Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sukainah

BPKH menjadi Nafas Baru bagi Umat Islam di Indonesia

Lomba | Thursday, 18 Nov 2021, 00:11 WIB

Apa bedanya Pengelolaan Dana Haji Sebelum dan Sesudah dikelola BPKH?

Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Merujuk pada data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementrian Dalam Negeri, jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam mencapai 236,23 juta jiwa atau 86,88% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Fakta menarik lainnya, Indonesia juga menjadi negara Islam terbesar di dunia diikuti Pakistan (212,3 juta) dan India (200 juta). Berbicara tentang Islam tentu saja tidak terlepas dari ajaran ajaran yang ada di dalamnya. Salah satunya yakni perintah bagi umat islam yang sekiranya mampu baik secara lahiriah maupun batiniah untuk melaksanakan ibadah haji yang tertuang dalam rukun Islam kelima. Tentunya, sebagai umat yang taat pastinya ingin segera merealisasikan kewajiban atau perintah tersebut. Hasrat tersebut juga berlaku bagi masyarakat muslim di Indonesia. Dari daftar tunggu haji yang dirilis oleh Kementerian Agama, sampai dengan tahun 2021 tercatat sebanyak 4,25 juta orang sudah mendaftar haji. Namun, animo dari masyarakat untuk naik haji tak berbanding lurus dengan jumlah kuota yang ditetapkan oleh pemerintah Saudi Arabia kepada Indonesia yang hanya sekitar 221 ribu per tahun. Jumlah pendaftar yang semakin meningkat dari tahun ke tahun tetapi tidak diiringi dengan penambahan kuota menyebabkan antrean yang panjang dengan rata-rata masa tunggunya mencapai 20 tahunan.

Melihat problematika tersebut, pengelolaan dana haji menjadi suatu sistem manajemen yang harus mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah mengingat masa tunggunya mencapai puluhan tahun, belum lagi kemungkinan apabila terjadi inflasi di setiap tahun yang tentunya akan merugikan para pendaftar haji. Dengan pengelolaan dana haji yang efektif dan berkualitas maka penyelenggaraan haji pun akan terlaksana dengan baik. Salah satu lembaga yang dibentuk oleh pemerintah untuk menjawab keresahan calon jamaah haji dan memberikan angin segar bagi umat Islam di Indonesia adalah BPKH. Namun, sebelum mengulik lebih dalam mengenai BPKH tidak ada salahnya untuk mengetahui lika liku perjalanan penyelenggaraan haji termasuk pengelolaan dana haji dari masa ke masa sebelum terbentuknya BPKH.

a) Orde Lama

Pada masa ini, terdapat titik terang tentang penyelenggaraan perjalanan haji di Indonesia. Tepatnya setelah Ir. Soekarno yang merupakan kepala negara yang menjabat saat itu membentuk Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI) pada tanggal 21 Januari 1950. Dari BKMI inilah, terbentuk lembaga atau yayasan yang khusus menangani penyelenggaraan ibadah haji dengan nama Panitia Perbaikan Haji Indonesia (PPHI). Yayasan PPHI menjadi satu satunya wadah yang sah untuk membantu pemerintah mengurus dan menyelenggarakan haji Indonesia di masa Orde Lama.

b.) Orde Baru

Kepemimpinan yang berbeda tentunya menyebabkan sistem pemerintahan yang berbeda pula atau istilahnya sistem pemerintahan yang baru berusaha membenahi tatanan pemerintahan terdahulu yang dapat dikatakan sudah tak sesuai lagi. Salah satu sistem yang diubah yakni PIH. Yang mana , pada orde baru ini dibentuk Departemen Agama yang menyebabkan berubahnya struktur dan tatanan kerja Menteri Urusan Haji. Perubahan struktur organisasi tersebut mengakibatkan pengalihan tugas PIH menjadi di bawah kewenangan Dirjen Urusan Haji yang dikoordinir oleh Depag. Menteri Agama juga diberikan kewenangan untuk menetapkan besarnya biaya haji melalui keputusan Menteri Agama No. 92 tahun 1967. Selang beberapa tahun setelahnya, tidak ada perubahan sistem PIH yang signifikan hingga tahun 1995. Puncaknya di tahun 1996, dikeluarkanlah kebijakan pembatasan jamaah haji yang dilatarbelakangi karena jumlah pendaftar yang membludak (over quota) di tahun sebelumnya. Instrumen pendukung yang digunakan oleh pemerintah dalam membatasi kuota haji yakni Sistem Komputerisasi Hal Terpadu (SISKOHAT).

