Sabtu 20 Nov 2021 05:31 WIB

Anak Perempuan Afganistan Mulai Dijual Keluarga untuk Bertahan Hidup

Situasi di Afganistan kian memburuk, ditambah kekeringan berkepanjangan.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Anak Perempuan Afganistan Mulai Dijual Keluarga untuk Bertahan Hidup
Anak Perempuan Afganistan Mulai Dijual Keluarga untuk Bertahan Hidup

Ekonomi Afganistan yang sebelumnya telah babak belur kini dihantam kekeringan berkepanjangan dan berkuasanya kembali Taliban. Masa depan negara itu tampak suram.

Taliban hingga kini masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan internasional setelah merebut kekuasaan pada pertengahan Agustus 2021. Di dalam negeri, mereka juga berjuang untuk memahami dan mengendalikan situasi Afganistan yang memburuk. Namun rakyat miskinlah yang harus membayar harga paling mahal.

"Pandemi COVID-19, krisis pangan yang telah berlangsung, dan datangnya musim dingin semakin memperburuk keadaan," menurut laporan yang baru diterbitkan oleh UNICEF, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertanggung jawab untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan perkembangan kepada anak-anak di seluruh dunia.

"Pada tahun 2020, hampir setengah dari populasi Afganistan sangat miskin dan tidak bisa memenuhi kebutuhan seperti nutrisi dasar atau air bersih," menurut laporan tersebut. Dan ini menggambarkan kondisi sebelum pergolakan belakangan ini.

Menurut UNICEF, jutaan anak masih membutuhkan bahan-bahan kebutuhan penting, termasuk perawatan kesehatan primer, vaksin polio dan campak, nutrisi, pendidikan, perlindungan, tempat tinggal, air dan sanitasi.

Anak perempuan terpaksa dijual

Mohammad Ibrahim, penduduk Kabul, adalah salah satu dari banyak orang yang tidak punya pilihan lain selain menawarkan putrinya yang berusia tujuh tahun bernama Jamila untuk dijual. Uang hasil penjualan Jamila akan dipakai untuk membayar utang-utang keluarganya.

"Seseorang datang dan mengatakan kepada saya untuk membayar utang atau 'Saya akan membakar rumah Anda hingga jadi abu,'" kata Ibrahim kepada DW. Namun dia mendapat tawaran untuk "menyerahkan putrinya" guna melunasi utang.

"Pria itu orang kaya," lanjut Ibrahim. "Dan saya tidak punya pilihan lain dan saya menerima untuk menukarkan anak saya untuk membayar utang sebanyak 65.000 Afghani (sekitar Rp10 juta)."

Di Provinsi Badghis di Afganistan barat, warga telah lama mengalami kekeringan dan terpaksa meninggalkan rumah dan desa mereka. Najeeba, perempuan muda yang tinggal di sebuah kamp, telah diperdagangkan oleh keluarganya dengan harga 50.000 Afghani, atau sekitar Rp7,7 juta.

"Di malam hari sangat dingin dan kami tidak punya apa-apa untuk menghangatkan rumah kami. Kami ingin LSM membantu kami," kata Najeeba kepada DW. "Saya masihlah seorang anak perempuan. Saya punya dua saudara laki-laki, satu saudara perempuan dan seorang ibu. Saya belum mau menikah dan ingin belajar dan mengenyam pendidikan," tambahnya.

Gul Ahmad, ayah dari Najeeba, tidak melihat ada pilihan lain selain menjual putri-putrinya yang lain untuk memenuhi kebutuhan. "Saya tidak punya pilihan lain dan jika kami ditinggalkan, saya terpaksa menjual putri saya yang lain seharga 50, 30 atau bahkan 20 ribu Afghani."

Lebih dari separuh warga hidup miskin

Program Pangan Dunia (WFP) di bawah PBB memperkirakan bahwa lebih dari separuh penduduk Afganistan hidup di bawah garis kemiskinan. Kerawanan pangan meningkat, sebagian besar karena konflik dan ketidakamanan yang mengisolasi seluruh komunitas di sana.

WFP mengatakan bahwa sekitar 22,8 juta dari hampir 35 juta penduduk Afganistan diidentifikasi rawan pangan akut. Angka ini termasuk ratusan ribu warga yang mengungsi akibat konflik sejak awal tahun.

"Sulit rasanya menukar anak untuk membayar utang. Kami tidak punya apa-apa untuk ditawarkan kecuali anak kami sendiri,” kata Nazo, ibu Jamila.

Menyusul runtuhnya pemerintah Afganistan, upaya bunuh diri juga meningkat dan warga bahkan lebih rentan terhadap penyakit psikologis dan mental. Kemiskinan meningkat. Tidak adanya warna-warni dan keramaian dari jalan-jalan Kabul yang sebelumnya cerah dan ramai, membuat situasi suram ini makin kentara.

PBB: Sekarang waktunya untuk bertindak

Sementara penguasa baru Afganistan masih berjuang mendapatkan pengakuan internasional dan mencegah keruntuhan ekonomi negara itu, organisasi kesejahteraan internasional menyerukan bantuan kemanusiaan segera.

Awal pekan ini pada pertemuan tingkat tinggi di Jenewa, Direktur Eksekutif WFP David Beasley menyerukan dukungan sesegera dan sebanyak mungkin.

"Sekarang adalah saatnya, kita tidak bisa menunggu selama enam bulan, kita butuh dana segera sehingga kita dapat menyalurkan persediaan ke posisi awal sebelum musim dingin tiba," katanya. "Kita tidak bisa meninggalkan orang-orang Afganistan."

Korban manusia dari konflik di Afganistan masih tetap tinggi. PBB secara khusus mengkhawatirkan dampak konflik terhadap perempuan dan anak perempuan. Sekitar 80% dari hampir seperempat juta warga Afganistan yang terpaksa mengungsi sejak akhir Mei adalah perempuan dan anak-anak.

Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), dari 1 Januari hingga 18 Oktober tahun ini, lebih dari 660 ribu orang terpaksa meninggalkan rumah mereka karena konflik.

Bunuh diri dirasa jadi satu-satunya pilihan

Angka pengangguran melonjak dan bagi banyak orang, sumur yang menjadi sumber pendapatan mereka telah kerontang. Beberapa orang memilih bunuh diri dan mengakhiri perjuangan mereka.

Rohullah, 60, penjaga sekolah yang dikelola pemerintah di Badakhshan utara, sudah tidak menerima gaji selama 3 bulan terakhir. Ia adalah salah seseorang yang mengambil pilihan putus asa itu, meninggalkan keluarganya dalam duka.

"Dia tidak bilang apa-apa. Suatu hari kami semua di rumah dan dia meminta pena dan kertas untuk menuliskan utang-utang kami. Kami semua mengira dia bercanda dengan kami tapi dia serius, beberapa hari kemudian dia bunuh diri," putri Rohullah yang bernama Taiba mengatakan kepada DW.

Dana Moneter Internasional (IMF), memperkirakan ekonomi Afganistan akan terkontraksi hingga 30% tahun ini. PDB Afganistan pada tahun 2020 hanya sekitar $20 miliar. Dan menurut Bank Dunia, 43% darinya berasal dari bantuan luar negeri. Sebelum diambil alih oleh Taliban, 75% pengeluaran publik negara ini berasal dari hibah bantuan asing.

Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah baru Taliban berjuang untuk membayar gaji pegawai negeri sementara harga pangan melonjak dan bank menghadapi krisis uang tunai.

Banyak orang Afganistan menjual harta benda untuk membeli makanan. Namun buat Gul Ahmad, satu-satunya harta berharga yang tersisa adalah putri-putrinya, yang mungkin akan juga dijual seperti kakak mereka, Najeeba. (ae/yf)

Jika Anda menderita ketegangan emosional parah atau berpikiran untuk bunuh diri, jangan ragu mencari bantuan profesional. Dapatkan informasi tentang bantuan ini, di mana pun Anda berada di befrienders.org

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement