Rabu 17 Nov 2021 04:30 WIB

Songsong Muktamar NU

Dalam perjalanannya, organisasi NU berperan penting dalam membangun bangsa.

Prof. Dr. Moh Mukri, M.Ag, Rektor UIN Raden Intan Lampung.
Foto: Istimewa
Prof. Dr. Moh Mukri, M.Ag, Rektor UIN Raden Intan Lampung.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof. Dr. Moh Mukri, M.Ag,  Panitia Muktamar, Ketua PWNU Lampung, Rektor UIN Raden Intan Lampung

Baca Juga

Keberadaan Nahdlatul Ulama (NU) telah memberikan warna dalam perjalanan Negara Indonesia. Organisasi yang didirikan KH Hasyim Asy’ari pada 31 Januari 1926 kini telah berkembang pesat dengan jejaring pesantren, sekolah, universitas, dan rumah sakit yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Warna nahdliyin begitu terang dalam tatanan kehidupan masyarakat nusantara, bukan hanya  kaum muslimin, ajaran Islam yang diramu para pemikir NU memberi ruang interaksi yang luas kepada kaum lain. Sifat toleran, mengusung kebenaran universal, dan menghargai kebenaran yang diyakini umat lain membuat NU hidup subur berdampingan di masyarakat. Bahkan, ideologi NU bisa berjalan selaras dengan falsafah negara yang cenderung sekuler.

Dalam perjalanannya, organisasi ini berperan penting dalam membangun bangsa ini. Para tokohnya ikut terlibat dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan sekaligus mengisi dan memajukan Indonesia dari dahulu hingga akhir.  Hal itu wajar karena memang sesungguhnya Islam memang sangat dianjurkan agar setiap penganutnya senantiasa memberi kontribusi sebesar-besarnya untuk masyarakat banyak, bangsa, bahkan dunia.

Peranan Islam secara umum dan peranan NU secara khusus tidak dapat dilepaskan terhadap pembangunan politik di Indonesia. Tidak hanya di dalam negeri, NU juga berkembang di berbagai negara dan manfaatnya dirasakan oleh masyarakat dunia. Ini terbukti dengan telah terbentuknya sekitar 31 Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) di berbagai kota di dunia.

Politik dan Intelektual

Sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, NU memiliki fungsi dan posisi yang cukup unik dalam panggung politik  nasional. Sehingga tidak mengherankan jika setiap pesta demokrasi hampir semua kandidat meminta dukungan kepada warga NU. Namun, untuk menghindari konflik penentingan dan perpecahan karena politik praktis, pada Muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk Kembali ke Khittah 1926 yaitu untuk tidak lagi berpolitik praktis dan tidak ikut dalam hiruk pikuk perebutan kekuasaan di tanah air.

Karena NU merasa bahwa dengan terlalu asyik dalam politik, NU telah melalaikan tugas-tugas sosial keagamaan dan pendidikan. Orientasi praktis yang serba politis itu mengakibatkan NU terjerumus ke dalam pola perebutan keuntungan politik yang bersifat sementara. Hanya dinikmati sebagian elite melainkan tidak untuk kemaslahatan orang banyak. Sikap dan tindakan NU selalu dikaitkan dengan orientasi untung rugi dari segi kepentingan politik belaka.

Dari sisi kekuatan intelektual, NU selalu mempunyai gagasan keagamaan progresif dalam merespons modernitas dengan menggunakan basis pengetahuan tradisional yang mereka miliki. Para intelektual NU ini tidak hanya concern dengan modernitas yang terus dikritik dan disikapi secara hati-hati, tetapi juga melakukan revitalisasi tradisi. Proses revitalisasi tradisi yang mereka lakukan tidak sekadar mengagung-agungkan dan mensakralkan tradisi, tetapi juga melakukan kritik secara mendalam atas tradisinya sendiri, baik yang berkaitan dengan perilaku maupun pemikiran. Bahkan, sendi-sendi doktrinnya sendiri seperti doktrin ahli sunah wal jamaah yang tidak pernah lepas dan sasaran kritisnya. 