c.) Reformasi

Banyak sekali perombakan yang dilakukan di masa reformasi. Sudah menjadi rahasia umum, sistem pemerintahan orde baru berantakan. Salah satu perbaikan yang dilakukan yakni menyempurnakan kembali payung hukum terdahulu yang dirasa masih kurang dari segi substansialnya. Oleh karena itu, pada tahun 1999 diterbitkan UU No 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Peraturan tersebut menekankan pada aspek pelayanan, pembinaan dan perlindungan kepada jamaah haji . Instrumen investasi yang berlaku saat itu berupa Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN), Surat Utang Negara (SUN) dan Deposito. Selain itu , Undang undang ini juga memberikan legitimasi yang kuat bagi Menteri Agama menjalankan kewenangannya untuk mengelola Dana Abadi Umat (DAU) melalui Badan Pengelola Dana Abadi Umat (BP DAU) yang diketuai sendiri oleh Menteri Agama. Namun, ternyata sistem Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH) yang langsung dikelola oleh kementerian agama menimbulkan polemik berupa cakupan tanggung jawab terlalu luas yang mengakibatkan kurang mumpuninya pengelolaan dana haji. Setelah dikaji mendalam, diputuskanlah penetapan UU No 13 tahun 2008 untuk menyempurnakan UU No 17 Tahun 1999. Namun, setelah peraturan tersebut diimplementasikan, sistem pengelolaan dana haji hampir sama dengan undang undang sebelumnya. Menteri Agama masih menjadi aktor utama dalam penyelenggaraan ibadah haji yakni sebagai koordinator.

Terbentuknya BPKH

Setelah mengetahui fakta di atas , dimana dalam hal ini Menteri Agama selaku koordinator DAU melaksanakan beberapa fungsi yang menyebabkan berbagai masalah penyelenggaraan ibadah haji. Masalah penyelenggaraan ibadah haji meliputi minimnya tranparansi pemanfaatan dana tabungan awal , terbatasnya instrumen investasi , penumpukan akumulasi dana haji setoran jamaah , serta mahalnya Ongkos Naik Haji (ONH).

Setelah menganalisis berbagai problematika tersebut, akhirnya pemerintah menerbitkan UU No 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Amanah dari UU tersebut yakni pengelolaan haji tidak lagi dipegang oleh Kemenag melainkan BPKH. BPKH adalah badan independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalu Kemenag dengan tugas mengelola keuangan haji dengan memegang prinsip syariah, kehati hatian, manfaat nirlaba transparan serta akuntabel.

Pembentukan BPKH memberikan nafas baru pada sistem penyelenggaraan haji di Indonesia. Mengacu pada Kepres No 74 Tahun 2017, keanggotaan BPKH terdiri dari Dewan Pengawas dan Badan Pelaksana. Keanggotaan ini diambil dari institusi pemerintahan, masyarakat dan profesional. Mekanisme pembayaran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dibayarkan melalui rekening tabungan jamaa haji dengan atas nama BPKH

Berkaca dari berbagai masalah yang timbul sebelum pembentukan BPKH, dengan terbentuknya badan mandiri ini mampu menjadi solusinya.

1. Masalah transparansi dana tabungan, BPKH memberikan solusi berupa penerapan virtual Account yang bisa diakses oleh seluruh calon jamaah haji dengan maksud membedakan dana manfaat calon jamaah yang sudah mendaftar dari 10 tahun lalu dengan yang baru mendaftar satu tahun.

2. Terbatasnya instrumen investasi

BPKH melalui UU PKH Pasal 24 sedikitnya akan menyediakan 10 instrumen investasi dalam rangka pengelolaan dana haji seperti deposito Mudharabah , sukuk,saham syariah, bisnis syariah, properti logam mulia, barang koleksi, bursa berjangka, mata uang asing, dan Reksadana Syariah

3. Penumpukan akumulasi dana haji

Solusi yang ditawarkan oleh BPKH adalah pengelolaan dana melalui berbagi macam instrumen investasi yang diyakini mampu mengatasi penumpukan akumulasi dana haji.

4. Mahalnya Ongkos Naik Haji (ONH)

Solusinya berupa wewenang lebih yang dimiliki oleh BPKH dalam pengelolaan dana haji dapat menjadi alat untuk menurunkan biaya tersebut agar menjadi lebih murah.

Melihat realitas pengelolaan dana haji yang dari masa ke masa semakin meningkat kualitasnya, sudah seharusnya masyarakat Indonesia berpandangan positif terhadap segala upaya yang dilakukan oleh instansi pemerintah dalam memperbaiki PIH. Kemudian, rasa percaya terhadap pemerintah dalam hal ini BPKH sebagai badan yang menaungi PIH harus ditingkatkan. Badan tersebut tentunya telah terjamin keamanan dan akuntabilitasnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image