Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dwi Nesa

Banjir dan Peringatan Allah dalam Surat ar-Rum 41

Agama | Saturday, 13 Nov 2021, 15:05 WIB

Oleh Dwi Nesa Maulani

"Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu pepohonan yang rindang dan biji-bijian yang dapat dipanen." (TQS Qaf Ayat 9).

Hujan sejatinya adalah berkah Allah Swt sesuai dengan ayat di atas. Tapi beberapa tahun belakangan ini datangnya hujan malah menjadikan bencana banjir di berbagai wilayah di Indonesia. Banjir yang seharusnya berkah berubah menjadi musibah, tidak lain disebabkan oleh ulah manusia sendiri. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Al Qur'an surat Ar-rum ayat 41, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."

Ya, banjir memang dipicu adanya curah hujan yang tinggi. Menurut BMKG curah hujan tinggi ini diperkirakan terjadi sampai akhir tahun. Tingginya curah hujan sebenarnya juga akibat ulah manusia sendiri. Manusialah penyebab pemanasan global. Adanya CO2 dan gas rumah kaca yang naik ke atmosfer menjadikan suhu udara meningkat. Peningkatan ini memicu meningkatnya penguapan air. Kelembaban udara ini yang menyebabkan hujan turun dengan deras dan ekstrem.

Di sisi lain, daerah resapan air telah mengalami banyak perubahan. Salah satu faktor penyebabnya adalah deforestasi (penurunan luas hutan). Seperti banjir yang terjadi di Kalimantan Barat, menurut Gubernur Sutarmidji, banjir terjadi akibat deforestasi dan penambangan.

Hendrikus Adam, dari Walhi Kalimantan Barat, mengatakan, deforestasi terbesar disumbangkan alih fungsi hutan untuk perkebunan sawit. Sehingga bencana ekologis kerap terjadi. Kalbar sudah kehilangan 1,25 juta hektar dalam dua dekade terakhir dari total luas hutan primer yaitu sebanyak 6,88 juta hektar hutan.

Hal senada juga disampaikan oleh Ahli Teknik Sumber Daya Air Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura, Henny Herawati. Dilansir dari Republika.co.id 8/11/2021, Henny menjelaskan bahwa deforestasi di Kalimantan Barat menyebabkan kerusakan di Daerah Aliran Sungai (DAS), sehingga hidrografi aliran pada DAS tersebut berubah menjadi tidak baik. Saat hujan lebat turun, air tidak mampu ditampung oleh penampang sungai atau dapat dikatakan kondisi muka air jauh di atas normal. Maka banjir tak terelakkan.

Sedangkan di tempat lain yang juga terkena bencana banjir yaitu kota Batu, Malang. Dataran tinggi ini juga tak luput dari bencana alam rutinan. Penyebabnya sama, deforestasi. Sekitar 90 persen hutan di Gunung Arjuno, perbatasan Kabupaten Malang dan Kabupaten Pasuruan, telah habis. Hutan lindung di daerah ini dialihfungsikan untuk pertanian, permukiman, hingga wisata.

Daerah resapan air di wilayah ini juga mengalami pendangkalan. Hal itu diakibatkan erosi yang menutupi jalur-jalur aliran sungai. Sehingga ketika hujan lebat, sungai tak bisa menampung banyaknya air. Lebih parah lagi, banjir yang terjadi beberapa waktu lalu membawa material batu kerikil, lumpur, dan batang kayu. Padahal ini masih terkategori musim hujan biasa, La Nina belum tiba. Tapi sudah mengakibatkan banjir bandang yang menewaskan enam orang, 22 rumah rusak, dan ratusan orang mengungsi.

Beberapa ulasan mengenai banjir di negeri ini membuka mata kita bahwa penyebab banjir sama, yaitu ulah manusia. Manusia yang serakah, merusak hutan tanpa merasa berdosa. Hutan yang "ijo royo-royo" dijamah hanya demi memuaskan nafsu dunia memperoleh keuntungan materi. Manusia dengan watak materialis tega membabat hutan habis. Itulah manusia kapitalis, hanya mementingkan keuntungan secara ekonomis. Tak peduli dengan akibat dari perbuatannya merusak alam. Tak peduli peringatan Allah Sang Pencipta Alam Semesta. Juga tak peduli dosa dan siksa.

Dan yang lebih memilukan, manusia kapitalis ini dipermudah jalannya oleh peraturan di negeri ini yang juga kapitalis. Sebagai contoh, setelah ada UU Cipta Kerja atau Omnibus Law, investasi terlanjur (ilegal) di kawasan hutan diizinkan. Perusahaan bisa urus izin dengan batas waktu tiga tahun. Kalau tak bisa urus izin, baru dikenai sanksi administrasi. Istilah lainnya pemutihan. Sungguh kado yang indah bagi pelaku usaha sawit, tetapi mimpi buruk bagi bumi.

Contoh lain, peraturan beraroma kapitalis yaitu tentang minerba. Di dalam Undang-Undang Minerba yang lama terkait izin tercantum klausul dapat diperpanjang, artinya bisa diperpanjang bisa tidak. Sementara Undang-Undang yang baru tahun 2020 klausulnya dijamin diperpanjang. Sehingga izin perusahaan tambang tidak sekedar 20 tahun, tetapi hingga umur cadangan tambang itu ada alias sampai habis. Tentunya hal ini sangat menguntungkan bagi pengusaha tambang.

Di samping itu, ada juga peraturan daerah dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang tidak sensitif terhadap alam dan lingkungan. Seperti Revisi Perda RTRW Kota Batu, yang di dalamnya tidak menjelaskan soal perlindungan kawasan esensial. Revisi Perda tersebut berpotensi menyebabkan maraknya alih fungsi hutan, hingga terjadi bencana banjir.

Maka, jika kita renungkan kembali kedua ayat di atas, jelaslah fakta menunjukkan bahwa kerusakan yang terjadi karena manusia sendiri. Manusia kapitalis bertemu dengan sistem aturan yang juga kapitalis, menghasilkan kerusakan di bumi. Hujan harusnya berkah, berubah menjadi musibah.

Untuk itu marilah kita bermuhasabah. Sudah sepatutnya sistem kapitalisme ini kita tinggalkan. Manusia hendaklah lebih bijak dalam memanfaatkan alam. Janganlah merusaknya dan jangan berorientasi materi semata. Allah Maha Melihat perbuatan hamba-Nya. Sedangkan negara juga harus membuang jauh sistem kapitalisme ini jika ingin melindungi alam beserta manusia. Negara harus berorientasi pada melayani umat. Sebagaimana Islam menetapkan bahwa pemimpin adalah pelayan. "Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image