NU mempunyai dasar-dasar dan kekayaan intelektual yang senantiasa diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui lembaga pesantren. Karena kekayaan itu sehingga menjadikan NU amat apresiatif terhadap pemikiran lama. NU juga mempunyai lembaga pendidikan yang cukup mapan sebagai basis transmisi keilmuan.

Dengan berbagai kekhasan dan subkulturnya, pesantren terbukti mampu bertahan dalam masyarakat yang terus berubah. Meskipun dalam perekembangan terakhir, sistem pendidikan di pesantren maupun perguruan tinggi Islam yang berbasis NU juga perlu terobosan-terobosan baru dalam rangka memutus dikotomi antara pendidikan agama dengan teknologi.

Dalam masa inilah NU dituntut memiliki lima kekuatan utama yang jika itu semua bisa dimanfaatkan dengan baik akan menjadi kekuatan yang luar biasa.  Kekuatan pertama adalah para kiai, santri dan para alumni pesantren yang menjadi sumber moralitas dan sumber kebijakan bagi masyarakat banyak. Kedua, adalah para intelektual NU yang ahli dalam berbagai macam ilmu pengetahuan. Sebuah kebanggaan besar saat ini, NU memiliki para intelektual yang cukup banyak yang memiliki kompentensi di hampir semua bidang. 

Kemudian, kekuatan ketiga NU saat ini adalah para pengusaha NU yang kini semakin banyak. Selanjutnya, kekuatan keempat ialah para birokrat yang berlatar belakang NU yang juga semakin banyak jumlahnya yang manfaatnya sudah banyak dirasakan oleh masyarakat. Kekuatan terakhir NU adalah para politikus yang tersebar di berbagai partai politik di Indonesia dan mengisi posisi-posisi strategis.

Songsong Seabad NU

Di usia ke 96 tahun, NU akan menggelar Muktamar ke-34 di Provinsi Lampung pada 23-25 Desember mendatang dengan mengusung tema "NU Mandiri, Indonesia Bermartabat". Berbagai persiapan sudah dilakukan oleh panitia untuk menyambut para muktamirin dari seluruh provinsi dan perwakilan berbagai negara.

Dari sisi pelaksanaan, muktamar kali ini dilaksanakan di sejumlah tempat, Pondok Pesantren Darussa'adah, Kabupaten Lampung Tengah akan menjadi tempat pembukaan penyelenggaraan Muktamar. Sedangkan kegiatan lainnya antara lain dipusatkan di Kampus UIN Raden Intan Lampung dan Universitas Malahayati.

Pelaksanaanya akan menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Muktamar ke 34 ini harus menjadi momentum dalam penguatan organisasi dalam menatap seabad NU pada 31 Januari 2026.

Muktamar ini harus menghasilkan keputusan-keputusan strategis sebagai panduan arah ke depan.  Kalaupun terkait dengan agenda pemilihan ketua umum, maka proses yang terjadi haruslah demokratis dengan tetap menjaga akhlakul karimah sebagai mana akhlaq para pendiri. Karena, muktamar kali ini adalah menyongsong satu abad NU untuk menggerakkan kemandirian NU. Satu abad adalah penting karena sebagai titik pijakan historis baru dari organisasi ini, yang tentu berbeda sistuasi dan tantangan saat didirikan.

Kecepatan informasi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi kerakyatan, dan masyarakat yang berubah secara cepat adalah di antara sekian tantangan dalam usia satu abad. Kebutuhan Nahdliyin ke depan tidak lagi melulu soal agama tetapi juga mengenai ekonomi, teknologi, dan berbagai kebutuhan dasar lainnya. Karena itu, sumbangsih dari para tokoh Nahdliyin dari berbagai disiplin ilmu di berbagai belahan dunia sangat dibutuhkan oleh NU. Apapun hasil Muktamar nanti harus mampu menjawab tantangan tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement