Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image AYYA OFFICIAL

Medsosmu Harimaumu

Lomba | Sunday, 10 Oct 2021, 18:31 WIB

Sudah cukup pandemi Covid-19 melanda, kesehatan dan ekonomi menjadi tertatih-tatih. Jangan ditambah pandemi kebiadaban dunia maya terus berlangsung, pendidikan harus berdiri di garis depan, mengajarkan adab dan sopan santun.

Pandemi COVID-19 menghantam semua sektor, tatanan dunia dipaksa secara cepat melalukan adaptasi dan perubahan radikal untuk bisa bertahan. Keadaan dan situasi dunia saat ini tidak terbayangkan sebelumya, tidak ada yang tepat memprediksi akan begitu dahsyatnya efek dari virus covid-19 ini.

Masyarakat dunia secara mental terpuruk, kebutuhan perut harus terus terpenuhi. Sementara aktivitas fisik luar ruang dibatasi, bahkan ada yang distop, lockdown. Interaksi lewat dunia maya lebih dianjurkan, untuk mengurangi resiko penyebaran virus yang lebih massive, cepat dan meluas. Komunikasi didominasi lewat media internet, tidak terkecuali Indonesia.

Dengan jumlah pengguna internet 202,6 juta orang (73,7 persen dari jumlah penduduk total Indonesia), 170 juta di antaranya pengguna media sosial (medsos) aktif. Ini bisa menjadi kekuatan, juga bisa menjadi kelemahan yang merugikan dan membahayakan.

Bukti negatifnya sudah dirilis Maret-April 2021 oleh Microsoft. Laporan terbaru Digital Civility Index (DCI) yang mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya, menyebutkan warganet Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara. Netizen Indonesia diangap paling tidak sopan.

Tingkat kesopanan warganet Indonesia memburuk delapan poin ke angka 76 di mana semakin tinggi angkanya, tingkat kesopanan semakin buruk. Warganet paling ramah di Asia Tenggara ditempati Singapura, berikutnya Malaysia, Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, dan terakhir Indonesia. Akurat atau tidaknya penelitian tersebut, cukup membuat prihatin. Karena buktinya sudah banyak, kata-kata umpatan, cacian, hinaan sangat banal di dunia maya negeri ini. Lihatlah kolom komentar medsos klub sepakbola, medsos artis, bahkan medsos Presiden Jokowi.

Akun Instagram resmi Microsoft sampai menutup kolom komentarnya, setelah dibanjiri serbuan komentar-komentar berbahasa Indonesia yang bernada negatif, berisi umpatan dan kata kasar. Komentar terkait hasil surveinya yang menyebut netizen Indonesia paling tidak sopan se-Asia Tenggara.

Netizen Indonesia sudah sering mendapat sorotan mancanegara. Contoh lain, warganet/netizen Indonesia menyerbu kolom komentar pasangan gay yang menikah di Thailand. Tak hanya menghujat, menggunakan kata-kata bernada rasisal dan provokasi warganet Indonesia bahkan ada yang mengancam mati pasangan sejenis tersebut. Akibatnya pengantin gay itu membawa kasus ini ke jalur hukum. Dan maih banyak lagi contoh lainnya.

Rentetan keberingasan dan keserampangan warganet Indonesia pada masa pendemi ini bukannya mereda, tapi kian menjadi-jadi. Kurang bijak dalam bermedia sosial, citra orang Indonesia itu paling ramah, paling menyenangkan seakan hanya ilusi. Etika, sopan santun ketika di dunia nyata, langsung lenyap ketika berpindah ke dunia maya. Dianggap memiliki dua sisi berbeda, manusia munafik. Miris, takutnya hasil riset Microsoft tahun ini, menjadi tak terbantahkan, bahkan akurat dan kredibel.

Jujur, dalam lingkup lebih kecil. Pengalaman setahun lebih melakukan kegiatan belajar mengajar daring (dalam jaringan), khususnya komunikas via WAG (whatsup grup) kelas, sering terjadi, dan berulang. Ada beberapa siswa ketika berkomentar kurang sopan, semaunya, padahal sudah diingatkan berkali-kali. Ini tentu memprihatinkan.

Memang perlu usaha serius, kampanye yang terus-menerus akan pentingnya bermedia sosial yang beradab. Indonesia bagaikan masyarakat tanpa social skills, tetapi memiliki social tools. Belajar etika dan tepa selira di jagat internet sama pentingnya, harus ada perasaan bersalah, berdosa, setiap ketika berkomentar tidak sopan. Bukan malah puas dan bangga, jika sudah begini, sama saja dengan hidup di hutan belantara. Moral tetap penting untuk diterapkan dimana saja.

Pemerintah, guru, orang tua dan siswa harus terlibat, saling bersinergi dan melengkapi. Semua harus peka, citra negara dengan cap beringas di dunia maya ini tidak main-main. Citra negara dengan netizen paling kasar adalah kerusakan berefek tetap. Yang bisa dilakukan sekarang, mengendalikan kerusakan dengan menjadi warganet yang lebih beretika dari diri sendiri dan menularkan kepada lingkungan paling dekat.

Sebagai guru, penulis juga terus menyampaikan ke siswa pentingnya akan bermedia sosial yang beradab, dan memberi contoh kasus-kasus yang sudah terjadi karena kurang hati-hatinya orang dalam bermedia sosial, sehingga harus berurusan dengan hukum. Alsannya iseng, main-main atau tidak tahu akan ancaman pidana.

UU ITE atau Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang sudah kerap menjerat netizen di medsos ternyata belum diketahui dan dipahami oleh masyarakat luas. Padahal Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat sudah puluhan kasus sejak 2008 hingga 2020. Walau undang-undang ini dianggap banyak pasal karet, tapi perlu juga dievaluasi dan didukung sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran budaya beretika, untuk mewujudkan ruang digital Indonesia yang bersih, sehat dan produktif.

Belum lagi media sosial bisa menjadi media untuk menghasilkan karya, bukankah ini kesempatan luar biasa untuk berkembang dan menjadi lebih baik?

Bukan hanya berkomentar yang baik dan sopan, tapi juga berkreasilah. Buatlah konten yang mempunyai nilai positif di akun Youtube, tiktok dan lainnya. bukan prank yang merugikan, menghina dan merendahkan orang lain. Jangan konten yang menyinggung sara. Melecehkan bendera merah putih. Bercandaan tentang ibadah dan tema-tema lain yang buruk. Di internet banyak sekali lomba-lomba dengan hadiah yang tidak sedikit, bahkan mungkin memberikan kelas gratis. Kita bisa menggunakan kesempatan itu untuk meng-upgrade ilmu, mengembangkan poteni, mengasah bakat, dan tentunya bertemu dengan orang-orang hebat.

Media sosial memang memberikan kebebasan bagi para penggunanya, tetapi bukan berarti bebas pula dalam beretika. Jaga selalu etika, sopan santun, dan selalu bersikap respect kepada teman atau orang-orang yang terkoneksi di akun media sosial kita. Hindari penggunaan kata-kata kasar atau yang mengandung unsur SARA. Hormatilah orang lain sebagaimana kita ingin dihormati,

Responsibility-Empathy-Authenticity- Discerment-Integrity (READY) merupakan pegangan etika dalam berinteraksi di media sosial yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh setiap pengguna internet. Tanggung jawab, empati, auntentik, kearifan, dan integritas.

Ledakan informasi, dan media sosial mengajak siapa saja yang tertarik untuk berpartisipasi dengan memberi kontribusi dan umpan balik secara terbuka, memberi komentar, serta membagi informasi dalam waktu yang cepat dan tak terbatas. Peredaran berbagai berita yang tidak benar, hoaks, ghibah, kebencian, permusuhan, fitnah, hingga adu domba (namimah) begitu banyaknya, maka perlu usaha tabayyun (cek dan ricek), saring sebelum sharing.

Bangsa yang berbudaya, harusnya ketika offline harus sama jika online. Jangan merasa kalau di dunia maya menggunakan identitas anonim bisa berbuat semaunya, kebebasan harus tetap menjunjung etika, menghargai dan hormat, peduli, sopan, dan tidak merugikan orang lain.

--------------------------------------------------------------

ahmad manshur shofi

guru smp islam pecangaan jepara

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image