Jumat 19 Nov 2021 22:05 WIB

Satu Tungku Tiga Batu, Hidup Damai Umat Beragama Papua Barat

Kerukunan umat beragama di Papua Barat sudah terjalin lama

Rep: Fuji E Permana/ Red: Nashih Nashrullah
Kerukunan umat beragama di Papua Barat sudah terjalin lama. Ilustrasi sholat di Fakfak Papua Barat
Foto: Rahmat Fajar/Republika
Kerukunan umat beragama di Papua Barat sudah terjalin lama. Ilustrasi sholat di Fakfak Papua Barat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Provinsi Papua Barat mayoritas penduduknya beragama Protestan, disusul umat Islam dan sebagian kecil beragama Katolik. Muslim dan umat Kristiani ini telah hidup rukun berdampingan sejak masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. 

Masyarakat Papua Barat khususnya tokoh-tokoh agama dan masyarakat menyadari kerukunan yang terjalin adalah warisan nenek moyang atau orang-orang terdahulu. 

Baca Juga

Sejarah tersebut membuat ikatan kerukunan antarumat beragama di tanah Papua Barat selalu terjaga dengan baik. Di samping itu, kearifan lokal yang dikenal sebagai 'Satu Tungku Tiga Batu' juga menjadi fondasi kerukunan umat beragama di Papua Barat.

Meski demikian, tokoh-tokoh agama dan masyarakat di Papua Barat tetap harus menjaga kerukunan lewat peran, tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. 

Untuk itu, mereka berharap pemerintah pusat maupun daerah lebih bisa bersinergi lagi dengan tokoh-tokoh agama dalam rangka merawat kerukunan umat beragama.

Wakil Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Papua Barat, Ustadz Ahmad Nausrau, mengatakan sebetulnya kerukunan antarumat beragama yang terjalin baik di Papua Barat bukan hal yang baru. Kerukunan yang terjalin baik sudah dicontohkan oleh nenek moyang atau orang-orang terdahulu. 

Pada 5 Februari 1885, Sultan Tidore membawa dua orang misionaris asal Belanda dan Jerman ke Pulau Mansinam, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat. Dua misionaris tersebut adalah Pendeta Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler. 

Baca juga: Sempat Kembali Ateis, Mualaf Adam Takjub Pembuktian Alquran

"Dua orang misionaris ini dibawa ke Pulau Mansinam oleh Sultan Tidore, pada masa itu Sultan Tidore menguasai wilayah Papua," kata Ustadz Nausrau kepada Republika.co.id, Jumat (19/11). 

Dia menceritakan, dua orang misionaris tersebut difasilitasi dan disediakan kapal untuk mengantar mereka ke Pulau Mansinam. Bahkan para hulubalang Kesultanan Tidore mengantarkan dua misionaris tersebut sampai selamat ke Pulau Mansinam. Sejarah itulah yang menjadi dasar penyebaran agama Kristen di tanah Papua. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement