Jumat 26 Nov 2021 10:21 WIB

PTM, Sekolah Diminta Lakukan Mitigasi Risiko Klaster

Tercatat ada 175 negara di dunia yang telah membuka sekolah.

Pelajar antre untuk pengambilan sampel tes usap PCR di SD Negeri Kestalan 5, Solo, Jawa Tengah, Selasa (23/11). Pengambilan sampel PCR secara acak bagi pelajar Solo itu untuk antisipasi penyebaran COVID-19 pada pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM).
Foto: ANTARA/Aloysius Jarot Nugroho
Pelajar antre untuk pengambilan sampel tes usap PCR di SD Negeri Kestalan 5, Solo, Jawa Tengah, Selasa (23/11). Pengambilan sampel PCR secara acak bagi pelajar Solo itu untuk antisipasi penyebaran COVID-19 pada pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama lebih dari satu tahun pandemi Covid-19, kegiatan sekolah berlangsung secara daring dan menimbulkan berbagai konsekuensi psikologis. Bukan hanya kepada anak-anak dan tenaga pengajar,  juga kepada orang tua. Bahkan, secara jangka panjang, menurut Hasil riset Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), tidak bersekolah secara tatap muka mengakibatkan anak kita akan berisiko kurang kompetitif saat menghadapi dunia kerja dan potensi pengurangan pendapatan hingga minus 3 persen seumur hidup.

Menilik dampak negatif dari ditutupnya sekolah, tercatat ada 175 negara di dunia yang telah membuka sekolah, baik sebagian maupun seluruhnya.  

Baca Juga

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbud Ristek) pun akhirnya telah memulai kegiatan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) dengan persyaratan khusus.

Dalam konferensi pers yang diselenggarakan Nusantics secara daring, Kamis (25/11), sebagai pembicara kunci, Gita Wirjawan menyampaikan, pada situasi penuh tantangan saat ini, kebijakan PTM harus didukung untuk menyiapkan generasi muda untuk kepentingan jangka panjang. 

"Namun harus tetap dilakukan dengan prinsip kepekaan, kehati-hatian, dan juga penuh kebijaksanaan dari berbagai pihak, mengingat kondisi setiap wilayah khususnya di kota besar dan kecil sangat berbeda," kata dia.

Sejalan yang disampaikan oleh tokoh nasional Gita Wirjawan, Psikolog klinis anak Roslina Verauli, M.Psi.,Psi. mengatakan, dalam situasi dilematis saat ini, orang tua butuh menunjukkan bahwa mereka memahami kebutuhan dan kekhawatiran anak untuk kembali ke sekolah, serta bertemu dengan teman-teman untuk menjalin relasi sosial. "Orang tua juga harus memastikan dapat hadir dan memberikan dukungan dengan melibatkan teknik positive parenting," kata dia.

'Kembali ke Sekolah Bersama Nusantics' menjadi sebuah gerakan yang membantu meningkatkan kepercayaan orangtua, tenaga pengajar, serta para siswa untuk melakukan PTM dengan aman dan nyaman. 

Melalui kapabilitas utama dalam hal teknologi dan riset berbasis  mikrobioma, Nusantics menawarkan solusi komprehensif yang terdiri dari surveilans pada warga sekolah dengan PCR gargle (kumur) yang nyaman bagi anak, serta pemeriksaan kandungan virus dan sirkulasi udara di ruang kelas dengan layanan Air Scan.

Hasil penelitian pro-bono Nusantics pada 121 ruang kelas terhadap SDN di Jakarta menyatakan, 119 ruang kelas terdeteksi aman pada periode sample September hingga Oktober 2021. 

"Kami menyadari ini adalah situasi yang dilematis, namun demi kebaikan jangka panjang dari sisi intelektualitas dan psikologis, PTM harus dilakukan dengan hati-hati. Oleh karena itu deteksi virus Covid-19 di udara dengan metode PCR dan pengukuran sirkulasi udara sangat penting dilakukan untuk memitigasi risiko penularan dan menentukan langkah strategis dalam memastikan keamanan," kata Sharlini Eriza putri selaku co-founder dan CEO Nusantics  ruangan kelas dan lingkungan sekolah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement