Senin 15 Nov 2021 12:42 WIB

Demonstran: Thailand Menjauh dari Demokrasi

Demonstran abaikan putusan pengadilan terkait dengan penilaian penggulingan monarki.

Rep: Lintar Satria/ Red: Teguh Firmansyah
Pendukung pro-demokrasi menunjukkan simbol perlawanan tiga jari selama demonstrasi di Bangkok, Thailand, Kamis, 24 Juni 2021. Para pengunjuk rasa pro-demokrasi turun ke jalan-jalan ibukota Thailand, menandai ulang tahun ke-89 penggulingan negara itu. monarki absolut dengan memperbaharui tuntutan mereka agar pemerintah mundur, konstitusi diubah dan monarki menjadi lebih bertanggung jawab.
Foto: AP/Sakchai Lalit
Pendukung pro-demokrasi menunjukkan simbol perlawanan tiga jari selama demonstrasi di Bangkok, Thailand, Kamis, 24 Juni 2021. Para pengunjuk rasa pro-demokrasi turun ke jalan-jalan ibukota Thailand, menandai ulang tahun ke-89 penggulingan negara itu. monarki absolut dengan memperbaharui tuntutan mereka agar pemerintah mundur, konstitusi diubah dan monarki menjadi lebih bertanggung jawab.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK-- Ribuan rakyat Thailand turun ke jalan Ibu kota Bangkok menuntut reformasi kerajaan. Demonstran mengabaikan putusan pengadilan yang menyatakan tindakan semacam itu sebagai upaya menggulingkan institusi kerajaan.

Unjuk rasa anak muda menuntut mantan pemimpin kudeta Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha mundur dari jabatannya pada tahun lalu menjadi tantangan terbesar bagi monarki dalam beberapa dekade terakhir. Konstitusi Thailand mengharuskan warga menghormati kerajaan.

Baca Juga

Pengunjuk rasa berjalan menuju barisan polisi anti huru-hara yang berlindung dibalik perisai. Mereka membawa papan unjuk rasa yang bertuliskan 'Tidak Pada Monarki Absolut' dan 'Reformasi bukan penghapusan'. "Beberapa tahun terakhir wewenang raja meningkat menarik Thailand menjauh dari demokrasi dan kembali ke monarki absolut," kata pengunjuk rasa membacakan pernyataan setelah demonstran tiba di depan Kedutaan Besar Jerman di Bangkok, Ahad (14/11) kemarin.

"Ini perjuangan untuk mendorong negara mesti diperintah dengan sistem yang mana semua orang setara," tambahnya.

Pada unjuk rasa Oktober tahun lalu para pengunjuk rasa juga bergerak ke depan kedutaan Jerman. Mendesak negara itu menyelidiki apakah Raja Maha Vajiralongkorn yang banyak menghabiskan waktunya di negara itu melakukan urusan negara dari sana.

"Kata 'reformasi' tidak setara dengan penghapusan'," kata salah satu pengunjuk rasa Peeyawith Ploysuwan.

"Kalian (pemerintah) hanya ingin melakukan apa yang kalian hendaik dan memandang orang yang memiliki pandangan berbeda sebagai orang jahat, bila masyarakat terus seperti ini, bagaimana kami bisa melangkah maju," kata demonstran berusia 25 tahun itu.

Pengunjuk rasa melanggar tabu lama di Thailand yang memiliki hukum lese majeste paling keras di dunia. Siapa pun yang dinyatakan bersalah menghina kerajaan dapat dihukum hingga 15 tahun penjara.

Pengacara Thailand untuk kelompok Hak Asasi Manusia mencatat sejak unjuk rasa tahun lalu sudah 157 orang ditahan dengan undang-undang itu. Protes akhir pekan ini respon dari keputusan Mahkamah Konstitusi pekan lalu.

Pengadilan memutuskan seruan reformasi monarki yang disampaikan tiga pemimpin unjuk rasa pada Agustus tahun lalu tidak konstitusional dan untuk menggulingkan institusi tersebut. Juru bicara polisi mengatakan tiga orang pengunjuk rasa terluka pada Ahad kemarin. Mereka menambahkan insiden itu akan diselidiki.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement