lebih meresap pada kain saat proses pewarnaan," terang Muasshomah.

Dari segi motif, batik Ciwaringin lebih banyak menggambarkan unsur flora maupun legenda desa. Meski mendapat  pengaruh dari motif batik daerah lainnya, namun batik Ciwaringin juga memiliki motif khas tersendiri. Seperti misalnya, Tebu Sekeret, Pecutan, Pringsedapur, Ciwaringin (beringin) maupun Cupang.

Untuk harga, batik Ciwaringin memang lebih mahal karena berupa batik tulis. Dibutuhkan waktu lebih lama dalam pembuatannya dibandingkan batik cap.

Seperti batik yang dijual Muasshomah, dibanderol dengan harga antara Rp 400 ribu hingga Rp 3,5 juta per helai. Besaran harga itu tergantung pada jenis bahan maupun kerumitan motifnya.

Dalam menjalankan usaha batik, Muasshomah pun berusaha menggerakkan kaum perempuan di desanya. Kebanyakan mereka dulunya bekerja sebagai buruh migran di luar negeri. Namun setelah pulang dan menjalankan usaha batik pewarna alam, mereka tak lagi berminat mengejar hujan emas di negeri orang.

Koperasi Batik Ciwaringin pun didirikan pada 2013. Muasshomah menjadi ketuanya, dengan jumlah anggotanya yang tercatat ada 65 orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 40 persen di antaranya merupakan perempuan mantan buruh migran.

photo
Muasshomah menunjukkan produk batik tulis Ciwaringin di Gallery Batik Ciwaringin, Kabupaten Cirebon. - (Republika/Lilis Sri Handayani)

Langkah Muasshomah dalam menggunakan pewarna alam pada batik pun mendapat dukungan dari Kantor Perwakilan (KPw) Bank Indonesia (BI) Provinsi Jawa Barat. Dengan menjadi mitra BI sejak 2014 hingga sekarang, dia memperoleh bantuan mulai dari aspek produksi, manajemen hingga pemasaran.

Dari aspek produksi, terang Muasshomah, KPw BI Provinsi Jawa Barat memberikan pelatihan mengenai eksplorasi warna alam dan motif batik sehingga lebih beragam. Selain itu, BI juga mengajaknya studi banding ke Bali untuk mempelajari batik pewarna alam yang ada di sana.

"Dari aspek manajemen, BI membantu pelatihan pembukuan keuangan maupun manajemen koperasi," terang Muasshomah.

Sedangkan dari aspek pemasaran, lanjut Muasshomah, BI kerap mengajaknya untuk mengikuti pameran di berbagai kota di Indonesia. Bahkan, pernah pula batiknya dibawa ke pameran di Jepang. Dari pameran-pameran itulah, produk batik tulis Ciwaringin dikenal luas dan memperoleh pelanggan, termasuk dari luar negeri.

Tak hanya mempromosikan batiknya sendiri, Muasshomah juga turut membawa produk batik milik pembatik lainnya dalam setiap ajang pameran yang diikutinya. Hal itu turut mendongkrak penjualan batik tulis Ciwaringin yang dibuat oleh para pembatik lainnya.

Selain pameran, BI pun memberi pelatihan pengemasan (packaging) produk batik. Dengan pengemasan yang menarik, pemasaran maupun harga jual batik tulis Ciwaringin jadi lebih meningkat.

Muasshomah menambahkan, BI juga membantu pemasaran melalui e-commerce. Melalui cara tersebut, pemasaran batik tulis Ciwaringin menjadi semakin luas. Mereka pun memanfaatkan media sosial untuk berjualan secara daring.

"Peran BI sangat banyak, membantu semuanya sampai full. Dengan menjadi mitra BI, omset usaha meningkat hingga 70 persen," tukas Muasshomah.

Muasshomah menyebutkan, pembatik yang tergabung ke dalam Koperasi Batik Ciwaringin rata-rata memproduksi 30 helai batik tulis Ciwaringin per bulan. Mereka menjalankan usaha rumahan, dengan dibantu beberapa orang pekerja.

Untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada konsumen, Muasshomah pun melengkapi sistem pembayaran produknya dengan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Sistem pembayaran dengan menggunakan metode QR Code dari BI itu dinilainya memiliki banyak kelebihan.

"Sangat mudah, tidak bikin ribet, tidak usah pakai uang kembalian. Ketika klik, uang sudah langsung masuk ke rekening. Transaksi dimanapun bisa, praktis. Banyak konsumen yang juga sudah pakai QRIS," tutur Muasshomah.

Penggunaan QRIS juga diakui Muasshomah lebih aman. Seperti misalnya saat pameran, dia tak perlu membawa uang tunai dalam jumlah banyak hasil dari penjualan batiknya.

Sementara itu, Kepala Perwakilan BI Provinsi Jawa Barat, Herawanto, mengungkapkan, pihaknya memang mendukung upaya batik tulis Ciwaringin untuk kembali menggunakan pewarna alam yang ramah lingkungan. Hal itu sebagai bagian dari strategi green economy yang dijalankan KPw Provinsi Jawa Barat.

"Kalau bicara green economy, sebenarnya kita bicara titik optimal. Bukan menang-menangan antara pembangunan yang bebas atau konservasi lingkungan tiada batas," cetus Herawanto.

Herawanto mengakui, kegiatan pembangunan pasti memiliki ongkos terhadap lingkungan hidup. Untuk itulah, dibutuhkan titik optimal agar pembangunan tetap berjalan, namun di sisi lain kelestarian lingkungan pun tetap terjaga.

Herawanto menyebutkan, salah satu contoh penerapan green economy yang menjadi perhatian adalah di bidang tekstil maupun produk tekstil. Pasalnya, tekstil dan produk tekstil merupakan salah satu sektor yang dominan di Jawa Barat. Tak hanya dari industri hulunya, namun juga hilirnya.

Selain itu, lanjut Herawanto, tekstil dan produk tekstil juga sangat dekat dengan isu lingkungan hidup. Biasanya terkait dengan pembuangan limbah yang mengandung bahan kimia.

"Karena itu kita angkat beberapa produk yang sangat ramah lingkungan dan berbasis alam. Untuk di Wilayah Ciayumajakuning, contohnya ada batik Ciwaringin Cirebon, yang menggunakan bahan (pewarna) yang ramah lingkungan," tandas Herawanto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement